Manjapuik Sumando Sebuah Prosesi menjemput 'ayah' oleh Bako secara adat
“Manjapuik Sumando”
Seratus hari setelah Ibu saya meninggal, pihak bako (keluarga dari ayah) mengatakan kepada kami bahwa ia akan menjemput ayah saya. Hal ini juga dikuatkan pula oleh ayah saya yang menyatakan bahwa beliau akan dijapuik oleh adik-adiknya serta ninik mamak di kampungnya. Tentu saja, itu membuat saya terkejut, Kenapa? karena tentu saja sebagai anak perempuan satu-satunya saya tidak akan membiarkan ayah saya pergi, tidak akan ada anak yang mau berpisah dengan ayahnya, dan membiarkan ayahnya yang saat ini berusia hampir 80 tahun hidup dan diasuh serta dirawat oleh adik perempuannya atau keponakannya. Sebagai anak perempuannya tentu saya tidak bisa menerima itu dan protes kepada ayah saya dan secara tegas saya katakan bahwa ayah saya tidak boleh pergi dari rumah kita, hanya ayahlah yang saya miliki saat ini setelah kepergian ibu saya, cucu-cucunya (anak-anak saya) juga menangis dan mengatakan bahwa ungku tidak boleh pergi, ungku harus disini dengan mereka, Ayah dan Mandeh (adik dari ayah saya) tertawa mendengar kami, dan menjelaskan bahwa itu hanyalah sebuah prosesi adat yang harus dilakukan di kampong kita, karena setelah istri meninggal, maka ayah saya sebagai sumando di rumah itu, harus dijemput pulang secara adat. Setelah melalui proses adat itu, ayah masih tetap bisa tinggal bersama dengan saya sebagai anaknya dan cucunya. Tetapi prosesi adat itu juga harus dilewati dan tidak membutuhkan waktu berhari-hari cukup melangkah 7 llangkah dari rumah, kemudian dijemput lagi. Barulah saya lega dengan semua itu.
Penasaran dengan cerita ayah dan mandeh, saya mencoba mencari beberapa referensi mengenai kegiatan prosesi ini, namun beberapa literatur yang saya harapkan tidak saya dapatkan. Melalui blog ini, saya mencoba menuliskan mengenai tradisi ini untuk berbagi pengalaman.
Kedudukan ayah saya di rumah itu adalah sebagai sumando, walaupun dia sudah beranak-pinak atau punya anak dan cucu, namun tetap saja dia merupakan urang sumando di rumah dan dikampung tersebut (baca: kampong isterinya). Sebagai sumando di Pariaman, maka dia akan dipanggil sesuai dengan gelar yang melekat padanya (Bagindo, sutan atau sidi) bagi orang yang lebih tua darinya. Namun, bagi yang lebih muda padanya tidak memanggil beliau dengan gelar tersebut, tetapi menghormatinya dengan memanggil dengan uda, ajo, abang, atau kakak.
Kata Sumando berasal dari bahasa malayu kuno (su berarti badan, sedangkan mando berasal dari kata mandah yang berarti menumpang sementara). Dalam struktur adat Minang, kedudukan suami adalah sebagai orang menumpang di rumah istrinya (Sumando), perempuan tempat menumpang di sebut “Mandan” dan keluarga pihak lelaki menyebut istri dari saudara lelakinya “Pasumandan”. Kedudukan anak-lelaki, secara fisik tidak punya tempat di rumah ibunya. Bila terjadi sesuatu di rumah tangganya sendiri, maka ia tidak lagi memiliki tempat tinggal. Situasi macam ini secara logis mendorong pria Minang untuk berusaha menjadi orang baik agar disengani oleh dunsanaknya sendiri, maupun oleh keluarga pihak istrinya. Sebagai sorang sumando juga sebagai seorang ayah bagi anak-anaknya harus rajin dalam memenuhi ekonomi rumah tangga. Pada saat pagi hari harus berangkat dari rumah istri untuk mencari nafkah, sore harinya baru pulang dengan membawa hasil supaya “dapua lai barasok” hal ini berarti bahwa seorang laki-laki atau sumando harus memenuhi kebutuhan keluarganya dengan baik, setidaknya “ada beras yang akan dimasak” sehingga anak dan istri bisa makan
Hal ini diibaratkan “Itiak Pulang Patang” (Itik yang pulang di sore hari). Itik pada pagi hari mencari makan di sawah, dan pulangnya ke kandang beriringan pada sore hari sambil membawa telur atau memberikan tambahan ekonomi bagi yang punya rumah. Itik apabila terkena lumpur dan bertelur,tidak nampak perubahan yang signifikan terjadi pada tubuhnya.Tubuhnya tetap bersih dan seimbang serta terkesan lihai dalam bergerak. Sehingga hewan Itik menggambarkan karakteristik budaya Minang yang tidak berubah dalam kondisi apapun.
Untuk lelaki berdarah Minang, Sebagai lelaki Minang ada banyak peran yang akan kita lalui, mulai dari kecil hingga dewasa bahkan sampai tua nanti. Setidaknya ada 6 peran yang akan dilalui sebagai seorang lelaki Minang, Pertama : Ketek Banamo (kecil bernama), Bujang Tabilang (remaja terkenal), Gadang Bagala (Besar diberi gelar saat setelah menikah), Bapak Kayo (Bapak Kaya), Mamak Babangso (Mamak Berbangsa), Tuo Jadi Panggulu (tua mempunyai sifat penghulu). Mengenai 6 peran lelaki minang ini akan dibahas secara khusus pada pembahasan selanjutnya (di blog ini).
Nah, sekarang kita kembali ke pembahasan awal, mengapa lelaki yang isterinya sudah meninggal harus dijemput secara adat. Penulis mencoba menanyakan kepada beberapa orang atau masyarakat mengenai alasan mengapa seorang sumando harus dijemput secara adat setelah kematian isterinya. Jawabannya cukup beragam ada yang menyebutkan agar si suami tidak linglung, tidak teringat-ingat kembali dengan isterinya, lebih ceria lagi, dan agar tidak menjadi “pandir” atau bodoh dan kebingungan yang disebut dengan di baok aruah (dibawa arwah).
Pada peristiwa maratuih hari tersebut, ada banyak kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat di Pariaman, tetapi berbeda kampong/ desa atau nagari, maka berbeda pula tradisi yang dilaksanakan seperti tradisi badikie di kenagarian ampalu, makan bajamba dengan dulang tinggi dengan berbagai makanan dan disusun seperti piramida, sekitar 50 – 100 piring di ulakan dan pakandangan, tradisi malamang, tradisi pambakaan, manaiakkan urang siak, dan lain-lain. Kita kembali ke prosesi manjapuik sacaro adaik lagi ya guys… hehehe…,
Pada kegiatan tersebut pihak bako membawa makanan setidaknya satu rantang yang diisi dengan nasi dan lauk pauk (sesuai dengan kemampuan) dari bako. Bako datang dengan ninik mamak (urang tuo, kapalo mudo, cadiak pandai, kapalo dusun, dll) atau dengan orang yang dianggap petinggi di desa tersebut. Kedatangan itu juga disambut oleh tuan rumah lengkap juga dengan ninik mamaknya. Setelah dipersilahkan masuk, maka dimulailah prosesi menjemput tersebut yang didahului dengan petatah petitih dan saling sambut menyambut kata antar kedua belah pihak. Setelah itu, mandeh, meminta izin kepada anak-anak dari ayah saya untuk membawa ayah untuk kembali kerumah asalnya. Ayah saya juga lengkap membawa peralatan berupa seperangkat baju dan dimasukkan kedalam tas persis seperti orang yang akan pergi merantau saja. Ketika ayah sudah berjalan tujuh langkah dari rumah. Kakak saya mengejarnya, dan meminta mandeh mengizinkan ayah saya untuk tinggal dan kembali kerumah kami. Mandeh lalu menanyakan kepada ayah saya, apakah ia setuju, dan anggukan kepala ayah saya adalah sebuah tanda bahwa ia setuju untuk kembali. Kemudian, mereka beriringan untuk kembali pulang.
Proses diatas tentu sangat sederhana, tetapi dari prosesi tersebut, saya dapat melihat bahwa peranan sumando di dalam sebuah keluarga sangatlah penting dan tidak bisa diabaikan begitu saja. Ketika sumando tersebut datang pertama kali kerumah mertuanya, maka ia diantarkan secara adat dan melalui sebuah rangkaian upacara yang panjang, begitu juga ketika dijemput kembali oleh keluarganya karena disebabkan isterinya meninggal juga dijemput secara adat dan melalui proses yang juga tidak sederhana. Tidak ada batasan usia, tua dan muda, semua prosesinya sama. Berbeda jika yang meninggal adalah suaminya, maka tidak ada rangkaian adat untuk seorang isteri untuk dijemput juga sebagaimana seorang suami sebagai sumando. Hal ini berarti, laki-laki di minang khususnya di pariaman diibaratkan dengan pepatah minang ini “ pai tampak muko, pulang tampak pungguang”.(Pergi tampak muka, pulang tampak punggung) yang berarti kedatangan dan kepergian seseorang harus dengan cara yang baik, harus memberi tahu, tidak menghilang begitu saja, serta ada makna bahwa lelaki minang itu adalah lelaki yang bertanggung jawab.
Semoga pengalaman pribadi ini bermanfaat untuk semua pembaca. Bisa saja, di tempat dunsanak punya versi yang berbeda dengan pengalaman saya ini.
Pariaman, 7 Maret 2020 Sebuah Tulisan Penuh Cinta Mengenang 100 hari Almh. Ibunda kami "Nurlaily" 29 November 2019 - 7 Maret 2020
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Bagus, lanjutkan menulis jadi buku Bu.....
Terima kasih supportnya bu, Thank you so much