NAMAKU MUTIA
NAMAKU MUTIA
#TantanganGurusiana
Hari ke-47
Episode: Luka
Kubawa luka itu, dengan membulatkan tekad... akan kutaklukkan Jakarta. Ibuku dengan segala kesederhanaanya hanya bisa mengikuti kemanapun aku pergi. Ibuku telah menjual rumah tempat kami tinggal, peninggalan ayahku. Ibuku mengerti betul apa yang dirasakan oleh anak semata wayangnya. Dengan cara berpikirnya yang sangat sederhana, ibu hanya ingin menyelamatkanku. Dia hanya tahu anaknya tidak akan mampu untuk bangkit, bila dipaksakan untuk tetap tinggal di sini, di kota kelahirannya. Walaupun terasa berat dia bersedia mengikuti keinginanku untuk pergi jauh, melupakan segalanya.
Dengan derai air mata yang tak tertahan, kubawa bayi yang tak berdosa ini, kutinggalkan kota kelahiranku yang tersayang. Tekadku sudah bulat, ingin kuhapus masa laluku yang penuh luka ini. Kulupakan laki-laki brengsek yang telah meninggalkan aku begitu saja setelah tahu aku hamil dua bulan. Dia pergi dengan temannya yang menjanjikan jabatan di perusahaan tempatnya bekerja. Seorang wanita muda cantik, menawan, dan anak pemilik perusahaan tempatnya bekerja, dan kini laki-laki brengsek itu lebih memilih untuk menikahi Agusta. Setelah bersusah payah mempertahankan pernikahan akhirnya aku menyerah, umur pernikahanku hanya bertahan satu tahun.
Sesampainya di Jakarta, kami mencari tempat tinggal sementara. Tinggal bersebelahan dengan saudara sepupuku, yang telah terlebih dahulu mengadu nasib di ibu kota. Kami ngontrak rumah petak, hanya satu kamar, dengan kamar mandi dan dapur kecil, dan tanpa ruang tamu. Kami memutuskan untuk tinggal di situ, di samping dekat dengan saudara sepupuku, juga harga sewanya sangat murah. Kami harus ngirit, karena di tempat baru ini kami belum tahu akan mendapatkan penghasilan dari mana untuk memenuhi segala kebutuhan. Uang dari hasil penjualan rumah, sudah ku tabung, tidak akan dipakai kalau tidak mendesak sekali.
Dua hari setelah melihat keadaan di sekitar tempat tinggal kami, ibuku mengusulkan untuk berjualan nasi uduk. Aku menyetujui usul ibu, karena kupikir itu memang satu-satunya jalan untuk memperpanjang uang yang ada di dompetku, yang hanya tersisa beberapa ratus ribu saja. Aku tidak memiliki ide yang lebih bagus, entahlah saat ini aku tidak bisa berpikir. Aku masih sibuk dengan rasa sakit hatiku, masih sering menangis, dan berdiam diri. Ibu rupanya tahu itu, makanya dia mengambil inisiatif untuk berjualan nasi uduk. Ibuku tidak memiliki keahlian lain, dia hanya ibu rumah tangga biasa, yang segala kebutuhannya dipenuhi oleh ayah. Sedangkan aku, setelah lulus dari perguruan tinggi, aku belum pernah merasakan bekerja sama sekali. Begitu lulus, dilamar, dan memiliki anak. Aku tidak mengira sama sekali akan disia-siakan seperti ini. Dulu aku berpikir akan hidup bahagia, sebagai seorang istri setelah menjalani proses pacaran yang cukup lama, tiga tahun. Kupikr aku sudah mengenalnya, tapi ternyata tidak sama sekali. Aku telah salah menilai dan memilih pasangan hidup.
Dalam kondisi seperti ini aku sangat bersyukur memiliki ibu yang selalu mendukungku. Anakku masih berumur tiga bulan, saat kami memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Terpaksa kutitipkan kepada ibu, kucoba mengadu nasib mencari pekerjaan ke setiap perusahaan. Tanpa lelah mengikuti tes ke sana ke mari, tapi tidak kunjung berhasil. Tak satupun perusahaan yang berkenan menerimaku bekerja, tanpa pengalaman kerja dan dengan statusku sebagai seorang istri di KTP, rupanya perusahaan-perusahaan berpikir panjang untuk menerima karyawan sepertiku. Akhirnya kuputuskan untuk menerima tawaran sepupuku untuk menjadi pelayan di butik tempatnya bekerja. Tidak lagi kupikirkan tentang ijazahku, sekarang yang terpenting untukku adalah menyelamatkan anakku Leia. Kuberi nama itu, karena mengingatkanku akan karakter dalam tokoh perempuan yang pemberani, dan pantang menyerah. Ku ingin Leia menjadi perempuan yang pemberani, yang bisa melindungi dirinya sendiri, sehingga tidak ada satupun yang akan menyakitinya.
Jam tiga pagi biasanya ibu sudah bangun untuk menyiapkan semua bahan dagangannya. Biasanya aku terbangun jam empat pagi, kusiapkan segala kebutuhan anakku, dan membereskan seluruh kebutuhannya. Sebisa mungkin kusiapkan semuanya, tidak mudah bagi ibuku berjualan sambil mengurus cucu yang masih berumur tiga bulan. Tapi... ternyata ibuku tidak serapuh yang kubayangkan, ibu bisa mengatasi semua ini, tak pernah sedikitpun terdengar keluhan di bibirnya. Ibuku menjadikanku semakin tegar dalam menghadapi semua cobaan ini... Ibu selalu mengingatkan, namaku “ Mutia” yang diambil dari nama pahlawan aceh “ Cut Nyak Meutia” yang gagah berani dan pantang menyerah... maka akupun harus menjadi seorang wanita yang gagah berani dan pantang menyerah dalam menghadapi kehidupan... seberat apapun kehidupan yang harus kujalani..
Bersambung...
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Bagus bu haji... dari awal sudah ada konflik, seru..
Terima kasih neng...
Siap menuju puncak cerita!
Siap ...
Kasihan ya bu, perih kehidupan sang tokoh..bagus bu hj.
Makasih neng
Lanjut Bu
Ashiaaaappp
Kereeeen bu, ditunggu lanjutannya. Barokallah.
Siap ... Terima kasih sdh mau mengunjungi tulisan sy
Bagus cerita nya. Lanjut...
Oke...lanjut
Keren.. Lanjut ke episode berikutnya
Siap neng... Alhamdulillah sdh mau membacanya
Mantap
Mutia... Semangaaat!
Semangat