Emi sudarwati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
CERPEN

CERPEN

ENGGAN JADI JUARA

Emi Sudarwati

Nama saya Kinanthi Emiliya Sudarman. Biasa dipanggil Kinanthi atau Kiki. Awalnya, saya bercita-cita menjadi seorang wartawati. Kehidupan seorang pemburu berita dengan segala pesona dan suka duka, telah membius diri saya. Namun pengalaman buruk di masa lalu membuat saya berubah pikiran. Ma’af... pengalaman itu tidak ingin saya ceritakan kepada siapapun, termasuk kalian.

Kesukaan mengajar sudah terlihat sejak dini, bahkan ketika saya masih di bangku sekolah dasar. Setiap pulang sekolah, saya sering mengumpulkan anak-anak sebaya di rumah. Di depan mereka semua, saya mendongeng. Materi dongeng, saya dapatkan dari Kakek. Beliau biasa mendongeng hampir setiap malam, sebelum tidur. Saat saya memijat tubuh beliau.

Kemampuan tersebut yang membuat saya akhirnya memilih profesi sebagai guru. Oleh karena itu, melanjutkan kuliah di UNESA adalah pilihan pertama. Mengabil jurusan Bahasa Jawa adalah pilihan selanjutnya. Kalian pasti bertanya, mengapa mengambil jurusan langka itu? Bukankah anak-anak lain berebut memilih jurusan bahasa asing, matematika, IPA, atau jurusan lain yang terkesan mentereng. Baiklah, saya akan berusaha menjawabnya dengan jujur. Tapi tolong, jangan ditertawakan. Saya memilih jurusan Bahasa jawa karena ingin segera diangkat menjadi PNS.

“Ha ha ha... alasanmu itu loh, kok lucu...,” celetuk Bu Hindah. Pada saat itu kami sedang pembekalan di Dander, sebelum latihan pra jabatan.

“Ha ha ha... ha ha ha... iya Bu Kinanthi, alasanmu terdengar aneh. Tapi... bener juga ya.... Buktinya, baru ikut tes sekali langsung katut. Kamu benar-benar hebat, Bu Kinanthi,” saut Pak Somat sambil menepuk-nepuk pundakku.

“Jangan tertawa dong... saya malu,” kata saya sembari tersipu.

“He, guru Baureno... tidak perlu malu, yang penting cita-citamu kan terwujud. Apapun alasannya, tidak masalah kan...,” saut Pak Rahmat seakan membela saya. Mendapat pembelaan itu, saya merasakan ada kekuatan baru dalam diri.

“Iya juga sih,” jawab saya singkat.

Sepuluh tahun telah berlalu. Namun saya tetap menjadi guru biasa. Masak sih, sampai pensiun nanti keadaan ini tidak berubah? Tanya saya pada diri sendiri. Seharusnya ada yang perlu dirubah, tapi apa? Apa yang yang bisa dibanggakan oleh seorang guru Bahasa jawa? Pelajaran yang dianggap tidak penting, baik oleh siswa maupun teman guru.

Di suatu acara, saya berjumpa dengan Ibu Sri Setyo Rahayu. Biasa dipanggil Bu Yayuk. Beliau adalah seorang penulis jawa yang sangat terkenal.

“Bu... apakah saya boleh bertanya?” kataku memberanikan diri.

“Oh... boleh, Jeng... ada apa?” beliau balik bertanya.

“Dulu waktu kuliah, saya sering menulis cerpen. Bahkan beberapa karya saya, tampil di media. Tapi sekarang, saya tidak bisa menulis lagi. Semua terasa buntu, tidak ada ide. Bagaimana menurut Ibu?”

“Apa alasan Ibu, dulu menulis?”

“Ingin dapat uang. Honor menulis cerpen biasanya saya gunakan untuk membeli buku, tas dan baju. Tapi sekarang... saya sudah menjadi seorang guru PNS. Untuk sekedar membeli semua itu, sangatlah mudah.”

“Nah... itu yang membuatmu tidak bisa menulis lagi. Coba dirubah alasan, mengapa kamu menulis. Misalkan... ingin terkenal, atau alasan lain.”

“Terkenal... hem... boleh juga tuh. Tapi... saya tidak mau ah terkenal sendirian. saya ingin menerbitkan karya bersama siswa, bagaimana?”

“Wao... itu ide cemerlang. Buruan dilaksanakan, sebelum kamu berubah pikiran,” kata Bu Yayuk di akhir pertemuan kami.

Semalaman saya tidak bisa tidur. Mencari tumpukan kertas hasil karya siswa yang berserakan di bawah meja. Saya berusaha keras memilih cerita pendek yang layak diterbitkan. Dengan bantuan penerbit PSJB (Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro), buku perdana kami akhirnya benar-benar terbit. Buku itu berjudul Kumpulan Cerkak Lung.

“Anak-anak... saya yakin, buku kalian ini akan sampai ke Belanda. Buku kalian ini akan menjadi rujukan bagi orang-orang asing yang ingin belajar Bahasa Jawa. Selamat... selamat untuk kalian semua. Selamat Ibu Kinanthi... terima kasih telah membimbing anak-anak untuk menulis, sampai menjadi sebuah buku.”

Itu adalah bunyi pidato Pak Edy waktu itu. Beliau adalah kepala sekolah yang selalu memberi semangat pada saya.

Suatu pagi, Pak Edy memasuki ruangan tempat saya mengajar. Beliau menyodorkan sebuah buku panduan lomba inobel tingkat nasional.

“Buat apa, Pak?” tanya saya penasaran.

“Bu Kinanthi harus ikut lomba ini,” katanya.

“Saya?”

“Iya....”

“Ma’af Pak... saya tidak mampu. Membuat PTK untuk kenaikan pangkat saja selalu ditolak,” jawab saya mengelak.

“Saya yakin, Bu Kinanthi pasti bisa. Atau... baca-baca dulu sajalah. Segera saya tunggu kabar kesediaannya,” kata beliau dan langsung meninggalkan saya yang masih termenung di kelas.

Oh... konsentrasi mengajar langsung buyar. Anak-anak itu saya biarkan belajar kelompok. Sementara diri ini hanya termenung menatap buku panduan inobel. Tak lama kemudian, saya beranikan diri membuka buku tersebut. Sampai pada halaman hampir akhir ada sebuah tulisan yang membuat saya sangat tertarik. Di situ tertulis, akan terpilih 102 finalis, yang masing-masing mendapat hadiah uang sepuluh juta rupiah dan sebuah laptop.

Wao... adrenalin saya langsung terpacu. Target sementara waktu itu hanya masuk urutan ke 102 saja. Alhamdulillah... mimpi menjadi nyata. Pada perlombaan tersebut saya bertemu dengan guru-guru hebat dari seluruh Indonesia. Inovator-inovator yang luar biasa.

“Siapapaun yang menjadi juara, pasti akan menyesal,” kata Pak Yayat.

“Kok bisa?” tanya saya penasaran.

“Di sini kita bisa belajar dengan gratis. Bertemu dengan orang-orang hebat dari seluruh Indonesia. Jika kita jadi juara, berarti kesempatan bertemu dengan orang-orang pilihan ini tidak akan ada lagi. Aku sih... pingin menjadi finalis 13 kali.”

“Benar juga ya... Di sini kita bisa belajar dan menemukan keluarga baru. Toh mereka semua adalah guru-guru terbaik dari daerah masing-masing. Jadi... siapapun yang juara, pastilah itu hanya karena keberuntungan. Kita bisa masuk 102 besar saja sudah bersyukur. Oke... aku mau menjadi finalis sepuluh kali,” teriak saya sambil mengangkat sepuluh jemari.

“Yap... setuju,” saut Bu Lisa.

“Aku juga setuju,” kata Bu Yosie ikut-ikutan.

“Bagaimana dengan yang lain?” tanyaku.

“Sip... setuju,” jawab Bu Wiji, Bu Umi dan Pak Budi hampir bersamaan. Sementara Bu Euis, Bu Fitri, Bu Wulan, Bu Mistiyana, Bu Sri, Bu Ida, Pak Yadi, Pak Muhaimin, Pak kasmal dan yang lain hanya menganggukkan kepala tanda setuju.

“Berarti sepakat ya... siapapun di antara kita yang jadi juara, jangan ada yang sakit hati. Siap?” tanya Pak Yayat.

“Siap, Bos...,” jawab semua peserta serempak.

Seusai lomba, kami tetap terhubung dengan whatsApp grup. Sehingga semua informasi dari pusat, begitu mudah diterima.

Setahun telah berlalu, kini saya mulai kecanduan ikut lomba inobel lagi. Kangen dengan teman-teman hebat saya. Naskah tahun lalu sudah saya perbaiki sesuai saran dari dewan juru, dan sudah terkirim ke Kesharlindung.

Menjadi juara satu lomba inovasi pembelajaran tingkat nasional, adalah impian hampir semua guru. Begitu juga saya. Bukan hanya iming-iming finansial fantastis, namun impian perjalanan ke luar negri akan menjadi nyata. Butuh perjuangan sangat keras untuk meraihnya. Bukan hanya usaha, namun juga pengorbanan dan do’a tulus tengah malam.

Angan saya melayang ke peristiwa belasan tahun lalu. Waktu itu saya masih belajar di UNESA. Pada mata kuliah Bahasa Belanda, Prof. Suripan sering bercerita tentang negara yang selama ini saya kenal sebagai penjajah tersebut. Menurut beliau di musium Leiden tersimpan tiga puluh ribu lebih naskah kuna bertuliskan huruf jawa. Mendengar itu, saya langsung memiliki impian untuk pergi ke sana. Tapi mana mungkin, saya hanyalah gadis desa, yatim piatu pula.

Saya mencoba mengubur mimpi itu sedalam-dalamnya. Tapi ternyata, hari ini nasib berkata lain. Saya benar-benar meraih juara satu. Sujud syukur langsung saya lakukan. Air bening terus mengucur dari sudut mata, karena terharu. Rasa bangga dan entah perasaan apa lagi bercampur menjadi satu.

Ibu Popy memberiku sebuah kertas tisu pada saya. Sungguh suatu kebanggaan, ibu direktur Pembinaan Guru Pendidikan Dasar itu bahkan mengusap air mata saya.

“Senyum dong... Ibu hebat... jelek kalo menangis.” Begitu kata Bu popy sambil menepuk pundak saya.

Panitia mengumukan, “bahwa yang sudah juara tidak boleh ikut lomba apapun lagi di Kesharlindung.”

Mendengar hal itu, saya jadi teringat kata Pak Yayat, “siapapun yang jadi juara, pasti akan menyesal.”

Berarti saya tidak bisa reunian lagi dengan teman-teman hebatku dari seluruh tanah air. Tidak ada kesempatan lagi untuk belajar bersama orang-orang pilihan itu.

Pernah terlintas dalam pikiranku, “menyesal jadi juara.” Tapi untunglah ada ide jitu agar bisa tetap bersatu dengan mereka. Saya mengusulkan untuk membuat buku bersama. Alhamdulillah, teman-teman mendukung usulan tersebut. Akhirnya, terbitlah buku dengan judul, “Jejak Gerak Guru Inspiratif.”

Mereka semua bangga dengan buku baru itu. Benar-benar buku perdana bagi teman-teman. Sekarang, saya tawarkan lagi tantangan baru, agar kami tetap bersatu. Yaitu membuat antologi cerpen inspiratif, berbagi pengalaman mengajar. Ada satu teman yang mengkritisi ide tersebut dengan sangat tajam. “Pengalaman mengajar kok dibuat cerpen, harusnya kan essai,” katanya. Ah... saya tidak ambil pusing dengan segala macam teori. Yang terpenting bagi saya, menulis dan terus mengispirasi.

Maka kendala itu tidak menyurutkan niat saya untuk tetap berkarya, dan menerbitkan buku. InsyaAllah buku kami akan terbit lagi dengan judul, “3TJ (Tetap Tanpa tanda Jasa).” Selamat berkarya, teman....

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Aamiin... sabar ya bu. Beauk coba saya tanyakan ke pengirimnya. Trims ya....

16 Apr
Balas

Kerenn ibu sangat inspiratif....sayangnya buku pesenan sy belum sampe2 smoga segera sampe bs energi positif yg ibu sebar mampu menularkan hingga ke kalimantan

16 Apr
Balas

Kerenn ibu sangat inspiratif....sayangnya buku pesenan sy belum sampe2 smoga segera sampe bs energi positif yg ibu sebar mampu menularkan hingga ke kalimantan

16 Apr
Balas



search

New Post