Elvi Sundari

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Guru Oh Guru?!?!

Guru Oh Guru?!?!

Tujuan Pendidikan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dengan demikian, pada hakikatnya pendidikan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia seutuhnya.

Namun, kenyataaan di lapangan pelaksanaannya belum lagi sesuai dengan tujuan dan hakikat tersebut. Hal ini tergambar jelas di depan mata kita bahwa angka nilai ujian sebagai patokan keberhasilan. Sebut saja Ujian Akhir Semester, Ujian Kenaikan Kelas, Ujian Sekolah, bahkan sampai Ujian Nasional. Siswa akan naik kelas atau lulus dalam ujian jika nilai mereka sudah memenuhi passing grade. Hingga yang dipentingkan adalah hasil tanpa memperhatikan prosesnya.

Gejala inilah yang meniupkan ketidakjujuran di dunia pendidikan. Siswa tertentu yang selalu mengikuti pelajaran dengan baik mendapat nilai ujian yang kurang memuaskan. Sebaliknya, siswa yang dalam tanda petik malas belajar dan sering mangkir dari sekolah mendapat nilai yang memuaskan. Tak lain karena mereka ternyata bermain di belakang layar. Tak dapat dipungkiri lagi dan sudah bukan rahasia bahwa jual beli jawaban marak terjadi di negeri ini. Hanya kata prihatin yang terbersit di mata ini.

Sebagai praktisi pendidikan yang paling rendah, guru tak bisa berbuat banyak. Hanya saran dan nasihat saja yang bisa diberikan pada anak didik di kelas. Agar mereka mengutamakan kejujuran dan tidak hanya mengejar angka nilai. Dengan satu alasan tentunya agar mereka tahu bahwa yang dibawa nanti di akhirat adalah perjalanan selama proses mendapatkan nilai. Bukan angka nilai yang tertera pada raport atau ijazah.

Namun, bagaimanapun saran dan nasihat yang kita berikan, semuanya berpulang pada individu siswa. Bila pondasi keagamaan yang dibawanya dari keluarga kuat, maka siswa tersebut akan berpegang kuat pada saran dan nasihat tersebut. Sebaliknya bila pondasi dari keluarga rapuh, maka siswa akan berubah pikiran saat H-2 ujian.

Alasan paling klise mereka rata-rata begini, "Siswa sekolah lain beli, kalau kita tidak beli, kan kita kalah dengan mereka."

Guru pun akhirnya mengelus dada. Dengan kata-kata menyerahnya, "Yang penting kita sudah menasihati dan mengingatkan mereka. Masalah mereka masih tidak jujur, ya bukan urusan kita."

Di sisi lain pun guru dihadapkan pada dilema. Kalau yang dipentingkan adalah proses dengan satu tujuan membawa mereka(para siswa) tetap berjalan di jalan yang lurus/benar, hal ini tentu suatu perbuatan yang jelas melanggar. Namun, di sisi lain guru juga dituntut untuk bisa mengawal siswa agar mencapai nilai yang sudah ditentukan secara nasional sebagai passing grade/ketuntasan.

Lalu bagaimanakah para guru di negeri ini harus melangkah?

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Suka suka suka.....

19 Oct
Balas

sekolah pasar budaya, biarlah rasa yang membuncah untuk menggapai asa ...

28 Oct
Balas



search

New Post