Eko Prasetyo

Eko Prasetyo, pemimpin redaksi MediaGuru dan penjaga gawang Majalah Literasi Indonesia. Dia menyelesaikan pendidikan S-1 Sastra Indonesia Unesa dan S-2 Ilm...

Selengkapnya
Navigasi Web

DI BALIK KEINDAHAN WADUK KEDUNGOMBO

Saat berangkat menuju Jepara akhir tahun lalu, saya memilih rute Grobogan. Saya berniat mampir ke Waduk Kedungombo yang sangat memesona itu. Waduk ini membelah wilayah Boyolali, Grobogan, dan Sragen.

Seluruh anggota keluarga saya kagum dengan pesona waduk itu. Tapi, saya kemudian menceritakan kisah kelam di sana. Cerita ini pernah saya baca dari majalah Tempo edisi khusus yang terbit pada Februari 2008.

Pembangunan waduk ini dimulai tahun 1985. Tujuannya adalah pembangunan pembangkit listrik berkekuatan 22,5 megawatt dan pemenuhan kebutuhan lahan pertanian setempat.

Cerita dukanya, saat waduk yang mampu menampung sektiar 723 juta meter kubik air ini diresmikan, masih ada 600-an kepala keluarga yang bertahan di lahan genangan. Mereka enggan pindah karena ganti rugi dari pemerintah dianggap terlalu kecil dan diputuskan tanpa musyawarah.

Setelah peresmian Waduk Kedungombo, Soeharto saat itu mengecam para penduduk yang enggan pindah. Mereka disebut ”mbeguguk ngutho waton” (kepala batu). Ketika mengucapkan kalimat ini, Soeharto mengimbau warga jangan sampai mbalelo (ini ciri khas penguasa Orba jika ada yang menentang kebijakannya).

Untuk pembangunan Waduk Kedungombo, pemerintah saat itu menerima kucuran dana USD156 juta dari Bank Dunia dan USD25,2 juta dari Bank Exim Jepang. Guna mewujudkan proyek waduk seluas 6 ribu hectare tersebut, pemerintah harus memindahkan sekitar 5 ribu kepala keluarga yang tersebar di 37 desa di Kabupaten Boyolali, Grobogan, dan Sragen.

Singkatnya begini, warga yang menolak pindah diteror dan diintimidasi. Bahkan, mereka menerima kekerasan fisik sebagai bentuk teror tersebut. Yang mengenaskan, warga yang menolak pindah itu diberi stempel “PKI”.

Bagi saya, para warga di situ beruntung karena tidak seapes kasus Talangsari di Lampung Tengah (7 Februari 1989) dan kasus Tanjung Priok, Jakarta Utara (7 September 1984). Berdasar laporan warga yang diabadikan dalam catatan sejarah, 246 warga tewas ditembak tentara di Talangsari dan 700-an orang tewas ditembak di Tanjung Priok. Sementara di Waduk Kedungombo tidak sampai ada korban jiwa.

Belajar dari sejarah kelam tersebut, terus terang saya tidak berani terlalu kritis. Misalnya, kritis terhadap kebijakan gonta-ganti kurikulum, guru penggerak, dan platform merdeka mengajar (PMM). Tidak ada jaminan kurikulum kita tidak berganti jika seandainya mendikbudnya berganti. Tak ada jaminan pula program guru penggerak tetap berjalan hingga 10 tahun ke depan. Yang sudah pasti adalah siswa sering ditinggalkan saat gurunya sibuk ikut diklat atas nama peningkatan kompetensi (meskipun diklatnya dan pengimbasannya tidak merata ke seluruh guru di tanah air).

Karena itu, saya wis males kritis. Lebih enak ikut Jelajah Literasi MediaGuru ke luar negeri. Enaknya Australia, Turki, atau Timor Leste?

Castralokananta, 29 Januari 2024

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post