E.M. Erwani Setya Purnami

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
HATI YANG MERDEKA, MERDEKA DARI BULLYING
sumber ilustrasi: https://matakepri.com/detail-news/2017/03/07/1592/Ini-Alasan-Anak-Bagus-Bergaul-Dengan-Teman-Berbagai-Usia

HATI YANG MERDEKA, MERDEKA DARI BULLYING

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima pengaduan masyarakat terkait kasus perlindungan khusus anak tahun 2021 sebanyak 2.982 kasus. Dari jumlah tersebut, paling banyak atau 1.138 kasus anak yang dilaporkan sebagai korban kekerasan fisik dan atau psikis.

Kasus kekerasan fisik dan psikis tersebut meliputi penganiayaan mencapai 574 kasus, kekerasan psikis 515 kasus, pembunuhan 35 kasus, dan anak korban tawuran 14 kasus. Para pelaku yang melakukan kekerasan fisik dan/atau psikis terhadap korban, umumnya adalah orang yang dikenal oleh korban seperti teman, tetangga, guru, bahkan orang tua. (Sumber: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/01/27/kpai-aduan-anak-jadi-korban-kekerasan-fisik-mendominasi-pada-2021)

Kasus bullying di dunia pendidikan masih terjadi di sepanjang tahun 2021. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, sepanjang tahun 2021 ada 17 kasus yang melibatkan peserta didik dan pendidik.

"Seluruh kasus yang tercatat melibatkan sekolah-sekolah di bawah kewenangan kemendikbudristek," ujar Retno dalam keterangan tertulis, Rabu (29/12).

"Pada bulan Januari, Februari dan September, KPAI tidak mencatat ada kasus perundungan di satuan pendidikan. Namun, pada bulan Oktober justru banyak sekali kasus perundungan yang terjadi," jelas Retno.

Para pelaku kekerasan di pendidikan terdiri dari teman sebaya, guru, orang tua, pembina, dan kepala sekolah. Kasus kekerasan di sekolah didominasi oleh teman sebanyak 11 kasus. Sedangkan pelaku guru ada 3 kasus dan pelaku pembina, kepala sekolah, dan orang tua siswa masing-masing 1 kasus.

Adapun korban mayoritas adalah anak, hanya 1 kasus korbannya adalah guru yang mengalami pengeroyokan yang dilakukan oleh orang tua siswa.

"Yang mengenaskan, korban ada yang meninggal dan mengalami kelumpuhan. Adapun korban meninggal karena tawuran ada 5 orang, karena dianiaya guru ada 1 siswa meninggal, dan 1 siswa di Musi Rawas mengalami kelumpuhan setelah dikeroyok teman sebayanya," ungkap Retno. (sumber: https://kumparan.com/kumparannews/catatan-akhir-tahun-kpai-masih-banyak-kasus-bullying-berujung-korban-meninggal)

Melihat data dari KPI untuk tahun 2021 tersebut, tentu kita prihatin. Apakah perilaku bullying atau perundungan tidak menjadi perhatian pemerintah? Tentu saja menjadi perhatian. Bahkan, pemerintah sudah menyosialisasikan secara massif Permendikbud Nomor 82 tahun 2015 ke sekolah-sekolah. Peraturan Menteri Nomor 82 Tahun 2015 ini tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Walau sosialisasi mengenai penanganan perundungan atau bullying itu sudah acap kali dilakukan, namun mengapa masih saja muncul korban? Bullying atau perundungan sering menimpa siswa atau seseorang yang dianggap lemah. Penulis sendiri sedang menghadapi seorang siswa korban perundungan saat SD hingga SMP. Walau di SMA ini menurut pengakuan si anak tidak terjadi perundungan, namun stigma negatif terhadap orang lain yang ada di sekitarnya belum hilang. Si anak masih selalu berpikir negatif terhadap orang lain; ia selalu memandang buruk mengenai dirinya. Ia selalu memilih kosa kata yang negatif seperti ‘hajar’, ‘bunuh’, ‘tembak’, ‘bakar’ setiap ada permasalahan ditawarkan. Kondisi psikologisnya benar-benar suka lepas kontrol.

Itu contoh efek perundungan yang diterima secara bertahun-tahun sejak anak masih kecil. Akibat perundungan, masa depan seseorang sangat dipertaruhkan. Belum lagi kalau korban sampai mengalami cacad tubuh, atau malah kehilangan nyawa. Tak terbayangkan bukan bagaimana kesedihan yang harus dihadapi orang tua dan keluarga?

Setiap orang memiliki hak untuk Bahagia. Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Tuhan saja memuliakan manusia. Lalu mengapa sesama manusia bisa menganggap orang lain lebih rendah derajadnya sehingga bisa diperlakukan semena-mena?

Sekolah kami memiliki tagline everyone count atau setiap orang berharga. Seluruh warga sekolah selalu diingatkan bahwa setiap orang berharga di mata Tuhan. Tidak ada manusia yang sempurna. Semua orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Dalam kekurangan seseorang, Tuhan menitipkan keistimewaan. Sebut saja musisi dunia Ludwig van Beethoven yang tuli, Eman Sulaiman kiper sepak bola dari Indonesia yang kakinya sebatas lutut, ada juga Ahmad Dzulkarnaen fotografer asal Banyuwangi yang tidak memiliki tangan. Dengan begitu, semua wajib membantu orang menemukan atau memaksimalkan kelebihan tersebut. Bukannya malah menghina dan merendahkan martabat temannya. Tuhan menghadirkan orang lain dalam kehidupannya supaya orang itu jauh lebih sempurna.

Peran kami sebagai guru untuk mewujudkan tagline everyone count, guru-guru selalu memantau. Kalau terdapat konflik segera dicari akar masalahnya. Tidak lupa selalu ditanamkan nilai untuk menghargai martabat manusia dalam penyelesain masalah atau melalui tema-tema renungan harian serta mingguan. Dengan penanaman dan pemantauan pandangan itu secara konsisten diharapkan pembulian atau perundungan di sekolah dapat dihilangkan. Dengan begitu, semua siswa dan warga sekolah termasuk guru memiliki kenyamanan bersosialisasi.

Dalam rangka peringatan kemerdekaan Negara Indonesia, diharapkan bukan hanya terjadi eforia perayaan kemerdekaan Indonesia melainkan terwujud juga kemerdekaan hati dalam bersosialisasi dan berekspresi tanpa ada tekanan dari pihak mana pun. Setiap siswa merdeka dari perasaan tidak nyaman dan ketakutan terhadap pihak lain. Tentu saja diharapkan di luar sekolah pun siswa bisa mengimplementasikan karakter itu ketika berhadapan dengan orang lain. Orang yang berbeda dengannya. Entah berbeda status sosial, suku, agama, atau pandangan hidup tertentu.

Mudah-mudahan kalau setiap guru di Indonesia bersatu hati bergerak bersama menanamkan kepedulian terhadap penghargaan martabat orang lain tanpa melihat sekat-sekat tertentu, diharapkan akan memutus rantai perundungan di masyarakat. Dan tentu saja guru-guru pun harus mampu menjadi role model untuk itu. Tidak ada hal yang mustahil untuk mewujudkan sesuatu yang baik. Merdeka!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Merdeka, mari kita reduksi bullying...

09 Aug
Balas

Terima kasih, Pak.

23 Aug

Kereeen ulasannya, Bunda. Salam literasi

09 Aug
Balas

Terima kasih

23 Aug



search

New Post