Part 1 Kehilangan yang mengubah segalanya
Pagi itu, matahari menyelinap di sela-sela tirai, membanjiri kamar dengan cahayanya yang hangat. Dulu, sinar pagi seperti ini selalu membangkitkan semangatku. Suaranya yang lembut, "Bangun, Sayang, sudah pagi," membuat segala kelelahan hilang. Dia akan menyodorkan secangkir teh hangat ke meja kerja, lalu tersenyum—senyum yang membuat dunia terasa begitu bersahabat.
Hidup kami sederhana tapi penuh kebahagiaan. Suamiku adalah sosok yang selalu percaya padaku, bahkan lebih dari aku percaya pada diriku sendiri. Dia tahu bagaimana mendorongku tanpa membuatku merasa tertekan. Ketika aku terjebak dalam keraguan, dia hanya akan berkata, "Kamu bisa. Aku yakin itu." Kata-kata sederhana yang selalu berhasil mengusir keraguank, sambal mengecup keningku. Hal itu yang membuatku selalu nyaman bersamanya.
Kami menjalani kehidupan seperti sepasang burung yang terbang bersama, membangun sarang dari mimpi-mimpi kecil. Aku sibuk dengan pekerjaanku yang menumpuk, sementara dia selalu ada, siap membantuku dengan dengan berbagai cara atau sekadar menjadi pendengar di tengah malam yang sunyi. Dialah tiang penyangga hidupku.
Bagaimana caranya? Aku hanya punya sebelah sayap kini. Dan setiap langkah terasa seperti melawan arus yang deras.
Tujuh tahun lalu, hidup kami berubah drastis ketika dokter memvonis suamiku menderita penyakit jantung. Hari itu, aku melihat ketakutan di matanya—ketakutan yang tak pernah kutemui sebelumnya. Dia adalah pria yang selalu tampak tangguh, seseorang yang bisa mengatasi segala hal dengan senyuman dan semangatnya. Tapi kali ini, ketakutan itu nyata, dan aku tahu kami akan menghadapi perjalanan yang berat.
Namun, dia menolak menyerah. Meski kondisinya tidak stabil, suamiku adalah sumber inspirasi. Setiap hari, dia berjuang menjalani rutinitas pengobatan, dari meminum obat-obatan hingga mengikuti diet ketat yang jauh dari makanan kesukaannya. Dia bahkan mulai berjalan kecil di pagi hari, sesuatu yang dulu dia anggap remeh. "Aku ingin hidup lebih lama untukmu dan anak kita," katanya, matanya penuh tekad. Kata-kata itu menjadi kekuatanku untuk terus mendampinginya.
Perlahan, kesehatannya mulai membaik. Tahun demi tahun berlalu, dan kami mulai merasa bahwa badai telah berlalu. Dia kembali bekerja, meski dengan batasan, dan kami kembali menikmati momen-momen sederhana bersama—bercanda di meja makan, merencanakan liburan kecil, atau sekadar berbincang di teras rumah sambil menikmati teh. Tapi di balik semua itu, aku tahu tubuhnya tetap rapuh.
Tiga bulan terakhir adalah masa-masa yang paling sulit. Kondisinya mulai menurun drastis, dan dia harus bolak-balik dirawat inap. Rumah sakit menjadi tempat yang begitu akrab bagi kami. Aku duduk di samping tempat tidurnya, mendengarkan detak jantungnya melalui monitor yang selalu berbunyi. Aku tahu dia lelah, tapi dia terus mencoba terlihat kuat di depanku.
“Aku baik-baik saja,” katanya setiap kali aku memintanya untuk lebih hati-hati. Namun, sering kali dia lupa bahwa tubuhnya tidak sekuat dulu. Dia tetap ingin melakukan banyak hal, membantu di rumah, bahkan sesekali memaksakan diri bekerja. Aku sering memarahinya, tapi dia hanya tersenyum kecil, “Aku ingin hidup seperti biasa, bukan hanya bertahan.”
Hingga pada suatu pagi di bulan Agustus 2023, tiba-tiba saja dia pingsan dan akhirnya dipindahkan ke ruangan ICU. Dokter meminta satu orang menemaninya diruangan tersebut. Aku duduk disampingnya sambal melantunkan ayat-ayat suci Al-qur’an. Hanya waktu sholat aku bergantian dengan anak laki-lakiku menjajaganya. Setelah selesai sholat isya aku Kembali menemaninya yang belum juga sadar. Kondisinya semakin menurun. Tetapi aku masih memiliki harapan bahwa suamiku akan Kembali sadar. Baru satu jam aku Kembali duduk disampingnya, aku kehilangan separuh jiwaku. Dia pergi dengan tenang, meninggalkan aku dalam keheningan yang menusuk. Aku belum siap. Aku tidak tahu bagaimana melanjutkan hidup tanpa dia di sisiku. Semua terasa kosong—rumah ini, hari-hariku, bahkan hatiku.
Ketika aku melihat ke belakang, aku menyadari bahwa selama tujuh tahun terakhir, dia telah memberi kami lebih dari sekadar waktu. Dia memberi kami semangat, keberanian, dan cinta yang tak pernah luntur. Meskipun aku kehilangan tubuhnya, aku tahu bahwa jiwanya akan selalu ada, menguatkanku untuk melanjutkan hidup, meski dengan hati yang penuh kerinduan karena duniaku terasa hancur.
BERSAMBUNG ke part. 2
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar