Eko Sutanto

Lahir di Banjarnegara, menjadi guru sejak maret 1997, sampai saat ini masih belajar menulis dan mengeja huruf demi huruf serta angka demi angka....

Selengkapnya
Navigasi Web
Memburu Maling (Bagian Kelima)

Memburu Maling (Bagian Kelima)

Warga dusun yang mengejar sampai di tempat Pak Joko dan sosok bayangan hitam bertarung. Beberapa orang membantu memapah Pak Joko pulang ke rumah, sementara sebagian yang lain meneruskan mengejar sosok bayangan hitam setelah mendengar keterangan singkat darinya. Kelompok pengejar dipimpin Arman diikuti beberapa murid dan warga desa. Sampai di pintu kuburan Arman menyuruh teman – temannya menyisir seluruh area pekuburan. Dia yakin kalau sosok bayangan hitam masih berdiam di tempat itu. “Cari dan temukan! Dia pasti masih bersembunyi di tempat ini.” Teriaknya lantang. Beberapa warga dusun yang mengejar merasa takut masuk kuburan karena teringat malam ini Jumat Kliwon, malam yang angker menurut anggapan sebagian orang. Tidak berani mendekat ke pohon Beringin tua di tengah kuburan mereka hanya berputar – putar di tepi kuburan. Ketika hilir mudik mencari sosok bayangan hitam tiba – tiba mereka mendengar suara tertawa cekikikan yang datang dari arah pohon Beringin tua. Mereka mundur, perasaan mereka menciut. Rasa takut menghinggapi, bulu kuduk mereka berdiri meremang. “Kamu dengar itu, To?” Tanya Wahad lirih kepada Sarto di sampingnya. “A .. a …a .. ku dengar, hiiiiii … takut,” Sarto menempelkan tubuhnya lebih dekat. Kedua orang itu terpaku di tempat tidak bisa bergerak, lutut lemas tetapi tubuh mereka bergetar dengan hebat.

Para pengejar itu dilanda rasa takut, tiba – tiba sesosok putih mirip hantu Pocong meloncat dari balik gudang penyimpan keranda jenazah. Suasana pekuburan gelap tetapi sosok putih mirip Pocong itu jelas terlihat melompat panjang ke arah pohon Beringin tua. Lompatan panjang agak tersendat seperti tertahan oleh sesuatu. Sesaat sosok Pocong berhenti melompat lalu berpaling menatap ke arah rombongan pengejar. Sontak saja Wahad, Sarto, dan teman - temannya lari tunggang langgang sambil berteriak keras : “Hantuuuuuuu!” Berlari tak tentu arah saking takutnya, beberapa dari mereka terjatuh di selokan pinggir jalan depan kuburan.

Suasana panik penuh kegaduhan, semua berlari keluar kuburan. Hanya ada seorang yang tetap berada di tempat, tidak berlari ataubergerak sedikitpun. Pandangannya tajam menatap sosok putih yang dianggap hantu oleh Wahad, Sarto, dan teman – temannya. Orang - orang berlari keluar kuburan tetapi dia lari berbalik arah menuju sosok putih mirip Pocong, langsung diterkam sosok itu setelah mereka berdekatan. Wuuuusssss … Terkamannya meleset, dia hanya menangkap angin. Merasa geram dia kembali besiap untuk melakukan tendangan ke sosok hantu Pocong yang bersiap lompat menjauh. “Duuuug …. “ Bunyi tendangan sangat keras. Tendangan yang tepat mengenai punggung Pocong membuat terdorong jauh ke depan tetapi tidak jatuh. Sosok putih mirip Pocong tiba – tiba hilang dari pandangan penendangnya. “Gimana Mas Arman, ketangkep apa nda hantunya?” Tiba – tiba Wahad sudah kembali ada di belakang Si Penendang yang ternyata Arman. “Tidak, tidak. Tiba – tiba dia hilang setelah kena tendangan keras tadi,” jawab Arman penasaran. Mereka kembali mencari sosok putih mirip Pocong di seluruh area pemakaman, tapi tidak ditemukan apa pun. Arman mengajak teman – temannya pulang. Hari sudah pagi, suara adzan Subuh sudah berkumandang di Dusun Karangsawah.

Minah istri Mat Karjo Sang Jagabaya terbangun ketika mendengar adzan Subuh. Dia terbiasa bangun awal untuk melaksanakan ibadah shalat malam. Malam ini Minah tertidur lelap hingga pagi sehingga tidak tahu suaminya pergi sejak tengah malam tadi. Merapikan tempat tidur kemudian menyisir rambutnya yang awut – awutan, Minah baru sadar jika sang suami tidak tidur bersamanya semalam. “Kemana to Pakne, sudah subuh begini belum pulang?” Minah bertanya dalam hati. Terbersit rasa khawatir tumbuh di hatinya. Tapi rasa itu pelan – pelan diusir mengingat Mat Karjo adalah seorang Jagabaya yang sering pergi setiap waktu untuk meronda. Disingkirkan jauh – jauh pikiran yang mengganggu hati Minah. Tetapi rasa was – was tetap mengganggu pikirannya, Minah ingat percakapan dengan suaminya beberapa minggu yang lalu. Ketika tiba – tiba suaminya berpamitan kalau suatu saat harus pergi dirinya harus ikhlas. Mat Karjo menitip anak – anak untuk terus dijagai oleh istrinya, sang suami berniat pergi ke kota untuk mencari pekerjaan sambilan. Dia merasa beban hidupnya bertambah berat sementara upah sebagai Jagabaya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari apalagi saat musim paceklik melanda Dusun Karangsawah saat ini. Sepetak tegalan kering ditanami palawija tidak dapat diandalkan hasilnya untuk membiayai sekolah anak sulung mereka di kota. “Bune, sepertinya Bapak harus cari pekerjaan tambahan agar tetap bisa membiayai Si Uun sekolah. Uang yang kita pinjam ke Juragan Karta untuk bayar SPP awal tahun lalu sudah jatuh tempo harus dibayar bulan ini. Anak buah Juragan Karta sudah beberapa kali datang menagih,” kata Mat Karjo sambil melinting rokok klembak menyan kegemarannya suatu sore beberapa minggu yang lalu. Minah diam mendengarkan keluh kesah suaminya. “Tapi mau cari pekerjaan dimana, Pakne?” Tanya Minah menanggapi omongan suaminya waktu itu.

Selesai menyisir rambut, Minah beranjak mengambil air wudhu kemudian masuk kamar depan tempat keluarga biasa melaksanakan ibadah shalat. Minah kebingungan mencari mukena yang biasa dia gunakan untuk sembahyang. Biasa dia meletakan mukena berwarna putih di atas almari di sudut kamar. Berulang kali lihat tempat itu tetap tidak ditemukan benda yang dimaksud. “Dimana mukenaku? Padahal baru kemarin saya pakai?” Minah akhirnya melaksanakan shalat menggunakan mukena lama yang tersimpan di almari belakang. “Yang penting bersih.” Ujarnya dalam hati.

Pakneee … Pakneeeeee … toloooong … tolooooong … huuuu …huuuu …huuuuu!” Keheningan pagi di Dusun Karangsawah tiba – tiba pecah oleh teriak keras dan tangisan Minah. Tetangga terdekat terkejut, lari tergopoh – gopoh berdatangan ingin tahu apa yang terjadi dengan Minah. Mereka terkejut bukan kepalang saat menemukan Minah menangis meraung – raung sambil mendekap sesosok tubuh yang terbujur kaku di depan pintu belakang. Mereka bergegas memeriksa keadaan tubuh terbujur kaku itu yang ternyata sudah tidak bernyawa lagi. Minah sangat terpukul hatinya, dia tidak menyangka Sang Suami pergi meninggalkan dunia secepat ini tanpa meninggalkan pesan terakhir. Masih lekat dalam ingatan Minah kemarin sore suami minta dibuatkan kopi tubruk kesukaannya, Mat Karjo berkelakar mengatakan kopi buatan istrinya adalah kopi ternikmat di dunia. Minah tidak menyangka itu adalah suguhan kopi terakhir untuk Mat Karjo.

Arman yang biasa berolah raga lari pagi menyusuri jalan dusun merasa heran saat melihat orang – orang ramai berkerumun di rumah Mat Karjo. Dia pun berhenti kemudian menanyakan ada kejadian apa di rumah itu. “Ada apa ini?” Tanya Arman ke orang – orang yang tengah berkerumun di halaman depan. “Itu Mas, Mat Karjo tiba – tiba meninggal dunia.” Sumi tetangga Minah menjawab pertanyaan Arman. “Innalillahi waina ilaihi rojiuun. Bapak – bapak, mari bantu saya. Kita pindahkan jenazah almarhum ke dalam rumah.” Arman mengajak beberapa orang bapak di depan rumah untuk membantu mengangkat jenazah Mat Karjo. Tubuh Mat Karjo dalam dekapan Minah masih tergeletak di depan pintu belum dipindahkan ke dalam rumah saat itu. Ketika bersiap mengangkat tubuh yang telah kaku itu pandangan Arman menangkap sesuatu yang ganjil. Saat baju Mat Karjo tersibak tampak sebuah luka memar sebesar telapak kaki dipunggung. Luka lebam biru menghitam seukuran telapak kaki di punggung sebelah kiri Mat Karjo terlihat sangat jelas. Arman tertegun. Niat untuk mengangkat jenazah itu diurungkan. Ada rasa bergemuruh tiba – tiba menyesak didadanya. Dia mundur perlahan, menjauh membiarkan orang lain menggantikan posisi mengangkat jenazah itu. Ada beribu rasa tidak dapat dikatakan tiba – tiba menusuk hati membuatnya masghul. Pandangan matanya tiba – tiba berkunang – kunang, perut mual, dan keringat dingin mengalir deras di sekujur tubuhnya. Arman terduduk lesu di bawah pohon Jambu depan rumah Mat Karjo. Pandangannya nanar, kosong, dan tubuhnya gemetar tak berdaya. Arman pelatih silat yang dikenal sangat pemberani tiba – tiba berubah menjadi seorang penakut saat itu. Sementara tangis Minah semakin menjadi – jadi ketika dia membuka kantong plastik hitam yang terjatuh dari tangan Mat Karjo. Kantong plastik berisi jubah dan topeng hitam serta mukena yang tadi pagi dia cari.

Langit berubah hitam, mendung menggelayut seolah akan turun hujan teramat deras. Angin bertiup dengan kasar menandakan akan datang hujan badai di Dusun Karangsawah. Hujan badai yang meluluhlantakan perasaan Arman dan hidup Minah serta anak – anaknya.

S e l e s a i

(Huma di Lembah Serayu, 24 Juli 2020)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Sip pak Eko! Salam literasi, sukses selalu.

24 Jul
Balas

Siap Pak Edi, terima kasih

24 Jul



search

New Post