Elizabeth Tjahjadarmawan

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
GURU KETINGGALAN KERETA

GURU KETINGGALAN KERETA

Cerita ini saya tulis dalam kenangan 20 tahun yang lalu namun hingga kini masih teringat sebagai sebuah goresan warna-warni kehidupan yang bagi saya memberi makna tersendiri.

Pagi itu, angin dingin di bulan Oktober menerpa wajah-wajah kami yang terdiri dari saya dan 9 murid yang akan bertolak menuju Jakarta. Baru pertama kali ini kami mengikuti lomba kimia di Universitas Indonesia, Depok-Jakarta dan baru pertama kali juga kami pergi bersama mengikuti kompetisi di luar kota. Sebagai penduduk yang tinggal di kota kecil maka kesempatan mengikuti kegiatan di kota besar tentu menyenangkan.

Dengungan mesin pesawat dan baling-baling pesawat pun mulai berputar. Pesawat mulai take off meninggalkan landasan. Dari balik jendela pesawat, samar-samar terlihat hamparan rumput hijau semakin mengecil dan akhirnya hilang ditelan awan. Di barisan belakang duduk ke-9 murid saya. Ada Hidayat sang ketua rombongan, Sherly yang manja, Fifi yang tekun, Ivan si kutu buku, Angela si pemalu, si cantik dan modis Diana, Siska yang cerdas, Eka Putra si calon dokter, dan Herianto yang sering dijuluki Einstein namun terkesan lamban bekerja. Dengan tas koper warna coklat mirip tas yang sering dibawa Mr Bean, Herianto hampir membuat kami tertawa melihatnya.

Sekitar 50 menit pramugari memberi peringatan bahwa pesawat akan segera mendarat di bandara udara Sukarno-Hatta. Sedikit gugup saat pesawat bergerak turun, sambil menggumam berdoa, tak sadar saya pun memegang tangan seorang kakek yang duduk di sebelah saya. Setelah pesawat landing, saya kaget dengan ucapan “Sudah Bu? Pegangannya?” kata kakek di sebelah saya. Dengan tersipu saya lepaskan tangan Kakek tersebut. “Oh..eh...maaf Pak, saya tidak sadar, maklum saya takut ketinggian.”

Sang Kakek pun mengangguk sambil tersenyum.

Dalam benak saya tertawa, “Inilah sindrom guru udik yang takut naik pesawat, untung saja murid saya tidak melihat kejadian tadi.”

Setelah mengemas barang dari kabin, saya bersama rombongan pun menuruni tangga pesawat menuju tempat pengambilan bagasi.

Perjalanan menuju kampus UI Depok ditempuh sekitar 2 jam karena macet. Sesampai di sana kami disambut oleh panitia yang semuanya terdiri dari para mahasiswa. Kami pun diantar menuju tempat penginapan yang cukup sederhana namun bersih. Kami memesan dua kamar. Saya bersama 5 murid perempuan dalam satu kamar yang agak besar dan 4 murid laki-laki dalam satu kamar yang lain. Sepanjang siang kami bisa sempat beristirahat sementara malam hari semua murid saya kumpulkan lagi untuk membaca, mengulang materi yang sudah dipelajari. Saya lakukan briefing, memberi nasehat singkat, menyiapkan mental mereka agar tidak grogi saat lomba keesokan harinya.

Pada hari H, setelah acara pembukaan, lomba pun dimulai. Ternyata lomba LCC (lomba cepat tepat) dilaksanakan dalam bentuk estafet. Setiap group berlari memasuki pos-pos untuk mengerjakan soal bersama dan menjawab pertanyaan dari panitia yang ada di pos-pos itu. Saya amati kegiatan sangat seru karena peserta harus berlarian mencari pos. Murid-murid saya beberapa kali salah arah sehingga lambat mencapai lokasi pos. Apalagi Herianto yang membuat teman-temannya harus berulangkali menyuruhnya berlari cepat. Meskipun akhirnya kami hanya sampai pada babak semifinal namun saya tetap memberi dukungan dan semangat bahwa apa yang sudah dikerjakan adalah suatu proses belajar yang tak pernah terlewatkan begitu saja. Wajah mereka terlihat sedih karena belum berhasil masuk final.

“Maafkan kami ya Bu, mengecewakan Ibu, belum berhasil masuk final,” dengan suara lirih Hidayat mendekati saya.

Wajah Sherly pun memelas, seolah hendak menangis.

“Semua sudah berusaha maksimal, tetap semangat dan terus giat berlatih,” jawab saya membesarkan hati mereka.

Akhirnya pada hari kedua, setelah acara pengumuman pemenang dan penutupan saya mengajak rombongan untuk mengunjungi Kebun Raya Bogor. Pagi itu kami memesan tiket Kereta Api dari stasiun kereta api UI-Depok menuju Bogor. Kereta api melaju sangat cepat dan berhenti sebentar saja sementara penumpang sangat banyak dan berdesakan untuk masuk ke dalam kereta. Karena panik saya pun menyuruh semua murid saya agar cepat masuk ke dalam kereta. Saat itu ke-8 murid saya sudah memasuki kereta, namun saya masih sibuk mencari tas saya. Saya lupa meletakan tas di mana dan terus mencari sampai akhirnya tanpa sadar kereta pun melaju meninggalkan saya! “Aduh, saya ketinggalan kereta !” Saya sempat berlari mengejar kereta mirip seperti adegan dalam film.

Rasa cemas menghantui saya. Saya pun hampir menangis.

Tiba-tiba terdengar suara di dekat saya. “Bu, kita naik kereta berikutnya.”

Saya baru sadar ternyata Herianto juga tertinggal bersama saya! Saya hampir kesal mengapa Herianto lambat naik ke gerbong kereta jika Ia tidak berkata,

“Saya sengaja menunggu Ibu naik kereta, sehingga saya tidak ikut bersama teman-teman,” jelas Herianto membuat saya menjadi lega.

“Ooohh...,” jawab saya seolah baru mendapat pencerahan.

Akhirnya, sepuluh menit kemudian datang kereta api berikutnya. Kami pun segera masuk ke dalam kereta yang penuh dan sesak. Tidak ada tempat duduk sehingga kami berdiri. Saya dan Herianto berpandang-pandangan sambil tersenyum. Harapan saya semoga rombongan berpikir bahwa mereka akan turun di stasiun berikutnya. Ternyata benar juga!

Meskipun saat itu belum semua orang memiliki Handphone sehingga kami tidak bisa saling kontak, namun rombongan sudah menunggu di halte stasiun Citayam.

Ternyata Herianto sudah menghubungi Hidayat agar berhenti di Stasiun Citayam. Mereka melambaikan tangannya sambil berteriak, “Ibuuuu kami di sini.”

Legaaa hati saya melihat rombongan yang sambil tertawa-tawa mereka saling bercerita dan sempat bingung karena gurunya tertinggal kereta.

Saya pun berterima kasih kepada Herianto yang sudah menemani saya. Murid yang satu ini meskipun gerak-geriknya lamban namun ternyata cepat berpikir.

Tuiiiittttt, bunyi sirene kereta api terdengar. Kereta kembali melaju menuju Bogor. Di dalam gerbong kami pun tertawa bersama, melepas panik yang sempat mencekam karena kebingungan. Pengalaman hari itu bagi saya sangat lucu dan berkesan. Seringkali kita hanya menilai orang dari luarnya saja maka janganlah terlalu cepat menjustice orang lain. Terima kasih Herianto! Benar juga julukannya si Einstein, yang kini sedang kuliah Ph.D nya di Melbourne University jurusan Fisika.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Tasnya ketemu?

05 Mar
Balas

Betul bu Haryanti, salam kenal dari Indonesia barat heee. Selamat mendidik anak bangsa.

05 Mar
Balas

Salam kenal jg....

10 Mar

Salam kenal jg....

10 Mar

Syukurlah ketemu Bu.. hee terima kasih sudah membaca artikel saya bu..

12 Mar
Balas

Pucat nggak bu saat kereta bergerak menjauh hehehe nice story bu

05 Mar
Balas

Kenangan indah bersama siswa kita mmg tak terlupakan....

04 Mar
Balas



search

New Post