#Tantangan Gurusiana

#Tantangan hari ke-41 (21092020)

Senja mulai menampakkan diri dengan sinar jingganya yang berkilauan. Angin masih membelai dataran lapang berumput hijau di kaki bukit dengan tiupan manjanya. Sardi bersiul riang. Panjul, kambing semata wayangnya telah kenyang. Penuh semangat dan berirama, siulan Sardi terdengar merdu di telinga. Sesekali terdengar suara seruling yang ditiup Abidin beradu dengan suara ecrek-ecrek dari botol bekas air mineral berisi beberapa kerikil kecil yang di goyang-goyangkan Sardi.

Permukaan tanah yang bergelombang, tak menyurutkan kaki-kaki kecil mereka melangkah dengan ringan meski tanpa berhias alas kaki. Kepolosan mereka sejatinya merupakan kekuatan yang tak kasat mata. Hanya ada tawa, canda dan bahagia mewarnai hari-hari mereka. Masa kanak-kanak yang begitu indah, setidaknya itu yang tergambar dari wajah mereka berdua.

Sardi yang saat ini berusia sembilan tahun, nampak lebih matang dibandingkan umurnya. Begitu juga dengan Abidin, teman sepermainan yang rumahnya bersebelahan dengan Sardi, umurnya hanya selisih setahun lebih tua dari Sardi. Mereka tumbuh bersama layaknya dua bersaudara. Hidup yang serba prihatin, mengajarkan mereka tentang makna persaudaraan, meski tak sedarah.

Semenjak ibunya meninggal, Sardi tinggal berdua dengan bapaknya. Kata tetangga, ibu Sardi meninggal karena di gigit ular saat membantu menggembala sapi pak Badrun, juragan sapi di desanya. Karena keterbatasan dana, kala itu ibu Sardi hanya di bawa ke dukun untuk berobat. Malang tak dapat di tolak, untung tak dapat di raih, nyawa ibu Sardi tak bisa tertolong karena racun ular menyebar begitu cepat. Usia Sardi masih tiga tahun saat itu. Namun kenangan bersama ibu tercintanya masih tertinggal di memorinya. Sedikit banyak, wajah sardi mirip ibunya. Begitu ucapan tetangga yang sering terdengar oleh Sardi.

Bojonegoro, 21 September 2020