Emmy Farida

Senang berkhayal menjadi seorang penulis....

Selengkapnya
Navigasi Web

KAM 2.3

 COUCHING UNTUK SUPERVISI AKADEMIK

Sebuah Refleksi

 

A.        Couching           Upaya pengembangan diri seorang pendidik dapat dilakukan melalui berbagai macam cara. Salah satunya adalah couching untuk supervisi akademik. Apakah couching itu?  Bagaimana melakukan couching untuk supervise akademik dan apa manfaatnya bagi guru? Tulisan ini membahas tentang pemahaman mengenai couching, elemen-elemennya, teknik couching, dan kegiatan-kegiatan pengembangan diri lain yang mirip dengan couching. Adapun pengertian couching adalah sebagai berikut.

1)     Sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999).

2)     Kunci pembuka potensi seseorang untuk untuk memaksimalkan (Whitmore (2003)) kinerjanya.

3)     Membantu seseorang untuk belajar daripada mengajarinya.

4)     Bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif (International Coach Federation).

 

Kompetensi yang  diharapkan dicapai pada kegiatan pengembangan diri melalui couching yaitu;

1)    Kehadiran Penuh/Presence Kehadiran penuh/presence adalah kemampuan untuk bisa hadir utuh bagi coachee, atau di dalam coaching disebut sebagai coaching presence sehingga badan, pikiran, hati selaras saat sedang melakukan percakapan coaching.  Kehadiran penuh ini adalah bagian dari kesadaran diri yang akan membantu munculnya paradigma berpikir dan kompetensi lain saat kita melakukan percakapan coaching.

2)    Mendengarkan Aktif

Keterampilan mendengarkan dengan aktif atau sering kita sebut dengan menyimak.  Seorang coach yang baik akan mendengarkan lebih banyak dan lebih sedikit berbicara.  Dalam percakapan coaching, fokus dan pusat komunikasi adalah pada diri coachee, yakni mitra bicara.  Dalam hal ini, seorang coach harus dapat mengesampingkan agenda pribadi atau apa yang ada di pikirannya termasuk penilaian terhadap coachee.

3)     Mengajukan Pertanyaan Berbobot

Mengajukan pertanyaan dengan tujuan tertentu atau pertanyaan berbobot.  diajukan seorang coach diharapkan menggugah orang untuk berpikir dan dapat menstimulasi pemikiran coachee, memunculkan hal-hal yang mungkin belum terpikirkan sebelumnya, mengungkapkan emosi atau nilai dalam diri dan yang dapat mendorong coachee untuk membuat sebuah aksi bagi pengembangan diri dan kompetensi.

Pertanyaan berbobot memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1)     Hasil mendengarkan aktif: Menggunakan kata kunci yang didapat dari mendengarkan

2)     Membantu coachee: Membuat coachee mengingat, merenung, dan merangkai fakta sehingga dapat memahami apa yang terjadi pada dirinya

3)     Bersifat terbuka dan eksploratif: Struktur kalimat terbuka, membuat coachee harus menjawab sambal berpikir

4)     Diajukan di momen yang tepat:  Tidak terburu-buru dalam mengajukan pertanyaan dan ditanyakan di waktu yang coachee sudah siap memprosesnya.

     Kiat-kiat untuk mengajukan pertanyaan berbobot. Kiat-kiat yang dapat kita coba adalah sebagai berikut:

Merangkum pernyataan-pernyataan coachee dari hasil mendengarkan aktif. Menggunakan kata: Apa, Bagaimana, Seberapa, Kapan dan Dimana, dalam bentuk pertanyaan terbuka Menghindari penggunaan kata tanya “mengapa” - karena bisa terasa ada “judgement”.  Ganti kata “mengapa” dengan “apa sebabnya” atau “apa yang membuat” Mengajukan satu pertanyaan pada satu waktu, jangan memberondong Mengizinkan ada “jeda” atau “keheningan” setelah coachee selesai bicara, tidak buru-buru bertanya.  Juga izinkan ada keheningan saat coachee memproses pertanyaan Menggunakan nada suara yang positif dan memberdayakan

Dalam mendengarkan perhatikan kunci RASA. Ini  merupakan akronim dari ReceiveAppreciate, Summarize, dan Ask yang akan dijelaskan sebagai berikut:

R (Receive/Terima), yang berarti menerima/mendengarkan semua informasi yang disampaikan coachee.  Perhatikan kata kunci yang diucapkan.

A (Appreciate/Apresiasi), yaitu memberikan apresiasi dengan merespon atau memberikan tanda bahwa kita mendengarkan coachee.  Respon yang diberikan bisa dengan anggukan, dengan kontak mata atau melontarkan “oh…” “ya…”.  Bentuk apresiasi akan muncul saat kita memberikan perhatian dan hadir sepenuhnya pada coachee tidak terganggu dengan situasi lain atau sibuk mencatat.

S (Summarize/Merangkum), saat coachee selesai bercerita rangkum untuk memastikan pemahaman kita sama.  Perhatikan dan gunakan kata kunci yang diucapkan coachee.  Saat merangkum bisa gunakan potongan-potongan informasi yang telah didapatkan dari percakapan sebelumnya.  Minta coachee untuk konfirmasi apakah rangkuman sudah sesuai

Setelah merangkum apa yang disampaikan coachee bagian terakhir adalah

A (Ask/Tanya).  Sama dengan apa yang sudah disampaikan sebelumnya terkait kiat mengajukan pertanyaan berbobot berikut ini adalah hal-hal yang perlu diperhatikan saat mengajukan pertanyaan:

ajukan pertanyaan berdasarkan apa yang didengar dan hasil merangkum (summarizing) ajukan pertanyaan yang membuat pemahaman coachee lebih dalam tentang situasinya pertanyaan harus merupakan hasil mendengarkan yang mengandung penggalian atas kata kunci atau emosi yang sudah dikonfirmasi dalam format pertanyaan terbuka: menggunakan apa, bagaimana, seberapa, kapan, siapa atau di mana Hindari menggunakan pertanyaan tertutup: “mengapa” atau “apakah” atau “sudahkah”

Agar percakapan antara couch dan couchee berlangsung bermakna, ada strategi yang harus dipahami dan dilaksanakan saat melakukan pengembangan diri dengan couching. Strategi tersebut adalah menggunakan alur TIRTA. TIRTA dikembangkan dari satu model umum coaching yang dikenal sangat luas dan telah banyak diaplikasikan, yaitu GROW model. GROW adalah kepanjangan dari GoalRealityOptions dan Will.

1) Goal (Tujuan): coach perlu mengetahui apa tujuan yang hendak dicapai coachee dari sesi coaching ini. Bangun suasana tenang saat melakukan refleksi. Menyepakati tujuan refleksi dari kegiatan yang dialami coachee. Menyepakati hasil percakapan

2) Reality (Hal-hal yang nyata, Identifikasi dan Rencana Aksi): proses menggali semua hal yang terjadi pada diri coachee.  Options (Pilihan,): coach membantu coachee dalam memilah dan memilih hasil pemikiran selama sesi yang nantinya akan dijadikan sebuah rancangan aksi.

ü  Mulai dengan menanyakan apa yang didapat/dirasakan dari event/kegiatan/situasi yang direfleksikan

ü  Tanyakan inspirasi apa yang timbul dari pengalaman/perasaan tersebut

ü  Tanyakan apa yang sekarang jadi diketahui/dipahami/disadari oleh coachee

ü  Tanyakan dari kesadaran itu apa yang akan dilakukan kedepannya

 

4) Will (Keinginan untuk maju, Tanggung jawab): komitmen coachee dalam membuat sebuah rencana aksi dan menjalankannya.

ü  Tanyakan apa yang didapatkan dari percakapan?

ü  Tanyakan kesimpulan dan apa yang akan dilakukan berbeda di kemudian hari.

Selain couching ada juga kegiatan-kegiatan pengembangan diri yang hampir memiliki kegiatan yang sama dengan couching yaitu mentoring, konseling, fasilitasi, dan training. Perbedaan masing-masing dapat dilihat dari definisinya sebagai berikut.

1.        Mentoring

-       Suatu proses dimana seorang teman, guru, pelindung, atau pembimbing yang bijak dan penolong menggunakan pengalamannya untuk membantu seseorang dalam mengatasi kesulitan dan mencegah bahaya (Stone (2002))

-       Memindahkan pengetahuan tentang banyak hal, memfasilitasi perkembangan, mendorong pilihan yang bijak dan membantu mentee untuk membuat perubahan (Zachary, 2002)

 

2.        Konseling

-       Hubungan bantuan antara konselor dan klien yang difokuskan pada pertumbuhan pribadi dan penyesuaian diri serta pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. (Gibson dan Mitchell, 2003)

-        Rangkaian kontak atau hubungan secara langsung dengan individu yang tujuannya memberikan bantuan dalam merubah sikap dan tingkah lakunya. Rogers (1942) dalam Hendrarno, dkk (2003:24)

 

3.        Fasilitasi

Proses dimana seseorang yang dapat diterima oleh seluruh anggota kelompok, secara substantif berdiri netral, dan tidak punya otoritas mengambil kebijakan, melakukan intervensi untuk membantu kelompok memperbaiki cara-cara mengidentifikasi dan menyelesaikan berbagai masalah, serta membuat keputusan, agar bisa meningkatkan efektivitas kelompok itu (Shwarz, 1994)

 

4.        Training

Suatu usaha yang terencana untuk memfasilitasi pembelajaran tentang pekerjaan yang berkaitan dengan pengetahuan, keahlian, dan perilaku para pegawai (Noe, Hollenbeck, Gerhart & Wright, 2003)

 

 

 

 

B.            Supervisi Akademik

 Supervisi akademik merupakan serangkaian aktivitas yang bertujuan untuk memberikan dampak secara langsung pada guru dan kegiatan pembelajaran mereka di kelas. Supervisi akademik perlu dimaknai secara positif sebagai kegiatan berkelanjutan yang meningkatkan kompetensi guru sebagai pemimpin pembelajaran dalam mencapai tujuan pembelajaran yakni pembelajaran yang berpihak pada anak. Karenanya kegiatan supervisi akademik hanya memiliki sebuah tujuan yakni pemberdayaan dan pengembangan kompetensi diri dalam rangka peningkatan performa mengajar dan mencapai tujuan pembelajaran (Glickman, 2007, Daresh, 2001).

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 201 Tentang Standar Nasional Pendidikan  bagian Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan pasal 14 ayat 1, pihak-pihak yang dapat melaksanakan supervisi akademik, adalah (1) sesama pendidik, (2) kepala satuan pendidikan, dan atau (3) peserta didik.

Penilaian proses pembelajaran oleh sesama pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan asesmen oleh sesama pendidik atas perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik yang bersangkutan. Sedangkan penilaian proses pembelajaran oleh kepala Satuan Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan asesmen oleh kepala Satuan Pendidikan pada Satuan Pendidikan tempat pendidik yang bersangkutan atas perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik yang bersangkutan.

Supervisi menjadi sebuah tagihan atau kewajiban para pemimpin sekolah dalam tanggung jawabnya mengevaluasi para tenaga pendidik.  Saatnya sekarang kita mengembalikan semangat supervisi akademik mula-mula dengan melihat dan berpikir dengan menggunakan kacamata dan topi seorang coach: supervisi akademik sebagai proses berkelanjutan yang memberdayakan. Diharapkan melalui supervisi akademik Kualitas pengajaran atau akademik guru meningkat dan berkembang  termasuk peningkatan motivasi atau komitmen diri. Kualitas pembelajaran meningkat seiring meningkatnya motivasi kerja para guru.

Supervisi akademik dapat dilaksanakan dengan paradigm berpikir couching yang memperhatikan prinsip-prinsip kemitraan, konstruktif, reflektif, objektif, berkesinambungan, dan komprehensif (mencakup tujuan dari proses supervisi akademik). Pelaksanaan supervisi akademik didasarkan pada kebutuhan dan tujuan sekolah dan dilaksanakan dalam tiga tahapan, yakni perencanaan, pelaksanaan supervisi, dan tindak lanjut. Pada tahap perencanaan, supervisor merumuskan tujuan, melihat pada kebutuhan pengembangan guru, memilih pendekatan, teknik, dan model, menetapkan jadwal, dan mempersiapkan ragam instrumen.

Salah satu bagian dalam tahapan pelaksanaan supervisi akademik adalah observasi pembelajaran di kelas atau yang biasanya kita sebut sebagai supervisi klinis. Istilah supervisi klinis ini diperkenalkan oleh Morris Cogan dari Harvard University. Dalam buku Supervision for a Better School, Lovell (1980) mendefinisikan supervisi klinis sebagai rangkaian kegiatan berpikir dan kegiatan praktik yang dirancang oleh guru dan supervisor dalam rangka meningkatkan performa pembelajaran guru di kelas dengan mengambil data dari peristiwa yang terjadi, menganalisis data yang didapat, merancang strategi untuk meningkatkan hasil belajar murid dengan terlebih dulu meningkatkan performa guru di kelas. Kegiatan supervisi klinis bercirikan:

Interaksi yang bersifat kemitraan Sasaran supervisi berpusat pada strategi pembelajaran atau aspek pengajaran yang hendak dikembangkan oleh guru dan  disepakati bersama antara guru dan supervisor Siklus supervisi klinis: pra-observasi, observasi kelas, dan pasca-observasi Instrumen observasi disesuaikan dengan kebutuhan Objektivitas dalam data observasi, analisis dan umpan balik Analisis dan interpretasi data observasi dilakukan bersama-sama melalui percakapan guru dan supervisor Menghasilkan rencana perbaikan pengembangan diri Merupakan kegiatan yang berkelanjutan.

C.        Refleksi Setelah Mempelajari Couching untuk Supervisi Akademik

a. Perasaan 

Selama melaksanakan pembelajaran materi couching untuk supervisi akademik perasaan yang timbul diantaranya rasa khawatir sekaligus tertantang sejalan dengan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan yaitu praktek couching dengan sesama CGP dengan bergantian menjadi couch dan couchee dan juga menjadi pengamat dari teman-teman CGP yang menjadi couch dan couchee. Kekhawatiran muncul karena ketakutan melakukan kesalahan dalam berlatih sebagai couch, couchee, maupun pengamat. Namun kekhawatiran tersebut menjadi tantangan bagi penulis mempelajari materi lebih dalam agar dapat mempraktekan couching sesuai yang diharapkan. Pada pelaksanaannya, penulis merasa senang dapat berlatih mempraktekan tiga peran dalam kegiatan couching karena terasa sekali manfaatnya bagi pengembangan diri penulis sebagai pribadi, sebagai guru, dan sebagai couch bagi rekan sejawat.

 

b. Pengalaman Baik 

Hal baik yang dialami penulis dalam terlibat di proses pembelajaran adalah mendapatkan wawasan dan pendalaman materi yang dilakukan dengan praktek sehingga kebermaknaan materi dan penerapannya memberi manfaat untuk mengembangkan diri penulis dalam performa menjadi guru di kelas dan mendorong rekan sejawat untuk mengembangkan kualitas pembelajaran di kelasnya melalui kegiatan couching yang berprinsip presence, mengajukan pertanyaan berbobot, dan menjadi pendengar aktif. Yang menarik dari berproses belajar dalam kegiatan ini adalah, penulis menemukan bahwasanya kegiatan supervise akademik bukan kegiatan yang menakutkan tapi sebaliknya menyenangkan karena melalui kegiatan supervise akademik kita mendapat keleluasaan mengungkapkan permasalahan dan menggali potensi kita menyelesaikan permasalahan tersebut.

c. Perbaikan

Hal-hal yang perlu diperbaiki dalam keterlibatan penulis di proses belajar adalah persamaan persepsi antara couch dan couchee dalam memahami maksud, tujuan, prinsip, dan strategi couching agar prakteknya tidak terjadi percakapan yang sesuai dengan alur couching yang mengembangkan kompetensi seharusnya yaitu kehadiran penuh, mendengarkan aktif, dan mengajukan pertanyaan yang berbobot. Couchee yang menjadi target couching harus mendapat apresiasi positif pada usaha-usahanya menampilkan kinerja optimal memperbaiki pembelajarannya. Percakapan atau dialog antara couch dan couchee harus merupakan dialog-dialog bermakna yang berimbas pada Peningkatan kinerja dan penggalian potensi kedua belah pihak. Keterampilan melakukan couching harus selalu ditingkatkan dengan lebih sering melakukan couching baik pada rekan sejawat, dan dipraktekan juga pada kegiatan pembelajaran di kelas yakni pada anak didik. Meningkatkan keterampilan couching menjadi tantangan tersendiri bagi penulis. Penerapan yang berkelanjutan di kelas dan di sekolah akan mengurai tantantan tersebut.

d. Keterkaitan terhadap Kompetensi dan Kematangan Diri

Materi couching untuk supervisi akademik ini secara langsung memiliki keterkaitan dengan pengembangan kompetensi penulis  dalam meningkatkan performa kinerja penulis sebagai guru serta membantu kematangan diri pribadi penulis terutama dalam menjadi pribadi positif yang secara terbuka menjalin kemitraan dengan rekan sejawat atau guru lain guna sama-sama meningkatkan kinerja sebagai pendidik, mendorong guru lain untuk menggali potensinya tanpa harus menggurui. Kegiatan supervisi akademik dengan strategi couching cukup berpengaruh  terhadap peningkatan kompetensi pedagogik, professional, sosial dan kepribadian guru sebagai pendidik.

C.  Koneksi Couching untuk Supervisi Akademik dengan Pembelajaran Berdiferensiasi dan Pembelajaran Sosial dan Emosi

Pembelajaran Berdiferensiasi adalah usaha guru untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan belajar individu murid.  Pembelajaran diferensiasi juga diartikan serangkaian keputusan masuk akal (common sense) yang dibuat oleh guru yang berorientasi kepada kebutuhan murid. Keputusan-keputusan yang dibuat tersebut adalah yang terkait dengan kurikulum, bagaimana merespon kebutuhan belajar muridnya, bagaimana menciptakan lingkungan belajar yang mengundang murid untuk belajar, manajemen kelas yang efektif, dan penilaian berkelanjutan

PSE merupakan pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah yang memungkinkan anak dan orang dewasa di sekolah memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap positif , mengenai aspek sosial dan emosional.

Kegiatan couching untuk supervisi akademik dapat menjadi sarana memantau pembelajaran yang dilakukan oleh guru apakah sudah menggunakan pembelajaran berdiferensiasi atau keperpihakan pada murid atau belum, atau sebagai sarana diskusi bagi couch dan couchee/guru jika mengalami hambatan-hambatan  dalam penerapannya untuk digali solusi-solusi yang  tepat dalam mengatasi hambatan-hambatan yang timbul.

Kegiatan couching mensyaratkan prinsip-prinsip kemitraan dan kolaborasi mencari solusi, bukan komunikasi satu arah, memaksimalkan potensi, mengajukan pertanyaan berbobot, mendengarkan, dan merasakan kehadiran penuh kedua belah pihak yang melakukan couching serta adanya rasa penerimaan dan apresiasi. Konteks couching untuk supervisi akademik ini  sejalan dengan pembelajaran sosial dan emosi karena kegiatan supervisi melatih guru berefleksi, memperbaiki kelemahan emosinya, dan terus berlatih mengembangkan potensi-potensi sosial dan emosi agar dapat menjalankan peran sebagai couch  maupun couchee dengan baik serta menjadi pendidik yang memiliki kematangan kepribadian.

 

Disusun oleh Emi Farida

CGP Angkatan 5 dari Banyumas

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen ulasannya, Bunda. Salam literasi!

10 Oct
Balas

Terima kasih Pak Dede

03 Dec



search

New Post