Keseraman Tahlilan Hari Ketujuh
Tadi malam hari ketujuh meninggalnya paman kami. Seperti biasa dalam budaya keluarga besar suamiku ini namanya talillan terakhir. Karena tahlilan berikutnya masih lama. Menunggu empat puluh harinya. Begitu kata mereka. Saudara, teman, dan tetangga pun mengikutinya.
Jamaah tahlil pun membludak. Sudah sepantasnya karena Paman adalah salah satu imam tetap di Masjid Turba. Bahkan seminggu sebelum beliau pergi masih mendapat jadwal imam dan khotib sholat Jumat di sana.
"Berapa yang datang?" tanya salah satu saudara kami. "Seratusan mungkin," jawab sepupuku. Mereka semua kalang kabut. Satu dari mereka langsung berinisiatif.
Sambil menata makanan kami berbincang-bincang. Salah seorang tanteku menggendong cucunya yang tidur sambil dikipas-kipas. Gerah sekali malam itu.
Saat itulah aku dan tante membincangkan daerah sekitar rumah kami yang sepi. Memang bangunan rumah kami agak berjauhan dengan tetangga. Rumpun bambu kuning pun ada yang kami tanam di dalam rumah. Kami hanya bertiga serumah. Kata orang rumah kami seram.
"Sampean gak pernah diketok-ketoki, Nak?" tanya Tante "Ya pernah," jawabku santai. Kontan seisi ruang terbelalak. "Ha???" Sampai-sampai cucu tante terbangun. Lalu kulanjutkan, "Ya diketoki Papanya, diketoki Aisyah."
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Hahaha,.ternyata gak seram
tak kira ae da apa, searamnya diluar tkp, haha......
Ha...ha...ha.......