Saat Upaya Menjadi Bencana
Berupaya menyenangkan hati suami dan anak anak yang doyan makan, membuat saya terjun ke dapur setiap hari. Tanpa harus menunggu permintaan dua kali dengan request yang memusingkan. Tapi harus saya penuhi kalau tak ingin anak beli jajanan tak menyehatkan. Walau badan letih setelah seharian bekerja, tetap tabah memenuhi tuntutan selera mereka.
Suami yang minta dibuatkan gulai tambunsu (baca: gulai usus berisi telur, bumbu dan santan), dan anak minta dibuatkan kue bolu untuk ulang tahun gurunya. Dengan bismillah dan sisa-sisa tenaga saya coba jungkir balik di dapur. Ketidak berdayaan telah membayang dipelupuk mata, mulai dari bahan yang tumpah, tangan yang terluka dan sampai pada titik puncak kegagalan besar yang dihadapi.
Usus yang telah diisi 20 butir telur, direbus dalam periuk dengan air yang sudah didihkan. Apalah daya, harapan makan enak tak terlaksana. Tiba-tiba ususnya meledak dan isinya terburai keluar. Bercampur dengan air yang mulai memutih. Emosi tak tertahan membuat saya marah dan menangis. Bukan karena orang lain, tapi karena saya membayangkan betapa kecewanya suami dan anak-anak. Padahal hanya sekadar kegagalan dalam memasak. Tapi begitulah saya, marah pada diri sendiri karena merasa tak mampu menyenangkan keluarga.
Kekecewaan semakin mendalam tatkala waktu semakin larut, namun badan tak mampu lagi untuk menyelesaikan permintaan anak untuk membuatkan kue ulang tahun gurunya. Dengan kekecewaan yang semakin menggunung, saya beranjak dari dapur, membersihkan diri dan langsung merebahkan badan yang sudah sangat lelah diatas ranjang.
Jam 03.00 wib, saya terbangun. Sesaat masih tak menyadari janji kepada buah hati. Disaat kesadaran mulai pulih, saya kembali menjajakkan kaki di dapur. Ada rasa iba yang menyergap hati saat mengingat gadis kecilku. Seandainya tak kue ulang tahun itu tidak jadi, alangkah kecewanya. Ditambah lagi rasa malu diejek oleh teman-temannya. Janji harus ditepati. Dan saya kembali beraksi, dengan cekatan mempersiapkan semua bahan dan alat.
Dan kuenya pun jadi. Tak terkira senang hati. Semoga bencana semalam takkan terulang lagi. Kubelajar dari pengalaman, bahwa ada batas kemampuan diri yang harus diperhatikan. Apalagi saat jiwa dan raga telah penat dalam menjalankan aktivitas rutin, perlu kiranya untuk rehat sejenak.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Aamiin...terima kasih atas spirit dan nasehatnya bunda...swmoga kedepannya lebih peduli pada kondisi fisik
Syukurlah akhirnya bisa memenuhi sebagian target. Bagus juga ibu telah menyadari hal hal yang menyebabkan kegagalan. Sabar dan ikhlas sepertinya harus selalu seiring sejalan pada setiap tindakan kita agar ketenangan jiwa selalu membersamai. Sehat selalu Ibu.
Terima kasih pak atas pencerahannya
Hehehe... semangat bunda.. selama masih ada energi untuk berkarya... berkaryalah, tapi jangan lupa kalau tubuh butuh juga istirahat... sukses bunda... Semoga bahagia selalu menyelimuti keluarga bunda...