KAKI AYAH
TANTANGAN GURUSIANA (18)
KAKI AYAH
“Berkata-kata itu lebih bagus dapi pada diam, melainkan membisu itu lebih baik dari pada berkata yang menyakitkan hati orang lain”(Kata Bijak)
Aku berasal dari keluarga yang sangat sederhana, bahkan bisa dibilang miskin. Ayah seorang petani penggarap sawah keluarga, sedang ibu hanyalah seorang ibu rumah tangga. Aku anak pertama dari empat bersaudara. Kami berempat dibesarkan dalam serba keterbatasan.
Keluargaku tinggal di persawahan yang jaraknya sekitar 15 KM dari perkampungan. Ayah memilih membuat gubuk di persawahan agar tidak jauh dengan sawah. Aku dan adikku yang nomor dua setiap hari harus berjalan kaki melewati pematang sawah untuk sampai di sekolah. Adik yang nomor dua dan tiga belum bersekolah, umurnya sekitar empat tahun dan dua tahun.
Meskipun keluargaku bukan dari keluarga berada, tapi kedua orang tuaku selalu mendidik kami dengan nilai-nilai agama. Setiap selesai salat magrib, aku dan adikku diajari mengaji. Selain itu, kami juga diajari tatakrama dan sopan santun. Tak lupa ayah dan ibu selalu memberi kami motivasi untuk tetap semangat belajar.
“Kamu harus rajin belajar, Nak. Cukup Ayah dan Ibumu ini yang buta huruf,” kata Ibu suatu malam setelah kami mengaji bersama.
“Kamu jangan seperti Bapak sama Ibumu yang hidup miskin, Nak. Kamu harus kaya, kamu harus menjadi anak yang sukses supaya anak-anakmu tidak merasakan apa yang kamu rasakan”, lanjut Bapak memberi wejangan kepada kami.
Kata-kata Ayah dan Ibu menikam jantungku. Tikaman yang menyalakan api semangat untuk mengubah nasib. “Aku harus sekolah, aku harus sukses”, gumamku dalam hati.
Aku semakin semangat belajar, semakin rajin menyelesaikan tugas-tugas dari guruku di sekolah. Setiap penaikan kelas, nilaiku paling tinggi dari semua teman-temanku. Juara kelas, itu brand-ku. SD dan SMP kuselesaikan di kampung halanmku dengan nilai tertinggi, bahkan saat penamatan SMP, nilaiku tertinggi se-kabupaten.
Agar aku bisa mewujudkan mimpi Ayahku, aku mengusulkan agar aku melanjutkan sekolah di kota. Keinginanku dikabulkan oleh Ayah. Ayah tidak menghalangiku karena di kota ada paman yang sudah menjadi guru di salah satu madrasah. Dengan penuh rasa bahagia, kutinggalkan desaku. Meskipun berat berpisah dengan orang tua dan adikku serta sanak keluarga, tapi aku harus menjalaninya demi mengubah nasib keluargaku.
Di Kota, aku tinggal di rumah paman. Sebagai anak tinggal, aku harus bisa menyesuaikan diri. Semua pekerjaan rumah harus aku kerjakan. Mulai dari memasak, mencuci, menyeterika, mengepel dan menjaga adik sepupu.
Agar tujuanku ke kota untuk sekolah tidak terbengkalai, maka aku harus pintar-pintar mengatur jadwal. Tak jarang rasa lelah mendera, sedih muncul secara tiba-tiba, namun aku tepis dengan cara membayangkan keadaanku di desa. Tak jarang pula disetiap sujud panjangku, bulir-bulir bening hangat menetes membasahi pipi. Semua keluh kesah kusampaikan hanya pada Sang Pemberi Hidup. Manusiawi jika aku capek dan mengeluh, tapi tak kubiarkan rasa itu mendiami pikiranku.
Masa SMA kulalui dengan penuh perjuangan, antara pekerjaan di rumah dan tugas sekolah. Alhamdulillah, tak satu pun yang terbengkalai. Pekerjaan di rumah beres dan tugas sekolah tuntas. Akhirnya masa-masa SMA selesai dengan nilai memuaskan.
Tibalah saatnya aku akan masuk perguruan tinggi. Mimpi-mimpi orang tuaku tetap menjadi pelecut semangat untuk melanjutkan pendidikan. Aku berkeinginan melanjutkan kuliah di Bandung, meski sebenarnya aku sangat paham dengan keadaan orang tuaku. Keinginanku itu kusampaikan ke Ayah tapi tidak dengan paksaan. Jika memang Ayah tidak mengabulkan, aku mahfum.
Suatu malam, seorang paman dari keluarga Ibu datang bertamu, Ia menanyakan tentang sekolahku. Maka kuceriterakanlah perjalanan panjang sampai aku menamatkan SMA. Aku menyampaikan keinginanku untuk melanjutkan kulian di Bandung. Dengan nada tenor, aku dihardiknya dengan kata-kata pedis.
“Apa? Kamu mau kuliah di Bandung? Duit dari mana? Kau jual kaki ayahmu pun, kamu tidak bisa kuliah”, bentak paman diiringi tatapan sinis.
Mendengar hardikan paman, aku hanyak tertunduk malu. “Benar juga kata paman. Aku mau ambil duit dari mana?” gumamku sambil menyeka bulir bening yang sedari tadi terbendung.
Kata-kata paman sungguh menyayat hatiku. Betapa lelaki itu menghina keluargaku. Meskipun memang keluargaku miskin, tapi tidak harus menghina Ayahku. Harga diri keluargaku diinjak-injak.
Perkataan paman kusampaikan pada ayah ketika Ayah dan Ibu datang mengunjungiku. Aku sangat kagum pada Ayah. Aduanku tidak ditanggapi dengan emosi. Dengan santainya ayah menjawab dengan lembut.
“Biarlah, Nak. Apa yang disampaikan pamanmu itu benar. Ayah memang tidak sanggup menyekolahkanmu di Bandung. Kaki Ayah hanya dua. Tak mampu menopang besarnya biaya kuliahmu, Nak. Kata-kata pamanmu kita jadikan motivasi, Nak. Kamu kuliah baik-baik, buktikanlah bahwa tanpa menjual kaki Ayahmu ini, kamu bisa sukses”.
Mendengar jawaban Ayah, aku semakin sedih. Aku dan Ibu saling berpelukan diiringi dengan tangis. Aku bertekad, harus sukses tanpa menjual kaki Ayah. Aku akan membuktikan kepada paman bahwa aku sukses tanpa harus menjual kaki Ayahku.
Selama kuliah, kata-kata itu tetap tergiang di telinga bak nyanyian pengantar tidur dari seorang Ibu kepada anaknya. Kat-kata paman menjadi pembakar semangat untuk sukses.
Alhamdulillah, kini aku telah buktikan. Aku bisa berkeliling-keling Indonesia bahkan luar negeri dengan gratis. Kaki Ayahku pun masih utuh.
Palu, 18 januari 2022
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Nasihat berharga untuk kita semua. Salam Literasi sukses selalu.
Terima kasih, Pak. Sehat selalu. Izin follow, ya
Cerita yang bagus, semoga selalu sukses dan sehat
Terima kasih, Bund. Izin follow ya