Ella Agustina

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Teror Kampung Sukaserem, bag 15 (Tantangan Menulis Hari ke-82)

Teror Kampung Sukaserem, bag 15 (Tantangan Menulis Hari ke-82)

Seketika si abang pun langsung berdiri. Dia masuk ke gubuk dan mengambil sebilah pedang dan golok dengan gagang kepala naga. Keduanya disimpan di samping kasur butut tempat si abang tidur. Lalu ke luar dan menyerahkan golok kepada Mamat. Saat Mamat membuka sarungnya, terlihat sebuah kilatan menandakan golok milik si abang sangat tajam.

“Ke arah mana dukun itu pergi?” tanya si abang.

“Ke kampung, Bang.”

“Ayo cepat sebelum dia sampai ke kampung,” si abang berjalan cepat untuk mengejar mbah Dirja. Mamat mengikuti, meski dirinya masih bingung dengan pemikiran bosnya.

“Mau dihabisin, Bang?” tanyanya.

“Ya kita habisin sebelum dia lapor keberadaan kita,”

“Kayaknya nggak mungkin, Bang. Dia kan nggak pernah komunikasi dengan warga. Dia komunikasinya dengan makhuk gaib, hihiii..” Mamat ngeri sendiri.

“Pokoknya kita habisin, buat jaga-jaga. Dari pada nanti kita berabe. Ayo cepat jalannya!” perintah si abang.

Mereka pun mempercepat langkahnya. Dengan sebuah senter kecil sebagai penerang, mereka berjalan menerobos hutan menuju kampung. Tak lama, samar terdengar suara erangan dari balik pohon.

“Arrrggg…”

Si abang langsung menghentikan langkahnya. Mamat yang berjalan di belakangnya hampir menabrak si abang karena dia berhenti mendadak. Langsung si abang menyentuh bibirnya dengan telunjuk, lalu memasang telinganya mencari arah suara yang tadi didengarnya. Mamat pun langsung menajamkan pendengarannya. Setelah ditemukan arah suara, mereka langsung mulai mendekat.

“Aaarrgg…”

Kembali mbah Dirja mengerang. Kedua tangannya mencengkeram kepalanya seperti menahan rasa sakit. Badannya menggeliat-geliat kaku

Melihat keadaan mbah Dirja, abang dan Mamat saling berpandangan. Mamat menunggu perintah dengan satu anggukan. Namun si abang mengangkat tangan kanannya mengisyaratkan agar dia menunggu. Pandangan pun kembali dialihkan ke mbah Dirja dengan penerangan seadanya. Senter yang tadi dibawa sudah dimatikan agar keberadaan mereka tidak diketahui.

Mbah Dirja masih menggeliat. Kini gerakannya mulai melambat. Berdiri membelakangi posisi abang dan Mamat. Tak lama, dia pun berhenti mengerang. Tubuhnya mulai lemas. Dia bersimpuh dengan kedua lututnya.

Melihat keadaan mbah Dirja yang kelihatan sudah melemah, si abang pun memberi aba-aba untuk menyerang Mbah Dirja. Dia mendekat dengan pedang yang sudah siap menebas korbannya. Mamat pun siap dengan goloknya yang mengkilat. Tanpa basa-basi si abang langsung menebas mbah Dirja dari arah belakang. Pedang yang tak kalah tajamnya mendarat pas di leher mbah Dirja.

“Mati kau!” serunya.

Selang beberapa detik belum ada reaksi dari mbah Dirja. Dia masih bertahan dengan posisinya. Melihat itu, Mamat pun melancarkan serangan susulan dengan menebaskan goloknya ke perut mbah Dirja.

Mbah Dirja tidak bergeming. Tidak bergerak sedikit pun menghadapi serangan yang datang tiba-tiba. Tak lama terdengar suara sesuatu patah. Pedang dan golok milik si abang dan Mamat tiba-tiba patah tanpa melukai mbah Dirja. Pedang pun ditarik kembali dari sasarannya. Terlihat sudah patah menjadi dua bagian. Abang dan Mamat berpandangan, ini tidak masuk akal! pikir mereka.

Kemudian mbah Dirja mengalihkan pandangannya ke arah datangnya serangan. Terlihat matanya merah menyala seperti terbakar api. Dengan cepat si abang dan Mamat melemparkan senjatanya, lalu menyerang dengan tangan kosong. Namun mbah Dirja tidak mudah dikalahkan. Tidak mempan senjata tajam apalagi serangan dengan tangan kosong. Dengan cepat dukun sakti itu pun membalas serangan untuk menghabisi abang dan Mamat secepat kilat. Bahkan abang dan Mamat tidak diberi kesempatan untuk mengerang merasakan kesakitannya. Setelah melihat musuhnya tidak berkutik lagi, mbah Dirja pergi meninggalkan hutan.

Dari kejauhan, ada seseorang yang bergidik menyaksikan pertarungan yang tidak biasa. Kakinya gemetar menyaksikan dua orang yang dikenalnya dihabisi dengan mudah, semudah mematahkan ranting kering. Setelah sosok mbah Dirja hilang di kegelapan, dia pun mendekat ke arah si abang dan Mamat yang sudah terkulai tak bernyawa.

“Bang, bangun! Mamat, bangun! Kalian jangan mati dulu!” rengek Teten dengan air mata membasahi kedua pipinya.

...

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post