Elvi Sundari

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Rumah Impian Guru Honorer

Rumah Impian Guru Honorer

Sudah saatnya kami mempunyai tempat tinggal sendiri. Rumah yang menjadi tempat kami bercengkrama dan beristirahat nanti. Walau sederhana. Tiga tahun lamanya setelah menikah aku dan suami menumpang di rumah mertua. Umi, panggilan untuk ibu mertuaku tinggal sendiri karena Abah sudah pergi mendahului Umi. Berbagai halangan dan rintangan kami hadapi. Namun dengan izin Allah SWT kami bisa membangun sebuah rumah tinggal.

Saat jam kosong, aku berbincang dengan salah seorang teman. Kutanyakan padanya apakah ada tanah dijual di sekitarnya. "Ada Bu. Tanah di samping rumahku mau dijua." katanya. "Berapa luasnya, Pak?" sambungku. "Dua ratus meter persegi, Bu." jawabnya."Waduh, koq hanya segitu?" keluhku. Kukatakan bahwa aku ingin membeli tanah yang agak luas. "Waduh... Gawe opo, sih?" tanyanya.

Masih ada satu minggu sisa liburanku. Aku dan suami menemui seorang teman kami di wilayah kabupaten. Kami mencari tanah yang agak luas dengan harga yang masih murah tentunya.

Kami lihat tanah itu lumayan luas. Tapi akses untuk ke mana-mana terlalu jauh. Ke arah kota jauh. Ke sekolah juga jauh. Sebenarnya tanah yang kami lihat itu bekas kebun salak. Hanya saja akses untuk keluar masuk tanah itu terlalu sempit. Boleh kukatakan pematang sawah. Di depan tanah ini terhampar luas sawah. Segar dan sejuk sekali udara di sana. Suasana seperti ini yang kami inginkan. Jauh dari deru mesin kendaraan. Udara yang belum terpapar polusi. Selain itu penduduknya yang ramah.

Pada kesempatan yang lain kami juga melihat tanah di selatan sekolah kami. Cukup luas juga tanah itu. Harga yang ditawarkan lebih murah. Tp terlalu rendah datarannya dari jalan raya. Yang aku khawatirkan tiap berapa tahun sekali jalan raya pasti diaspal, maka rumahku akan tenggelam.

Seorang pesuruh sekolahku tahu bahwa aku dan suami sedang mencari tanah untuk rumah. Saat ada jam kosong, kami sempatkan untuk melihatnya. Ada dua pilihan sebelah utara sungai. Yang lain berada di selatan sungai. Uniknya kedua tanah tersebut berada di wilayah yang berbeda, yaitu kota dan kabupaten. Orang mengatakan itu wilayah perbatasan.

Yang di wilayah kota merupakan tanah ladang dengan beberapa pohon mangga besar. Tapi yang di wilayah kabupaten terlalu rendah dan tepat di pinggir sungai. Selain itu, di atasnya terbentang saluran udara tegangan ekstra tinggi. Orang biasanya menyebut SUTET.

Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya kami memutuskan untuk membeli tanah yang berada di wilayah kota. Mrnjadi pilihan kami karena tanahnya luas. Selain itu tekstur tanahnya sudah padat sehingga tidak ada kekhawatiran akan amblas.

Berangkatlah kami menuju rumah pemiliknya. Ternyata luas tanah itu 1550 meter. Dengan luas seperti itu rasanya kami tidak mampu untuk membelinya. Kalau separuhnya mungkin kami bisa. Tapi sayang pemiliknya tidak mengizinkan. Alasannya tanah itu milik tiga bersaudara. Jadi kalau dibeli separuh, maka mereka bertiga hanya mendapat sedikit. Intinya kalau tidak semua, tanah jatah mereka tidak akan dijual.

Masalahnya tabungan kami blm cukup saat itu. Dari nego-nego yang kami lakukan diputuslah bahwa tanah tersebut tetap kami beli. Namun, pembayarannya kami lakukan selama tiga tahap. Akhirnya mereka bertiga menyetujui.

Sepulang dari negosiasi itu hati dan pikiran kami bertanya-tanya. Berani benar kami melakukan ini. Tapi kalau tidak nekat begini, kapan lagi kami punya tanah.

Putar otak dan diskusi aku lakukan bersama suami. Bagaimana, ya ? Bagaimana, ya?

Tiga tahap pembayaran telah kami lakukan. Karena dana sudah tidak ada, tanah itu terpaksa kami biarkan. Untuk membangunnya tak mungkin. Dengan terpaksa kami mencari rumah kontrakan.

Dua tahun lamanya tanah itu kami biarkan. Memang belum ada dana yang cukup untuk membangun. Terbersit di pikiran kami untuk menjualnya. Hasil penjualan bisa dibelikan rumah. Jadi bisa langsung menempati. Tidak lagi dibebani dengan membangun. Tapi aku kurang setuju. Kita tidak tahu apakah itu jalan terbaik menurut Allah. Hingga kami tetapkan dua pilihan. Yang pertama tanah itu dijual semua. Dananya untuk ongkos naik haji plus berdua. Sisanya kami belikan rumah di perumahan dan mobil. Pilihan kedua kalau tidak laku keseluruhan berarti takdirnya harus dibangun.

Satu tahun mengontrak, rasanya seperti orang termiskin di dunia. Semua serba pas-pasan. Sampai suatu ketika anakku ingin membeli bakso. Agar tidak banyak keluar dana, maka kami membeli dua mangkuk saja. Agar cukup dimakan bertiga, maka kami membawa nasi dari rumah. Mungkin saat itu kata penjual baksonya, "Wong iki cik medhit men." Tapi biarlah apa pun komentar mereka yang penting easy going. Toh mereka tidak merasakan apa yang kita rasakan. Mereka tidak tahu apa masalah kita.

Setelah kami tawarkan ke mana-mana tanah itu blm laku juga. Rata-rata calon pembeli mau membeli sebagian. Alasan mereka persis seperti saat aku membelinya dulu. Kalau luas kan uangnya juga besar

Dua tahun hampir habis masa kontrakan rumah kami. Akankah memperpanjang kontrakan? Rasanya tak mungkin karena yang jelas pemilik rumah akan menaikkan tarifnya. Setelah kami timbang-timbang, daripada uang untuk membayar kontrakan lebih baik untuk mengumpulkan bahan bangunan.

Untung ada sebuah toko bangunan yang bisa kami titipi. Kebetulan pemiliknya orang sesuku denganku. Jadi bisa minta tolong karena dianggap seperti saudara. Sedikit demi sedikit kami bisa mengumpulkan batu, pasir, batako, besi, dan semen.Dengan begitu bila keuangan sudah siap, maka kami tinggal mengambilnya sajaerbagai gambar rumah kami kumpulkan untuk referensi. Kemudian kami minta denah ruang beserta ukurannya pada salah seorang teman. Gambar denah rumah pun cocok dengan yang kita rencanakan. Gambar itulah yang selalu diletakkan di samping sajadah sholat suamiku. " Ya, biar sekaligus menjadi doa." katanya.

Doa untuk dimudahkan dalam membangun rumah selalu aku panjatkan pada sujud terakhirku.

Kakak- kakak iparku pun memotivasi kami untuk segera membangun. Pandangan mereka,"Sama-sama mbangun, sekarang bahan lebih murah, kl nanti pasti lebih mahal." Dari situlah kami bersemangat untuk mulai merencanakan pembangunan.

Kami hubungi tukang untuk mbicarakan segala sesuatunya. Keesokan harinya pembangunan pun dimulai. "Bismillahirohmanirrohim, berilah kemudahan, keselamatan, dan keberkahan dalam pembangunan ini." Begitu doa kami.

Pembangunan episode pertama, begitu aku menamakan, kami lakukan selama empat bulan. Dinding rumah sudah berdiri berikut skat-skat tiap ruang. Kemudian ayahku di Madura meninggal dunia. Pembangunan pun terhenti karena kehabisan dana.

Tiga bulan kemudian kami lanjutkan memasang dak atap kamar kami. Ini kami lakukan karena masa kontrakan kami hampir habis.

"Selesai atau tidak kita harus pindah, Ma." kata suamiku. Karena untuk menambah lagi berarti suatu kebodohan. Nambah sepuluh hari sebelumnya saja sudah lima ratus ribu. "Daripada uang tidak berwujud lebih baik dibelikan bahan bangunan yang kita butuhkan." keputusanku.

Tiba hari terakhir masa kontrakan kami. Sore itu sepulang sekolah kami bersiap-siap mengangkut barang-barang kami. Seorang siswa setia kami meminjakan pickupnya. Beberapa kali kembali untuk menuntaskan semuanya. Sementara Bu Tutik, tetanggaku, kuminta memasak untuk makan malam sekaligus buah tangan untuk perkenalan kami dengan tetangga.

Alhamdulillah maghrib semua sudah beres. Kamar berdaun jendela seng, daun pintu dan jendela yang lain belum ada. Lantainya pun belum berkeramik. Pagi tadi tukang kami hanya membuat cor sementara saja. Di kalangan tukang mereka menyebutnya dirabat. Bukan main gerahnya malam itu. Gerah karena uap semen yang baru kering ditambah oleh paparan seng penutup jendela. Sementara itu tukang AC belum mau memasang karena dinding nya belum harus. Walaupun begitu tapi inilah rumah kami. Kami bahagia sudah mempunyai rumah sendiri.

Nyanyi katak bersahut-sahutan, derik belalang pun menambah indahnya suasana. Mereka seakan menyambut kami malam itu.

Saat itu kamar mandi belum selesai. Aku terpaksa menumpang mandi pada tetangga sebelah. Sedangkan anakku karena masih kecil mandi di luar dengan menggunakan slang. Suamiku biasanya mandi di masjid sekalian berjamaah.

Masak pun kami lakukan di luar dengan atap kain rentang bekas backround acara-acara sekolah. Maklum dapur kami belum jadi. Karena ada beberapa sisi bener yang sobek, maka saya harus mengenakan payung bila sedang memasak.

Lambat laun kamar mandi sudah selesai. Kami pun tidak menumpang lagi. Daun jendela kamar sudah terpasang. Daun pintu utama pun sudah. Hanya saja jendela yang lain tidak kebagian dana. Sehingga kami menutunya dengang seng. Pemikiran kami '"Kalau seng kan suaranya nyaring kalau dicongkel orang." Insyaallah lebih aman. Semoga.

Rupiah demi rupiah kami kumpulkan lagi. Setelah terkumpul pembangunan tahap dua kami lanjutkan. Kali ini kami membuat landasan lantai dua di atas ruang tamu, garasi, kamar mandi, dan dapur.

Walaupun kamar mandi belum jadi tapi kami bisa menggunakan bagian bawah daknya untuk mandi. Meski hanya memakai slang yang diarahkan ke bawah dengan menggunakan tali. Hemmm nikmat sekali mandi hari itu. Dibanding harus numpang mandi di rumah tetangga.

Berangsur-angsur kamar anak kami pun selesai. Namun secara keseluruhan rumah kami belum selesai. Bagian tengahnya masih belum beratap sehingga sinar matahari dengan leluasa menembus ke dalam. Beberapa tanaman pun kami tanam di dalamnya. Pepaya, cabai, tomat, dan jeruk siap dipanen saat sudah masak. Pohon markisa yang menjalar kami manfaatkan untuk menahan sinar matahari. Selain itu juga berfungsi menahan air hujan agar tidak masuk ke kamar.

Dari luar orang menganggap rumah kami tidak berpenghuni. Ada juga yang berkomentar negatif dengan mengatakan,"Salahnya buat rumah terlalu besar, lihat itu gak selesai-selesai juga." Masa bodoh dengan komentar itu. Mereka tidak tahu apa yang kita rencanakan.Kalau untuk kami berdua saja buat apa kami membuat rumah sebesar ini.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Runtut, mengalir bagai aliran bengawan solo. Smoga segera terwujud mimpinya ya

27 Aug
Balas

Makasih. Aamin.

27 Aug
Balas

Makasih Pak Joko.

27 Aug
Balas

Saya pikir tadi jenengan mimpi beneran di waktu siang.Ahh...ternyata bukan mimpi di siang bolong...

27 Aug
Balas



search

New Post