Ela Rahmah Laelasari

Guru Bimbingan dan Konseling di SMP Islam Assyafi'iyah 04 Pondok Gede Bekasi. Berasal dari rangkasbitung, saat ini berdomisili di Jakarta. Untuk lebih dek...

Selengkapnya
Navigasi Web
Max Havelaar Dalam festival Seni Multatuli. Menulis Hari Ke-23

Max Havelaar Dalam festival Seni Multatuli. Menulis Hari Ke-23

Multatuli dalam buku sejarah dideskripsikan sebagai salah seorang asisten residen Hindia Belanda merangkap juga seorang penulis. Salah satu bukunya yang mendunia adalah sebuah novel yang berjudul Max Havelaar. Max Havelaar menceritakan tentang sistem tanam paksa yang menindas kaum bumiputera di Kabupaten lebak, Banten. Didalam novel ini terdapat kisah tentang Saijah dan Adinda yang mengalami penindasan yang sangat menyentuh para pembaca. Oleh karenanya kisah Saija Adinda ini sering dipentaskan di panggung-panggung teater.

Nama asli Multatuli adalah Edward Douwes Dekker. Novelnya yang berjudul Max Havelaar terbit pada tahun 1860. Judul aslinya adalah Max Havelaar, Of de koffij-Vellingen der Nerderlandscje Handel-Maatschappij (Max Havelaar, atau lelang Kopi Perusahaan Belanda). Novel ini ditulis di Belgia pada tahu 1859. Konon novel ini diselesaikan dalam waktu satu bulan saja.

Multatuli lahir di Amsterdam pada tanggal 2 Maret 1820. Meninggal tanggal 19 Februari 1887. Multatuli berasal dari Bahasa latin. Multa tuli mengandung arti “banyak yang aku sudah derita”. Edward memiliki saudara bernama Jan, yang merupakan kakek dari Ernest Douwes Dekker atau dikenal dengan Danudirja Setiabudi. Ayah dari Edward Douwes Dekker adalah seorang kapten kapal yang memiliki penghasilan cukup sehingga Edward kecil disekolahkan di sekolah latin. Pada tahun 1838 Edward pergi ke pulau Jawa. Pada tahun 1839 Edward tiba di Batavia sebagai seorang kelasi di kapal ayahnya.

Dengan bantuan dari relasi ayahnya, Edward bekerja sebagai ambtenaar (pegawai negeri) di Kantor Pengawasan Keuangan Batavia. Setelah berbagai jabatan ia pegang ia merasa tidak cocok dalam pekerjaan yang digelutinya akhirnya ia meninggalkan jabatan selain jadi ambtenaar di Batavia ia sempat menjadi ambtenaar di Sumatera tepatnya di Natal. Selain itu juga Edward sempat menjadi ambtenaar dikota-kota lainnya, seperti di purworejo, Bogor, dan Manado. Selama menjabatsebagai ambtenaar kas pemerintahan hindia belanda mengalami kerugian akhirnya ia diberhentikan. Setahun ia tinggal di Padang tanpa pekerjaaan. Pada tahun 1884 ia diizinkan pulang ke Batavia dan direhabilitasi oleh pemerintah dan mendapatkan “uang tunggu”. Dua tahun kemudian ia menikah pada tahun 1846 dengan seorang gadis keturunan bangsawan yang jatuh miskin. Gadis itu bernama Everdine, mereka menikah di Purwakarta ketika ia sedang menjadi ambtenaar disana. Pada tahun 1855 Edward diangkat manjadi asisten residen Lebak.

3 bulan bertugas di Lebak ia mendapat laporan penyelewengan yang dilakukan bupati Lebak RAA Kartanegara. Ia melaporkan penyelewengan ini kepada Residen Banten saat itu yaitu Brest Van Kempen namun tak ditanggapinya, alih-alih melaporkan malahan ia dipecat. Akhirnya ia kembali ke Eropa, ia mengurung dirinya di Belgia dan menuliskan riwayat pengalamannya selama bertugas mengungkapkan tentang pemerintah kolonial menjalankan sistem penindasan di Jawa, khusunya di kabupaten Lebak. Sehingga lahirlah novel yang sangat fenomenal Max Havelaar.

Dalam rangka wahana pembelajaran sejarah bagi masyarakat dan untuk mendokumentasikan paham anti kolonial maka Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak mendirikan musium sejarah dengan nama MUSIUM MULTATULI. Musium ini diresmikan oleh Bupati Lebak Hj. Iti Octavia Jayabaya dan Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid pada Minggu, 11 Februari 2018 di Rangkasbitung Ditempat ini terdapat 34 artefak asli maupun replika dari tokoh Edward Douwes Dekker. Musium ini merupakan musium anti kolonial pertama di Indonesia.

Bila para pembaca dari luar kota Lebak ingin mengunjungi musium, lokasinya sangat mudah ditemukan karena letaknya tepat di jantung Ibu Kota kabupaten Lebak yaitu di Rangkasbitung. Letak musium ini dekat dengan Kantor Bupati Lebak, Alun-alun, Kantor DPRD, Mesjid Agung Rangkasbitung, dan RSUD Aji Darmo. Tempatnya mudah sekali dijangkau dengan berbagai moda transportasi.

Kota Rangkasbitung tidak jauh dari Ibukota Negara Republik Indonesia maka banyak alternatif moda transportasi menuju kesana. Dengan menggunakan Commuter Line seharga delapan belas ribu rupiah dengan jarak tempuh 2 jam saja para pembaca sudah tiba di rangksbitung. Begitupun dengan transportasi lainnya bisa dijangkau dengan Bus dan kendaraan pribadi.

Dalam rangka mengenalkan Multatuli sebagai orang yang mengilhami kemerdekaan, harmoni, kesederajatan, keberagaman, dan kesejahteraan bagi dunia serta mengenalkan Musium Multatuli kepada masyarakat, Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak menyelenggarakan festival Seni Multatuli

Saya mengunjungi Festival Seni Multatuli ( FSM ) pada tahun 2019. Inipun karena kebetulan berbarengan dengan acara pernikahan keluarga di Rangkasbitung. FSM ini berlangsung cukup lama dari 9-15 September 2019. Acaranya Festival ini sangat variatif ada Festival Teater, Simposium Membaca Ulang Max Havelaar, Pemutaran Film, Ceramah Umum, Launcing Bedah Buku Cerita dari Lebak, dan berabagai macam pertunjukan lainnya. Yang unik dari acara festivafal itu adalah Karnaval kerbau. Sayangnya karena keterbatasan waktu saya tak dapat menyaksikan kehebatan dan keseruan semua acara di FSM itu. Acara yang ditampilkan di malam puncak yaitu Konser Musik Tradisi Rawayan Sora.

Menurut info dari Instagram FSM konser musik rawayan ini dipersembahkan oleh Ismet Samba Sunda seorang seniman musik yang sering mengadakan lawatan ke beberapa negara di Eropa seperti Italia, Belanda pada Pasar Malam, Olso, Saint Florent, Perancis, Jerman dan Austria. Konser ini sepertinya menarik, sayang sekali saya harus cepat kembali ke Jakarta jadi tak sempat menyaksikan konser ini.

Pastikan para pembaca datang ke acara festival yang bergengsi ini yang biasanya dilaksanakan di bulan September. Acara ini pastinya sangat berguna bagi para pengunjung karena dapat menambah wawasan pengetahuan tentang sejarah. dan seni. Benar sekali semboyan yang dilontarkan oleh Presiden Sukarno dalam pidato terakhirnya pada acara Hari ulang Tahun Kemerdekan Republik Indonesi pada tahun 1966. Semboyan itu adalah Jas merah mengandung makna jangan sekali-kali melupakan sejarah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wow, ulasan yang keren dan informatif Bu Ela. Sukses selalu dan barakallahu fiik

06 Jun
Balas

Wow, senang menulis di penghujung waktu yah, hehehe

06 Jun

Terimaksih bu Vivi. hehe..iya. ide munculnya selalu penghujung waktu. kata Pak CEO mah katanya the power of kepepet. tapi jangan ditiru kaya gini mah. karena gak bagus..heheh. terimaksih sudah berkunjung. sukses dan berkah selalu

06 Jun

Ulasan yang mantaaap...

06 Jun
Balas

Terimakasih bu Eva, salam kenal, salam lierasi

06 Jun



search

New Post