Ely Rositawati

A mom, a teacher, books lover, loves being around with children...

Selengkapnya
Navigasi Web
He has touched my heart (3)

He has touched my heart (3)

Minggu pagi adalah waktu untukku mengantar mama ke pasar. Belanja stok isi kulkas untuk 1 pekan. Sebuah kegiatan rutin yang dilakukan mama setiap minggu. Dulu tugas antar mengantar Mama adalah tugas mas Bagas, karena semenjak papa berpulang karena tumor paru-paru, mas bagaslah yang berperan menjadi pengganti almarhum Papa.

Dan sekarang semenjak mas Bagas yang seorang Sarjana Teknik Pertambangan itu ditugaskan ke luar pulau Jawa oleh perusahaan tempatnya bekerja, mau tidak mau akulah yang harus menyingsingkan lengan membantu mama. Mama punya usaha katering kecil untuk pegawai staf pabrik di dekat rumah kami. Tidak banyak. Hanya 30 porsi setiap harinya, tapi cukuplah untuk membuat mama sibuk dan lupa akan kesedihannya terhadap kepergian Papa. Kepergian mendadak yang sempat membuat mama nyaris seperti depresi.

Kehilangan pasangan hidup adalah pukulan terbesar buat mama. Karena menjelang kematiannya, papa tidak pernah memberi tahu mama soal penyakit yang dideritanya. Aku dan mas Bagas pun tidak pernah tahu. Papa seolah menyembunyikan penyakitnya dari kami, sebuah keputusan yang sampai sekarang kami tidak pernah tahu alasannya. Aku hanya tahu ada pertengkaran besar antara papa dan mama, jauh sebelum kami mengetahui kalau papa sebenarnya sedang diambang maut.

Tuk tuk! Seseorang mengetuk kaca jendela mobilku. Aku menoleh kaget, lamunanku buyar. Kulihat mama berdiri di samping jendela mobil, memberi isyarat untuk membuka pintu bagasi seraya tersenyum masam. Kutekan tombol pembuka bagasi lalu beranjak keluar mobil mendekati mama.

“Bukannya nunggu mama di depan pasar, malah nunggu di dalem mobil.” Protes mama cemberut.

“Hehe, habisnya becek banget ma, mana bau lagi, gak tahan Dila..” Aku nyengir menggaruk-garuk kepalaku. Kuraih salah satu kresek hitam besar yang digeletakkan bocah kuli angkut bertubuh kurus di depan bagasi, hendak membantu memasukkan ke dalam bagasi mobil, ketika kusadari bocah itu sedang termanggu menatapku.

“Miss Fara.” Ia menyebut nama panggilanku di sekolah. Namaku memang Faradila. Teman-teman dan muridku biasa memanggilku dengan sebutan Miss Fara. Mataku beralih memandangi bocah kuli angkut itu dengan seksama.

“Herdian?” Cetusku tak percaya. Di sekolah penampilan anak ini sudah paling lusuh, dan sekarang dengan kaki kotor, kaus kumal yang dihiasi percikan lumpur dan terlihat kebesaran di tubuh kurusnya, kalian bisa bayangkan seperti apa wujud anak ini. Aku saja hampir tidak mengenalnya.

Di luar dugaan Herdian menyunggingkan senyum lebar menatapku. Sinar matanya terlihat gembira dan berseri-seri. “Miss bisa nyupir mobil?” tanyanya polos. “Waah, Miss Fara hebat..”

Aku termanggu beberapa detik. Entah kenapa senyum lebar dan sinar mata polosnya menghipnotisku. Ya Tuhan, aku ingin adik seperti dia.

“Kamu kenal anak itu, de?” Mama berucap pelan disebelahku.

“Dia muridku ma.” Lirihku sambil masih memandangi Herdian yang kini sedang memasukkan tas belanjaan mama yang terakhir.

“Mama gak buru-buru kan sekarang?”

“Nggak, kenapa memangnya?”

“Dilla mau antar dia ke rumahnya, katanya mamanya lagi sakit, Dilla pengen bantu-bantu dia. Boleh kan, Ma?”

Mama terdiam menatapku bingung. Detik selanjutnya senyumnya mengembang. Ia mengusap kepalaku pelan. “Sifatmu persis seperti papamu. Tentu saja boleh, ayo.”

Dan singkat cerita, Herdian mau kuantar pulang dengan alasan aku disuruh bu Sari menengok ibunya. Walaupun dengan sikap tubuh yang ragu dan sungkan, kuperhatikan ia terlihat senang sepanjang jalan. Ia juga bercerita kalau ayahnya dulu suka mengajaknya jalan-jalan dengan mobil seperti mobilku ini. Aku baru saja ingin bertanya tentang ayahnya ketika ternyata kami sudah sampai di depan gang rumahnya.

Mobilku tidak bisa masuk ke dalam gang itu. Sehingga kami harus berjalan beberapa puluh meter menuju rumah Herdian yang ternyata adalah kontrakan satu pintu yang terasa pengap karena kurangnya cahaya. Kontrakan itu ada di ujung gang yang berbatasan langsung dengan tembok tinggi sebuah pabrik yang sepertinya tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya.

Saat Herdian mengetuk pintu, tak ada jawaban dari dari dalam rumah. “Ibuu.. Assalamualaikum!” Suara bening Anak berumur 11 tahun itu kembali meneriakkan salam. Lalu terdengar suara lemah perempuan menjawab salam dari dalam. Pintu terbuka, dan kulihat seraut wajah pucat yang sangat kurus berbalut kerudung lebar menampakkan senyumnya. “Maaf ibu ketiduran, sayang.” Lalu senyum itu berubah canggung saat menyadari ada orang lain di belakang anak lelakinya.

“Aku sama bu guru, bu. Miss Fara.” Herdian berkata sambil melihat ke arahku. Aku menganggukkan kepala sopan. “Assalammualaikum, bu. Saya Faradila, guru bahasa inggrisnya Herdian, dan ini mama saya.”

“Alaikumsalam, miss Fara. Silahkan masuk miss. Maaf begini saja rumah Iyan.” Ucapnya lemah dan seperti orang bingung hendak mempersilakan kami duduk dimana. Karena ada banyak sekali kain-kain berserakan di dalam ruangan itu.

Aku melangkah masuk kedalam ruangan itu sementara kulihat mama mengerenyitkan hidungnya. Kuharap mama bisa bertoleransi dengan penciumannya yang sensitif untuk saat ini. Mama gampang sekali merasa mual kalau mencium bau-bauan aneh. Kuharap hal itu bisa ia tahan sekarang. Sungguh hanya satu kata yang terbersit saat melihat keadaan Herdian dan mamanya di dalam kontrakan ini. Menyedihkan. Dan aku merasa ingin menangis karenanya.

Dengan gerakan lemas dan nampak oleng kulihat mama Herdian memberesi kain-kain itu dan melipatnya dengan asal ke atas hamparan kasur tipis satu-satunya di dalam ruangan itu. Sebuah handuk bernoda darah tampak ia sembunyikan dengan cepat. Aku menajamkan penglihatanku. Itu jelas darah segar karena warnanya masih terlihat sangat jelas, berwarna merah.

“Bu Sari bilang, mama iyan sakit.” Aku membuka percakapan dengan kata-kata pendek. Tenggorokanku seperti tercekat.

“Iya, miss. Sudah hampir setahun ini. Maaf kalau saya jadi kurang memperhatikan Iyan.”

“Sudah hampir setahun, apa sudah berobat, bu?” Mamaku ikut bertanya prihatin.

“Sudah bu, sudah kemana-mana. Medis sudah, alternatif sudah. Sampai habis-habisan saya.” Wajah dengan bibir dan pipi pucat itu tampak bergetar. Seperti manahan tangis. “Saya harus sembuh demi Iyan, dia tidak punya siapa-siapa lagi, selain saya ibunya.”

“Insya Allah sembuh bu, dengan usaha dan doa. Jika Allah berkehendak ibu sembuh, pasti sembuh.” Mama berucap tulus, yang kusadari hanya sebagai penyemangat saja untuk ibunya Herdiyan. Karena aku sendiri sangsi. Kanker yang sudah terus menerus mengeluarkan darah segar dari luka biasanya sudah dalam stadium akut. Tapi seperti kata mama kalau Allah sudah berkehendak tidak ada yang tidak mungkin, bukan.

“Aamiin.” Ibu herdiyan mengaminkan.

Pandanganku mengitari ruangan sempit yang makin terasa sempit karena ditambah kehadiranku dan mama didalamnya. Tanpa sengaja mataku menangkap sebuah foto berukuran 5R dengan pigura yang terlihat sudah usang terpasang di dinding yang catnya sudah mengelupas disana sini. Ada 3 raut wajah tersenyum dalam foto itu. Wajah ibu herdiyan masih terlihat segar, dan herdiyan dalam foto itu masih berpipi tembem, sangat lucu. Sedangkan wajah lelaki yang memeluk Herdiyan nampak familiar. Kufokuskan tatapanku pada wajah itu. Dan mendadak aku seperti tersetrum di tempat. Bulu kudukku meremang, dan kurasakan hawa dingin menjalar cepat ke punggung dan tengkukku.

“Ibu.. Itu siapa?” tanpa sadar sebuah kalimat tercetus begitu saja dari bibirku. Telunjukku menunjuk foto itu.

“Itu aku sama ayah, miss, sama ibu juga. Sebelum ayah meninggal.” Herdiyan menjawab polos.

“Ya Tuhan!” bisik mama disebelahku. Aku bisa merasakan keterkejutan dalam suaranya. Refleks aku menoleh pada mama. Ya wajah mama terlihat pias, pandangannya terarah pada foto yang sama yang baru saja kulihat. Kugenggan tangan mama dengan cepat. “Ma..” bisikku menenangkan.

“Ternyata kamu orangnya?!” Mama sudah meninggikan suaranya. Atmosfer ketegangan seketika melingkupi ruangan ini. Wajah ibu Herdian yang sudah pucat semakin pucat. Kulihat Herdian sontak berdiri mendekati ibunya dan keduanya saling memeluk. Aku mendadak ingin menangis. Semakin kueratkan genggaman tanganku pada mama. Please, ma.. Jangan ledakkan kemarahan mama disini. Bisikku, tapi ternyata hanya hatiku yang berbisik. Aku terduduk membeku.

“Kamu selama ini yang menjadi racun, saya mencari kamu kemana-mana. Disini ternyata!” Mama terengah dalam emosinya.

“Mama, cukup!” desisku panik.

“Perempuan ini yang mama cari, Dilla! Dia penyebab kematian Papamu!”

“Ampuni saya, bu.. maafkan saya..” Mama Herdian berusaha bangkit dari duduknya. Tapi kemudian tubuhnya menggigil dan jatuh ke lantai begitu saja.

“Ibuu!” tangisan Herdian memeluk ibunya.

Ya Tuhan. Spontan aku bergerak mendekati mereka. Tanpa sengaja jemariku menyentuh kerudung lebar ibu Herdian. Basah dan lembab. Lalu kusadari bahwa itu adalah darah yang berasal dari dadanya. Kini kepanikan melandaku. “Herdian, kita bawa ibu kamu ke rumah sakit. Ayo bantu miss!” Tanpa berpikir lagi kuangkat tubuh kurus itu didiringi isakan tangis seorang bocah laki-laki yang entah kenapa terasa mengiris hatiku.

_bersambung_

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wah....alurnya Sungguh diluar dugaan... Semangat menulis...

27 Nov
Balas

Terimakasih. Semangatt..

27 Nov



search

New Post