Ema Suryani

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

KERIPUT TEMPE DAN TAHU BACEM

Siapa yang tidak kenal dengan makanan tempe dan tahu bacem. Diriku sendiri mengenalnya setelah berumah tangga dan menetap di kota Pangkalan Berandan, Langkat. Aku kelahiran Tanjung Pura, bersuku Melayu darah dari ayah dan Tionghoa darah dari ibu. Keseharian jenis makanan lebih berat mengikuti selera ayah. Gulai lemak khas Melayu. Tiada hari tanpa menggulai. Dari ikan sampai sayur pun bersantan. Istilah orang Melayu “Biar Rumah Condong Asal Gulai Lemak”.

Nah, tempe dan tahu bacem ini, tak ada dalam resep makanan rumahan kami. Pertama kali melihat agak aneh dengan teksturnya. Berwarna coklat, sedikit kehitaman. Penasaran, aku memakannya. Begitu masuk ke dalam rongga mulut. Kunyahan pertama dan seterusnya terasa manis, gurih dan sedap. Membuat diriku ketagihan. Apalagi memakannya bersamaan dengan gigitan cabe kecil. Mak nyoss roso ne. Manis campur pedas. Terasa menelan ludah, saat menceritakannya.

Ops, cukup bercerita tahu dan tempe bacem. Karena bukan itu menjadi topik pembicaraaan dalam tulisan ini. Cerita di mulai saat berbelanja ke pasar tradisional bersama suami tercinta. Rutinitas di hari Minggu. Berbelanja layaknya seperti orang mau berjualan. Banyak barang belanjaan penuh di keranjang. Lain lagi yang ditangan. Semua dirapel untuk satu minggu. Disebabkan tidak bisa berbelanja setiap hari karena terikat pekerjaan sebagai seorang pengajar. Sang suami tak mengijinkan diriku pergi sendiri berbelanja. Menenteng beratnya bawaan. Selalu setia menemani dan membawakan barang. Sayang istri katanya. Alhamdulillah aku sangat bersyukur.

Saat berjalan menyusuri kedai-kedai pedagang sayuran. Suami menahan langkahku, menarik tangan dan berhenti di suatu tempat. Mataku menatap dirinya dengan kening berlipat. Seolah-olah bertanya “Ada apa?” Dia mengerti isyarat yang tergambar di wajahku. Sambil menunjukkan jari telunjuk ke arah seseorang. Mataku langsung mengikuti petunjuk arah jarinya. Seorang perempuan berusia lanjut. Pantas dipanggil uyut panggilan di atas nenek. Berbaju kurung dengan warna ungu. Berjelbab orange bermotif bunga-bunga menutupi kepalanya. Senyum menggaris di bibir dengan kerutan-kerutan kesenjaaan di wajah. Di hati ku berkata, “Masya Allah, nenek seusia ini masih bisa berjualan.”

Pandanganku jatuh pada barang jualan tepat di hadapan. Sebuah tampah bambu kecil, berisi tempe dan tahu bacem serta setumpuk cabai kecil. Dengan tangan berirama tak beraturan menggenggam sebuah garpu. Pandangan ku alihkan ke wajahnya. Suara lembut bertanya “ Mau beli bacemnya nak?”

Bibirku tak sempat menjawab, keburu suami menyahut. Suara lembut itu berucap kembali,” Kalau mau, pilih saja sendiri. Mata nenek sudah tidak nampak dengan jelas.” Lagi-lagi suamiku memberi jawaban dan menyerahkan pilihan pada nenek itu. Aku diam sambil memperhatikan. Tiba-tiba perhatianku terganggu. Dikejutkan dengan seseorang menyenggol tangganku. Ku alihkan pandangan. Telah berdiri sejajar seorang lelaki usia separuh baya di samping. Tangannya menyodorkan sebuah kotak besi kecil yang berkunci gembok. Dengan ujaran “Sumbangannya buk.”

Kulirik suami berdiri di sisi samping yang lain. Dia menganggukkan kepala, mengisyaratkan “berikan”.

Mataku tak puas sepintas memandang. Ku amati dari atas kepala sampai ke kaki. Lelaki itu sehat jasmani dan kuat secara fisik. Usianya jauh lebih muda dari sang nenek penjual bacem. Ku berikan selembar uang, dan dia mengucapkan terima kasih. Berlalu. Beralih kepada orang-orang yang lain.

Suami memintaku membayar ke pada nenek. Sambil menerima bungkusan, aku menyerahkan uang.

Dia tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Kami pun membalas senyum. Melanjutkan langkah kembali berbelanja.

Selama perjalanan pulang aku berpikir. Secuil kisah. Gambar perjalanan mengisi kehidupan. Masing-masing dengan caranya. Ada yang berusaha tak mau berpangku tangan sampai di usia senja. Tubuh renta tak mengalahkan semangat menjemput rezeki. Ada juga tanpa bersusah payah mengais rezeki. Hanya dengan mengandalkan meminta-minta kepada orang. Mungkin itu cara yang halal untuk mencari rezeki bagi dirinya. Dibandingkan harus mencuri. Merenungi semua itu, rasa syukur jualah kuucapkan kepada maha pemberi rezeki. Tanpa izinnya jangankan sesuap, sebutir nasi pun takkan dapat ditelan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap, belajar dari universitas kehidupan. Sukses selalu dan barakallahu fiik

18 Sep
Balas

Terima kasih bu atas doa dan dukungannya. Mohon bimbingannya untuk seorang yang baru menulis.

18 Sep



search

New Post