Emi Indra

Lahir di desa Soni 13 Juli 1972. Punya anak semata wayang. Mengajar di SMPN 1 Palu. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
MENGGANTUNG IJAZAH (BAG 1)

MENGGANTUNG IJAZAH (BAG 1)

MENGGANTUNG IJAZAH (Bag 1)

Oleh: Emi Indra

Menjadi anak tunggal dalam keluarga ada plus minusnya. Lahir dari keluarga yang memiliki latar belakang pendidik menjadikanku harus seperti kedua orang tuaku. Ibuku seorang guru di salah satu SMP di kabupaten yang berjarak sekitar 500 KM dari ibukota provinsi.

Ibu sangat disiplin mendidikku. Mulai dari bertatakrama, membaca, dan mengaji. Di tempat ibu mengajar, belum ada sekolah TK dan taman pengajian. Ibulah yang menjadi guru TK dan mengajiku di rumah. Selepas salat magrib, aku tidak bisa menonton sebelum belajar dan mengaji. Tak heran, semasa SD, saya selalu menjadi juara kelas. Al-Qur’an saya khatamkan sewaktu masih kelas 4 SD.

Masa kecilku sampai kelas 3 SD, kuhabiskan di desa tempat ibu mengajar. Kelas 4 SD, aku ikut ibu pindah ke ibukota Provinsi. Kedisiplinan ibu dalam mendidikku semakin ketat. Aku diikutkan les sempoa dan bahasa Inggris. Ibu rela mengantar sampai menungguku di tempat les. Sampai suatu hari aku protes sama Ibu.

“Bu, kok aku les sempoa dan bahasa Inggris? Teman-temanku yang lain cuma bermain di rumahnya,” tanyaku ke Ibu saat aku dibangunkan untuk pergi les sempoa.

“Kamu harus pintar, Nak. Kamu harus cerdas seperti anak-anak orang kota. Sewaktu di kampung, kamu tidak bisa ikut les ini itu. Ibu juga bukan orrang kaya, Ibu tidak bisa memberikan warisan harta benda, Ibu hanya bisa memberimu ilmu saja.” jawab Ibu sambil mengelus-elus kepalaku agar aku bersemangat bangun.

Alasan yang Ibu berikan tidak kupahami. Yang aku tahu, Ibu memaksaku untuk pintar seperti orang lain. Ibu ingin aku sebagai anak semata wayangnya menjadi orang sukses.

Setelah lulus SD, Ibu memasukkan di SMP tempat mengajarnya agar sekalian berangkat saat ke sekolah. Aku menurut saja. Sekolah tempat ibu mengajar merupakan sekolah pavorit, siswanya selalu mewakili ke tingkat kota, provinsi bahkan Nasional sebagai juara di berbagai cabang lomba baik akademik maupun non akademik.

Aku pun ingin mengambil bagian dalam menorehkan prestasi di sekolahku. Aku mengikuti ekskul pramuka. Ibu tidak memprotes saat menyampaikan akan ikut kemping. Ibu malah suka jika aku terlibat pada kegiatan ekskul karena menurut cerita Ibu, beliau sangat aktif di kegiatan ekskul sekolah dan kampus.

Namun, aku menemui kendala. Ibu melarangku saat aku mau ikut ekskul seni. Aku ditentang habis-habisan saat bergabung di Taman Budaya Golni untuk latihan seni.

Mengapa aku dilarang terjun di bidang seni?

Bersambung***

Palu, 15 Februari 2022

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerpen yang menawan Bunda Emi, sukses selalu

15 Feb
Balas

Ibu tidak bisa memberikan warisan harta benda, Ibu hanya bisa memberimu ilmu saja. Yes setuju, persis seperti kata ibu aku dulu. Ijin follow dan mohon follow back yaa Bun. Pingin terus ikut i kisah cerpennya. Trimakasih.

15 Feb
Balas

Cerpen yang menarik dengan kalimat kalimat ringan yang mengalir..salam sukses bu Emi..

15 Feb
Balas

Cerpen yang indah bunda Emi, semoga sukses dan sehat selalu bersama keluarga tercinta

15 Feb
Balas



search

New Post