Religiusitas dalam Sastra
RELIGIUSITAS DALAM SASTRA
Oleh : Emiyati, S.S.
A. Definisi Religiusitas
Istilah religiusitas berasal dari bahasa Latin ‘relego’ yang berarti memeriksa lagi, menimbang-nimbang, merenungkan hati nurani. Akar kata religiusitas adalah religion atau sering disebut religi. Dalam The Work Book Dictionary, kata religiocity berarti religious feeling or sentiment atau perasaan keagamaan. Perasaan keagamaan sebagaimana dikatakan oleh Atmosuwito (1989) yaitu segala perasaan batin yang ada hubungannya dengan Tuhan seperti seperti perasaan berdosa (guilt feeling), perasaan takut (fear to God), kebesaran Tuhan (Gods Glory) dan semacamnya.
Religiusitas oleh filosof profetik, Paul Tillich, disebutnya ‘dimensi kedalaman’. Manusia dapat menjadi religius sebab menanyakan dengan penuh kerinduan pertanyaan tentang eksistensinya dan sangat menginginkan mendapat jawaban, sekalipun mungkin jawabannya akan menyakitkan. Seorang religiusialah orang yang mencoba mengerti hidup dan kehidupan secara lebih dalam daripada batas lahiriah semata, yang bergerak dengan dimensi vertikal dari kehidupan ini dan menransendensikan hidup ini. Orang yang demikian, menurut Paul Tillich, dapat memeluk agama tertentu, tetapi bukan suatu keharusan. Dalam konteks tersebut, ia rupanya memahami religiusitas dari dua pendekatan yaitu religiusitas yang agamis dan nonagamis.
Emha Ainun Nadjib (1994) mengartikan religiusitas sebagai rasa rindu, rasa ingin berada bersama sesuatu yang abstrak, yaitu sesuatu yang berada di luar penguasaan ruang pikiran, rasa, dan hati. Ia abstrak, ada secara amat riil, sehingga justru terasa paling konkret. Selanjutnya, Emha mengemukakan bahwa jangan sebut religiusitas itu umpamanya ‘rasa keagamaan’, untuk tidak terlalu mengasosiasikan kepada agama-agama secara formal. Sebab pada hakikatnya tidak hanya pemeluk-pemeluk agama saja yang memiliki religiusitas, seperti juga bukan hanya pemeluk-pemeluk agama saja yang bisa taat kepada Tuhannya.
Mangunwijaya (1994) berkesimpulan, bagaimanapun manusia religus dengan aman dapat diartikan manusia yang berhati nurani serius,saleh,teliti dalam pertimbangan batin, dan sebagainya. Jadi belum menyebut dia menganut agama yang mana. Namun demikian, seorang agamawan sepantasnya sekaligus homo religiosus. Memang ada religiusitas yang bangkit dari pribadi nonagama, tetapi setiap kebangkitan religiusitas, selalu dilandasi keinginan berbuat sesuatu kebaikan kepada semua makhluk.
B. Religiusitas dalam Sastra
Karya sastra dianggap religius sebab di dalamnya mengandung pengalaman religius. Pembaca sering mengasumsikan bahwa moralitas di dalamnya selaras dengan moralitas pengarang. Tuntutan pembaca demikian amatlah wajar, karena sebagai pembaca yang baik tentu akan menilai kesungguhan moralitas yang sedang ditawarkan pengarang. Perihal kesungguhan ini memang penting, baik kesungguhan estetis maupun kesungguhan moralitas. Kesungguhan estetis berhubungan dengan ekspresi kebahasaan sastra. Kesungguhan moralitas yaitu keharmonisan antara moralitas dalam karya sastra dengan moralitas pengarang.
Jika seorang penyair hendak menulis sajak tentang Perang Diponegoro misalnya, terlebih dahulu harus mempunyai pengetahuan tentang perang Diponegoro, setidaknya melalui studi pustaka. Alangkah baiknya jika penyair pernah hadir dalam situasi perang atau bahkan pernah mengalaminya sendiri. Dengan demikian ia dapat memadukan peristiwa Perang Diponegoro dengan subjektivitas pikirannya, dan diharapkan akan memunculkan citraan yang baik.
Hubungan sastra dengan religi seperti dikatakan oleh Setiawan(1988), berkenaan dengan beberapa pertanyaan tentang letak komponen religius dalam sastra yang perlu dijelaskan. Apakah faktor religius dalam sastra identik dengan doktrin tradisional atau heretical desire, apakah ia dapat diasosiasikan dengan gagasan-gagasan khusus tentang Tuhan, manusia, dan kosmos yang terekspresikan dalam karya sastra? Ataukah dengan peristiwa semacam penebusan dosa, pemujaan rebirth yang sering disajikan dalam tema-tema sastra? Terpahatkah dalam bentuk-bentuk sastra? Terdramatisasikah dalam motif-motif sastra? Atau tersimpan dalam bahasa sastra?
Gilles Gun (1988) memberi pernyataan yang tepat tentang hubungan sastra dan religi. Paradigma religius seringkali terselubung dan tak ada alat untuk membuka atau mengurai unsur-unsur yang tersembunyi di dalamnya. Lewat karya sastra kita dibantu untuk ‘ tahu apa yang kita rasakan’. Dengan demikian religi diubah menjadi bentuk yang tidak hanya dapat kita ‘lihat’ tetapi lebih konkret, yaitu bentuk-bentuk yang dapat kita lihat feelingly.
Kenyataannya pengalaman religius tidak pernah bisa ditunjuk secara langsung sebab bukan pengalaman indrawi. Sementara itu bahasa mempunyai keterbatasan yaitu hanya dapat mengungkapkan apa yang menjadi realitas indrawi. Oleh karena itu, ada realitas yang dapat dibentuk dengan bahasa dan ada yang tidak.
Untuk mengetahui ekspresi religius dalam sastra, berikut ini dipaparkan ilustrasi singkat tentang karya sastra yang bernafaskan religius. Apabila kita menikmati lirik lagu Menjaring Matahari dari Ebiet G Ade, sebenarnya kita telah menikmati lirik lagu yang bernafaskan religius. Lirik lagu tersaebut dengan penuh haru dapat dinikmati oleh setiap orang. Dalam keadaan bagaimana pun, manusia harus mengakui hanya Tuhanlah tempat kita memohon dan berlindung. Sesungguhnya hidup ini digerakkan oleh irama yang saling menggantikan sesuai kehendak Tuhan.
Quran selain berisi tulisan suci (secred writings) agama Islam, juga mengandung tulisan sastra. Kitab suci Bible juga dapat dikatakan sebagai karya sastra, terutama Kitab Mazmur, Amsal, dan kitab-kitab Nabi. Atmosuwito (1989) mengatakan dalam Perjanjian Lama, Kitab Mazmur dikatakan buku-buku puisi sedang Amsal dikatakan (kitab) sastra bijak (Wisdom Literature). Oleh karena itu, jelaslah bahwa Kitab Suci Kristen juga sebuah karya sastra. Untuk tulisan dalam terjemahan Indonesia modern, misalnya pada Kitab Mazmur sudah dicetak dalam bentuk puisi.
Bhagawat Gita sebagai kitab suci agama Hindu sebenarnya juga merupakan karya sastra yang telah dikenal dunia barat, di samping di dunia Timur sendiri. Salah satu isinya adalah nasihat Kresna tentang tiada kematian, sebab jiwa itu tidak mati atau kekal. Jika perbuatan dan kebajikan tetap dilakukan demi keadilan, dewa-dewa akan menerima itu dengan baik. Mahabarata epos besar yang berisi sengketa dua keluarga, yaitu Kurawa dan Pandawa, juga termasuk sastra religius. Di dalamnya penuh dengan ajaran kehidupan tentang baik dan buruk, kejahatan dan kebenaran. Begitu juga dengan epos Ramayana, ia berkisah tentang kesetiaan dan kesucian seorang istri terhadap suaminya (Rama dan Sinta).
a. Prosa
Kita dapat melihat karya-karya sastra yang bernafaskan religius dalam bidang prosa, seperti ‘Anjing Sesat’ sebuah cerpen karya Sadeq Hikayat dari Iran, mengisahkan nasib anjing, binatang najis bagi kaum muslimin, yang dikejar-kejar, dilempari batu, dan dikeroyok oleh orang-orang kampung. Sebenarnya yang ingin dikatakan oleh Sadeq adalah kritik tajam terhadap peraturan atas nama Allah yang dirasa absurd. Semua orang memukul anjing itu untuk menyenangkan Allah Yang Mahabesar. Lahirlah problematika : dilema untuk memilih antara hukum agama dan tepo saliro (Jawa), artinya seandainya engkau sendiri yang menjadi anjing bagaimana perasaanmu? Sadeq ingin mengajak membaca agar tidak mencampuradukkan hal-hal yang bersifat wahyu (revelation) yang langsung datang dari Allah dengan yang hanya bersifat kebudayaan atau kebiasaan buatan manusia saja.
Roman Di Bawah Lindungan Kabah karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) termasuk salah satu karya sastra yang bersifat religius. Roman ini mengisahkan kasih tak sampai antara Hamid dan Zaenab karena terhalang oleh adat. Roman ini berbeda dengan roman adat yang lain, karena pengarangnya membawa pelakunya ke Mekah dekat Kabah. Hamid dan Zainab berpisah lama dan keduanya menemui ajal di Mekkah dekat Kabah. Meskipun mereka tidak dapat mewujudkan cita-cita hidup bersama, tetapi mereka menemukan kebahagiaan yang abadi. Hal seperti ini dalam religius Islam merupakan sesuatu yang ideal walaupun keduanya tidak dapat bersatu, bahkan akhirnya meninggal.
Cerpen “Sepotong Kayu untuk Tuhan” menceritakan niat seorang kakek untuk menyumbangkan sepotong kayu nangka untuk pembuatan surau di desanya. Ia menginginkan sumbangannya tidak diketahui oleh siapa pun kecuali Tuhan. Pada malam hari, ia menghanyutkan kayu itu dengan harapan esok harinya sampai di muara dekat surau. Pagi harinya ia ingin meletakkan kayu itu di depan surau agar orang-orang seperti mendapat mukjizat. Ternyata kayu itu telah hilang . Namun si kakek tetap berkeyakinan niatnya didengar Tuhan. Ia yakin Tuhan Mahatahu apa yang ada di setiap diri manusia atau hamba-Nya.
b. Puisi
Kita dapat menemukan religiusitas dalam bidang puisi pada karya-karya Amir Hamzah, JE. Tatengkeng, Sitor Situmorang, Rendra, Abdul Hadi WM, Chairil Anwar, Emha Ainun Nadjib, D. Zawawi Imron dan masih banyak penyair yang tidak mungkin penulis sebutkan satu per satu.
Untuk puisi religius, karangan Amir Hamzah merupakan karya sastra keagamaan yang paling berbobot dari Pujangga Baru. Sajak “Doa” misalnya, merupakan pertemuan aku lirik dengan Tuhannya yang tidak dapat dibandingkan dengan apa pun. Berikut kutipan sajaknya.
Dengan apa kubandingkan pertemuan ini, Kekasihku?
Dengan senja samar sekali pada masa purnama meningkat naik
Setelah menghalaukan panas payah terik
Angin malam mengembus lemah, menyejuk badan. Melanbung rasa,
menayang pikir, membawa angan ke bawah kursi-Mu
Hatiku terang menerima katamu bagai bintang memasang lilinnya
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu bagai sedap malam menyirap kelopak
Aduh kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu
Biar bersinar mataku sendu
Biar berbinar gelak kurayu.
(Doa : amir Hamzah)
Kata kekasih merupakan lambang Tuhan. Gaya romantik Amir amzah sangat dekat dengan alam, bahkan pekat dengan suasana liris. Semua ini menambah kebesaran pengarang sebagai penyair keagamaan yang universal. Ayip Rosidi (1982:82) mengatakan, isi sajak-sajak Amir Hamzah kebanyakan bernada kerinduan, penuh ratap kesedihan. Kesedihan itu menimbulkan rasa sunyi dan pasrah diri.
Sebagai seorang yang sejak kecilnya mendapat didikan agama Islam yang keras, Amir berpasrah diri pada Allah. Tetapi seorang yang pernah medapat didikan sekolah yang intelektualistis, ia pun mempergunakan rasionya. Aamir Hamzah menemukan kedamaian dalam Tuhan setelah menjalani berbagai pergulatan dan perjuangan batin. Sajak-sajaknya terkumpul dalam Nyanyi Sunyi dan Buah Rindu, semuanya bernafaskan Islam.
JE. Tatengkeng adalah penyair beragama Kristen yang kuat. Kumpulan sajaknya Rindu Dendam pada umumnya merupakan kerindudendaman penyair terhadap Tuhannya.Sebagai penyair yang tiada henti-hentinya mencari kedamaian dan ketenangan, ia berhasil menemukannya dalam Tuhan. Kesadaran menerima kasih Tuhan adalah sumber ketenangan dan kedamaian, seperti dikatakan dalam sajaknya :
O! Tuhanku
Biarkan aku menjadi embunMu
Memancarkan terangmu
Sampai aku hilang lenyap olehnya...
Soli Deo Gloria
(Rindu Dendam : Akhir Kata)
Chairil Anwar sebagai penyair besar, ternyata banyak karyanya yang religius pula. Salah satu puisi yang religius ialah “ Kepada Peminta-minta” :
Baik, baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang aku lagi
Nanti darahku jadi beku
Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari luka
Sambil berjalan kau ucap juga ...
Intensitas ungkapan yang lahir dari penyair dan vitalitas dalam sikap maupun imaji-imaji yang tertuang membuat hampir setiap sajak Chairil berbobot. Kata-kata menghadap Dia, menyerahkan diri, segala dosa, memberi intensitas yang kuat bahwa sajak itu ialah sajak religius. Namun kata-kata religius itu tidak sekedar dipasang melainkan untuk menambah intensitas sajak tersebut.
Chairil seorang Islam, namun ia mampu melukiskan kepercayaan agama Kristen dalam sajak ‘Isa’ dengan menarik sekali. Sajak itu ditujukan kepada Nasrani sejati. Hal ini menunjukkan betapa halusnya perasaan Chairil dalam menyelami jiwa manusia walaupun dari agama lain. Ayip Rosyidi mengatakan, meskipun dalam sikap dan beberapa sajaknya ia sering seolah-olah sinis mengejek nilai-nilai moral termasuk nilai agama, tetapi sebenarnya ia bukan tidak mempunyai rasa keagamaan. Selain ditunjukkan dalam sajak ‘Isa’, perasaan keagamaan Chairil yang mendalam juga dapat dilihat dalam sajak ‘Doa’ berikut ini :
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
CayaMu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintuMu aku mengetuk
Aku tak dapat berpaling
(Deru Campur Debu)
Dalam “Doa” aku lirik yang terasing dalam kebingungannya meski pada mulanya ragu (termangu), akhirnya datang juga kepada Tuhan. Tak ada tempat pengaduan yang sejati kecuali kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Aku lirik tak dapat berpaling, setelah mengetuk pintu kerahmanan dan kerahimanNya.
Sajak-sajak Chairil banyak berisi renungan tentang hidup, penyelaman terhadap kenyataan, lukisan perasaan manusia dan cinta kasih. Sajaknya yang berjudul “Sorga”, dengan sinis mengejek manusia yang membayangkan sorga dengan ukuran indrawi semata.
Sebagai penutup ilustrasi religiusitas dalam sastra, penulis mengambil contoh puisi WS Rendra. Salah satu puisi yang sangat kristiani berjudul “Mazmur Mawar”. Berikut kutipannya.
Kita muliakan nama Tuhan
Kita muliakan dengan mawar
Kita muliakan Raja dari segala Raja
Kita muliakan Tuhan yang manis
Indah dan penuh kasih sayang
Tuhan adalah teman serdadu yang tertembak
Tuhan berjalan di sepanjang jalan becek
Sebagi orang miskin yang tua dan bijaksana
Dan baju compang-camping
Membelai kepala anak-anak yang nakal...
Bukan tidak mungkin pengarang tidak ada hubungannya dengan Kristus. Kata-kata seperti “Raja dari segala Raja”, “Tuhan yang manis”, jelas dimaksudkan adalah Kristus. Puisi yang lain “Balada Penyaliban” dan “Litani bagi Domba Kudus”, juga merupakan contoh puisi yang bernafaskan religius.
Sebenarnya sangat banyak karya sastra yang berkualitas religius, tetapi tidak mungkin penulis paparkan semuanya di sini. Dalam kurun waktu 1970-1990 banyak terbit kumpulan puisi baik yang sudah menulis sebelum tahun 1970 maupun sesudah tahun 1970, seperti Emha Ainun Nadjib, Dami N Toda, Linus Suryadi, Yudistira, D. Zawawi Imron, dan lain-lain.
Puisi-puisi yang bertemakan religius mengajak pembaca untuk merenungi kekuasaan Tuhan, sehingga manusia lebih menyadari keterbatasannya. Perbedaan religi antara penyair dan pembaca, tidak usah menjadi halanagan untuk menemukan suatu rendesvous puitik bagi kedua belah pihak. Puisi religius yang baik, persoalannya bukan religi mana yang menjadi keyakinan penyairnya, melainkan interpretasi puitik si penyair terhadap religi itu.
Religi adalah kebenaran yang bersumber pada Tuhan. Interpretasi puitik seorang penyair terhadap religi merupakan usaha kreatif dia, dengan latar belakang pengalaman insaniahnya, untuk mencoba mengungkapkan kebenaran religi tersebut dalam hidupnya sebagai manusia dalam bentuk puisi.
Penyair dalam mencipta puisi yang berkualitas religius tidak boleh terjebak situasi maupun relevansi sosial. Jika ini terjadi, bukan tidak mungkin karyanya akan berubah menjadi slogan belaka. Karya sastra dengan kesungguhan estetika dan moralitas akan mampu menggeser anggapan bahwa karya sastra adalah aktivitas lamunan belaka.
(Penulis adalah Guru Mata pelajaran Bahasa Indonesia)
SMP Negeri 3 Bukateja Purbalingga
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kereen ulasannya Bun... mencerahkan..mksih ya