Emmy Farida

Senang berkhayal menjadi seorang penulis....

Selengkapnya
Navigasi Web
Artikel Koneksi Antar Materi Modul I

Artikel Koneksi Antar Materi Modul I

 

 

 

Membumikan Filosofi Pendidikan KHD  melalui Penguatan Nilai, Peran,  dan Visi Guru Penggerak untuk Membangun Budaya Positif di Lingkungan Sekolah

Oleh Emi Farida

 

a.             Filosofi Pendidikan KHD

Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, memandang pendidikan adalah tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Maksudnya adalah pendidikan itu menuntun segala kodrat yang ada pada anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Ki Hadjar Dewantara juga mengingatkan pada kita tentang konsep manusia merdeka, yaitu: mereka tidak terperintah, mereka dapat menegakkan dirinya, tertib mengatur perikehidupannya, sekaligus tertib mengatur perhubungan mereka dengan kemerdekaan orang lain. Jadi, pendidikan seyogyanya adalah upaya sadar untuk menumbuhkan manusia-manusia yang merdeka. Dalam pernyataannya yang lain, Ki Hadjar Dewantara (Dasar-dasar Pendidikan, 1936), menyampaikan bahwa: “Maksud pendidikan itu adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia, maupun anggota masyarakat

 Dengan demikian  sebagai pembelajar guru harus memahami  dua poin besar pendidikan yaitu pertama, pendidikan hanya tuntunan; hidup dan tumbuhnya anak terletak diluar kehendak pendidik, jadi  anak hidup menurut kodratnya sendiri. Kedua, pendidikan penting untuk memberi pengaruh baik pada kodrat anak. Bagaimana seorang guru menuntun anak-didiknya berkembang sesuai kodratnya?

Guru hendaknya menggunakan cara-cara mendidik seperti yang ajarkan oleh Ki Hajar Dewantara yakni dengan memberi contoh (voorbeld); menuntun pembiasaan (pakulinan, gewoontervorming), melakukan pengajaran (wulang-wuruk, leering), mennggunakan perintah, paksaan dan hukuman (regearing en tucht) jika diperlukan,  memberi keteladanan dengan tindakan (laku, zelfberheersching, zelfdiscipline); dan menciptakan stimulasi yang membuat anak didik mengalami pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa, beleving).

 

b.             Nilai dan Peran Guru

Dalam menerapkan filosofi pendidikan seperti yang diharapkan oleh KHD, guru berpedoman pada nilai-nilai profil pelajar Pancasila sebagai arah yang hendak dicapai demi mencapai tujuan pendidikan.   Profil Pelajar Pancasila ini dicetuskan sebagai pedoman untuk pendidikan Indonesia. Tidak hanya untuk kebijakan pendidikan di tingkat nasional saja, akan tetapi diharapkan juga menjadi pegangan untuk para pendidik, dalam membangun karakter anak di ruang belajar yang lebih kecil. Pelajar Pancasila berarti pelajar sepanjang hayat yang kompeten dan memiliki karakter sesuai nilai-nilai Pancasila. Pelajar yang memiliki profil ini adalah pelajar yang terbangun utuh keenam dimensi pembentuknya yang harus dilihat sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Yaitu beriman, bertakwa pada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, mandiri, bergotong royong, berkebinekaan global, bernalar kritis, dan kreatif.

Untuk mewujudkan profil pelajar Pancasila, guru memiliki peran sangat penting sebagai orang yang berada di garda depan menuntun peserta didik memiliki enam dimensi profil tersebut. Untuk itu, guru harus memahami dan menjiwai nilai-nilai dari seorang guru penggerak dimana ia harus dapat memimpin dan mengelola perubahan. Tantangan dan mungkin kekacauan akan dihadapi seorang guru penggerak ketika melakukan perubahan karenanya ia harus dapat membangun keselarasan dan koherensi untuk menuntun yang lain melampaui dan menerima perbedaan. Kemampuan mengadopsi mentalitas “berpikir berbasis asset” yang mengapresiasi dan memanfaatkan kekuatan atau sumber daya yang telah dimiliki, bukan berkutat pada apa yang tidak dimiliki.

Dalam membawakan perubahan guru diharapkan dapat beranjak dari keadaan diri yang kurang berkesadaran menuju ke diri yang berkesadaran penuh. Kesadaran penuh tersebut dibarengi dengan lima keterampilan sosial-emosional (kesadaran diri, pengelolaan diri, kesadaran sosial, keterampilan relasi, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab dan beretika) yang memungkinkan bertumbuhnya pola pikir dan nilai-nilai yang diharapkan menubuh pada guru. Nilai-nilai seorang guru yaitu  (1) berpihak pada murid, (2) reflektif, (3) mandiri, (4) kolaboratif, serta (5) inovatif.  Agar dapat menerapkan nilai-nilai tersebut, guru harus siap sedia menjalankan perannya di tengah lingkungan sekolah maupun masyarakat. Peran dari seorang guru adalah 1) menjadi pemimpin pembelajaran, 2)menjadi coach bagi guru lain, 3) mendorong kolaborasi, 4) mewujudkan kepemimpinan murid (student agency), dan 5) menggerakkan komunitas praktisi.

 

c.              Visi Guru

Seorang guru pasti mempunyai harapan terhadap murid-muridnya. Harapan guru atas muridnya adalah visi dari guru tersebut. Menetapkan visi ataupun harapan terhadap murid maupun sekolah, diperlukan kemampuan menetapkan tujuan, membuat rencana, dan menentukan cara untuk mencapainya. Guru juga mampu menggerakkan komunitas sekolah untuk bersama-sama mewujudkan visi sekolah yang berpihak pada murid dan berlandaskan nilai-nilai universal. Menyusun visi sama artinya kita sedang menyusun penunjuk arah atau pemandu bagi kita mencapai tujuan. Visi adalah representasi visual kita akan masa depan. Penggambaran visi yang jelas tentang keadaan di masa depan dapat membantu kita untuk merencanakan dan menyelaraskan upaya-upaya mewujudkannya.

Untuk dapat mewujudkan visi sekolah impian dan melakukan proses perubahan, maka perlu sebuah pendekatan atau paradigm sebagai alat untuk mencapai tujuan. Paradigma tersebut adalah  Inkuiri Apresiatif (IA). IA dikenal sebagai pendekatan manajemen perubahan yang kolaboratif dan berbasis kekuatan. Konsep IA ini pertama kali dikembangkan oleh David Cooperrider (Cooperrider & Whitney, 2005; Noble & McGrath, 2016). Paradigm ini menggunakan prinsip-prinsip utama psikologi positif dan pendidikan positif yang percaya bahwa setiap orang memiliki inti positif yang dapat memberikan kontribusi pada keberhasilan. Menurut Cooperrider & Whitney (2005), Inkuiri Apresiatif adalah suatu filosofi,  suatu landasan berpikir yang berfokus pada upaya kolaboratif menemukan hal positif  dalam diri seseorang, dalam suatu organisasi dan dunia di sekitarnya baik di masa lalu,  masa kini maupun masa depan.

Adapaun pendekatan manajemen perubahan yang pertama kali diperkenalkan oleh Cooperrider melalui tahapan inkuiri apresiatif dinamakan 4D Discover-Dream-Design-Deliver atau disini  kenal dengan istilah BAGJA; Buat pertanyaan utama (Define), Ambil Pelajaran (Discover), Gali Mimpi (Dream), Jabarkan rencana (Design), dan Atur Eksekusi (Deliver). Pendekatan manejemen perubahan ini yang digunakan dalam merumuskan visi dengan jelas.

Visi yang dirancang oleh guru hendaknya merupakan pedoman sekolah atau guru dalam menubuhkan profil pelajaran Pancasila dan pendidika yang berpihak pada anak di lingkungan sekolah dimana guru tersebut berada.

 

d.             Budaya Positif

Telah disebutkan sebelumnya, salah satu cara mendidik menurut KHD adalah dengan menciptakan pembiasaan-pembiasaan baik atau positif. Kebiasaan positif yang berlangsung dan dilaksanakan terus-menerus akan menjadi budaya. Nilai-nilai positif yang diciptakan di lingkungan sekolah dan diharapkan menjadi bagian tak terpisahkan dari karakter atau profil murid, disarikan dari nilai-nilai kebajikan bersifat universal yang tidak membeda-bedakan dan salah satunya adalah sikap disiplin.

Ki Hadjar Dewantara mengartikan disiplin sebagai disiplin diri yang memiliki motivasi internal. Jika kita tidak memiliki motivasi internal, maka diperlukan pihak lain untuk mendisiplinkan kita, atau motivasi eksternal atau dari luar, bukan dari dalam diri kita sendiri. Menurut Diane Gossen, disiplin berarti pengikut. Maksud pengikut di sini adalah murid. Seseorang memahami suatu alasan mengapa mereka mengikuti suatu aliran tertentu sehingga dia memiliki motivasi intrisik mengikutinya. Maksud ini sejalan dengan makna disiplin diri dimana disiplin diri ini akan mendorong seseorang menggali potensinya serta bagaimana mengontrol dan menguasai diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai agar tercapai tujuan mulia yang diinginkan.

Setiap melakukan perubahan menciptakan budaya positif pasti akan berbenturan dengan pelanggaran. KHD memberikan petunjuk bantuan motivasi eksternal dapat diberikan dalam menuntun anak memahami dan menerima sebuah nilai positif seperti kedisiplinan sebagai sebuah cara mendidik yakni memberikan perintah, paksaan dan hukuman. Hal ini dilakukan sebagai control atau pengendalian, dan dapat juga sebagai bentuk membangun motivasi.  Diana Gossen, penulis buku Resctructuring School Discipline, mengkategorikan motivasi menjadi 3, yaitu, menghindari ketidaknyamanan/hukuman, mendapatkan imbalan/penghargaan, dan menjadi orang yang dia inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Hukuman dan penghargaan memberi kontribusi pada penumbuhan motivasi secara eksternal dan justru dapat menurunkan kualitas. Namun  motivasi eksternal umumnya berlaku hanya sesaat dan berlangsung dalam jangka pendek. Sebaliknya, motivasi intrinsik yakni kesadaran dari murid untuk menghargai diri sendiri dengan mengembangkan potensi diri harus kita bangun. Kesadaran diri bahwa dia sudah mampu merupakan sebuah penghargaan.

Berdasarkan teori Kontrol Dr. Willian Glasser (riset 1998)  menyebutkan ada 5 posisi kontrol yang dilakukan guru, orang tua, maupun atasan, yaitu : sebagai penghukum, pembuat rasa bersalah, teman. pemantau dan manajer. Pelanggaran akan nilai-nilai universal yang dilakukan murid biasanya dihadapi oleh guru dengan memposisikan satu atau dua posisi tersebut. Namun yang diharapkan adalah posisi sebagai manajer. Dalam posisi sebagai manajer, guru menerapkan tahapan yang dinamakan segitiga restitusi. Restitusi bertujuan untuk mengubah identitas anak dari orang yang gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang yang sukses. Tahapan yang dilakukan adalah 1) menstabilkan identitas, yaitu tindakan memahami anak bahwa setiap orang pasti ingin melakukan hal yang terbaik. Kita bisa mengatakan, tidak ada manusia yang sempurna, 2) validitas tindakan yang salah, yaitu kita dapat mendengarkan alasan mengapa ia melakukan pelanggaran, dan 3) menanyakan keyakinan, yakni dengan menanyakan sikap anak tersebut itu sesuai atau bertentangan dengan keyakinan kelas atau prinsip hidup anak.

Dari empat uraian besar di atas penulis menyimpulkan usaha-usaha untuk menerapkan filosofi pendidikan KHD di sekolah tidak terlepas dari keterkaitan pemahaman mengenai filosofi pendidikan yang menuntun peserta didik menggali kodrat atau potensinya agar menjadi manusia yang selamat dan bahagia serta cara-cara menuntun yang berpedoman pada  nilai dan peran guru di sekolah  serta dinyatakan dengan  visi yang jelas, terukur, menarik supaya dapat  mewujudkan budaya positif di lingkungan sekolah.

 

(Penulis adalah Calon Guru Penggerak Angkatan 5 dari SMP Negeri 7 Purwokerto)

 

 

 

 

  

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post