MENGGANTUNG IJAZAH (BAG 2)
Menggantung Ijazah (Bag 2)
Oleh: Emi Indra
Namun, aku menemui kendala. Ibu melarangku saat aku mau ikut ekskul seni. Aku ditentang habis-habisan saat bergabung di Taman Budaya Golni untuk latihan seni. Jujur, kedua orang tuaku tidak memiliki darah seni, meski Ibu sangat suka menjadi pendamping vocal grup dan seni tradisional di sekolahnya saat lomba.
Aku mencuri-curi waktu ke Golni. Aku tidak lagi pernah meminta izin ke Ibu jika aku akan pergi latihan. Aku hanya mengatakan akan pergi belajar kelompok di rumah teman. Di sekolahku saat itu, salah satu guru Seni Budaya adalah pelatihku di Golni. Guruku inilah yang sering memberi masukan ke Ibu. Namun, Ibu tetap kekeh. Aku tidak diizinkan menekuni bidang seni. Ibu hanya mau, anaknya ahli di bidang akademik.
Aku belajar secara diam-diam. Di Golni, aku mempelajari semua alat musik tradisional daerahku. Mulai dari suling, lalove, teku-teku, gimba, dan geso-geso. Hampir semua alat musik ini dengan mudahnya kukuasai. Aku juga bisa memainkan gitar, piano, dan drum. Aku heran, bakat dari mana ya yang menurun ke aku. Ternyata, dari cerita Ayahku, kakek seorang pemain musik di zamannya. Boleh jadi keahlian kakek menurun ke aku.
Dari hasil latihanku secara diam-diam di Golni, aku terpilih memegang gitar mengiringi vocal grup mewakili sekolahku pada lomba FLS2N. Ibu sangat kaget saat melihat latihan vocal grup untuk mempersiapkan mengikuti lomba. Ditatapnya lekat-lekat diriku. Aku semakin memperlihatkan kelihaianku memainkan gitar dengan harapan, Ibu mengubah pandangannya terhadap hobiku ini.
Sepulang sekolah, ada rasa khawatir, jangan-jangan Ibu memarahiku. Namun sebaliknya, ibu malah memujiku.
“Kamu hebat, ya Nak, main gitar. Belajar dari mana? Perasaan Ibu, kamu tidak pernah les gitar,” tanya Ibu saat aku di meja makan.
“Aku belajar sama teman di sekolah, Bu. Kalau jam istirahat, aku pinjam gitar teman dan memintanya mengajariku,” jawabku dengan muka tertunduk. Aku masih takut menatap wajah Ibu. Aku juga masih menyembunyikan kalau aku latihan di Taman Budaya Golni.
“Supaya lebih ahli main gitarnya, kamu ikut les gitar saja. Cari tempat les yang bagus, nanti Ibu bayar ongkosnya.” Ucapan ibu seperti oase di padang tandus. Ini lampu hijau yang telah lama aku nantikan.
Ternyata Ibu disamping telah melihat kemampuanku main gitar, juga telah dicuci otaknya oleh teman mengajarnya. Ibu Zaimah telah membuka wawasan Ibu. Beliau menyampaikan pencapaian anaknya di bidang seni hingga anaknya bisa mewakili Indonesia ke mancanegara.
Mata Ibu telah terbuka. Aku pun telah menyampaikan kalau aku telah bergabung di Taman Budaya. Ibu telah memberi restu untuk terjun di dunia seni, tapi dengan catatan, pakai distabilo pula “pelajaran di sekolah tidak terabaikan.” Prestasi akademikku semasa SMP biasa-biasa saja bahkan hampir dibilang jauh dari yang Ibu harapkan. Ada sedikit rasa kecewa terpancar di wajah Ibu saat menerima laporan pendidikan sewaktu kelas VII dan VIII. Jujur, ada rasa bersalah yang membuncah. Aku berjanji tidak akan mengecewakan Ibu lagi.
Bersambung***
Palu, 16 Februari 2022
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantap ceritanya Bunda
Terima kasih, Bund
Cerpennya menarik ditunggu kelanjutannya ya Bunda Emi, sukses selalu
Keren Bund. Suks sll
Keren ceritanya bu Emi semoga semakin sukses selalu
Terima kasih Pak Supriyanto. Izin follow
Keren cerpennya, ditunggu kelanjutannya, semoga selalu sehat dan sukses Bunda Emi.
Terima kasih apresiasinya, Bunda Anita. Salam sehat selalu