Endah Dwi Sayekti, S.Psi, M.Si

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
PEREMPUAN PENAMPAR

PEREMPUAN PENAMPAR

PEREMPUAN PENAMPAR

Oleh: Endah D Sayekti

Cerita ini berawal dari sebuah galeri dimana seorang perempuan muda sekonyong-konyong menampar mukanya ditengah orang banyak. Perempuan itu ingin menampar lagi seandainya pipi perempuan yang satunya tidak tertutup oleh tangannya. Lalu, perempuan yang menampar itu seperti belum puas. Tapi kali ini cukup dulu. Ini pelajaran pertama. Mungkin begitu batinnya.

Perempuan yang ditampar itu, Halizza namanya.

Sosok wanita dewasa yang gemar berpetualang untuk menyempurnakan tulisan-tulisannya. Dia lebih suka dipanggil Izza. Wajahnya memerah oleh malu yang teramat sangat. Rasa malunya terasa lebih sakit dibanding dengan tamparan dari perempuan yang belum pernah dikenalnya itu. Tapi perempuan penampar itu segera pergi sebelum Izza sempat meminta penjelasan. Pelan- pelan sekali Izza melangkah meninggalkan galeri itu dan dia semakin menjadi pusat perhatian. Langkahnya begitu berat.

Aneh, sudah setengah jam sejak peristiwa itu, pipinya masih saja terasa tebal dan tangannya belum lepas menutupi pipi kirinya yang tertampar. Terus saja dia melintasi Malioboro tanpa ada benda-benda yang menarik perhatiannya untuk dibeli. Orang-orang memandang aneh pada dirinya tapi terus saja ia berjalan. Pikirannya ‘blank’ sudah. Padahal masih sepertiga buku lagi novelnya baru bisa jadi.

Dari perpustakaan lantai dua Fakultas Psikologi di universitas paling terkenal di Yogya Izza mencari beberapa literatur untuk menyelesaikan buku yang kini sedang digarapnya. Hatinya berbunga-bunga dan semangatnya menyala-nyala. Untuk menghilangkan penat dan jenuh di perpustakaan, dia menuju galeri . Pengen rasanya melihat-lihat lukisan indah dan lucu-lucu dari beberapa pelukis terkenal di Yogya. Yang menarik perhatiannya adalah lukisan si Bunga Jeruk.

Sebenarnya Izza tidak begitu fasih berbahasa Inggris tapi dia paham dengan Buku Biografi si Bunga Jeruk yang tercetak dengan Bahasa Inggris. Buku warna kuning menyolok dengan gambar kartun seorang gadis tembem. Kedua pipinya memerah lucu sekali. Dia dapatkan buku itu dari seorang teman yang mengajar di Solo. Dari situ dia mengenal Si Bunga Jeruk. Makanya begitu melihat lukisan si Bunga Jeruk yang terpampang di galeri itu, dia jadi tertarik. Di amat-amatinya lukisan itu dan…terjadilah peristiwa ‘menakjubkan’ yang sempat membuatnya shock.

Suatu peristiwa yang baru pertama kali dialaminya semoga ini yang terakhir. Sungguh dasyat! Bagaimana tidak dasyat, ditampar seorang perempuan yang tak ia kenal ditempat keramaian. Tuhan semoga tidak terulang lagi. Begitu pintanya. Padahal Yogya bukan tempat tinggalnya sekarang. Sehingga bila ada orang yang mengenal dirinya, kemungkinan sangatlah sedikit. Tapi mungkin bisa juga orang yang pernah membaca tulisan-tulisan Izza, kemudian tidak terima dan akhirnya balas dendam. Ah, gak tahu juga.

Hari-hari biasa Izza menetap di Solo bersama beberapa orang teman dan mendirikan sebuah Biro Jasa Psikologi. Tapi tentu dia tidak bisa begitu saja meninggalkan hobbynya tulis - menulis. Dia rela bertraveling ria demi mendapatkan tulisan yang ia inginkan atau mendapatkan ilham untuk novel-novelnya.

Di bawah sengatan matahari Yogya, Halizza terengah- engah sampai di tempat penginapan yang letaknya dua kilometer ke timur dari arah Malioboro. Jauh memang, tapi dia tak mau naik becak atau angkot. Hatinya yang sakit membuat ia ingin berjalan dan berjalan. Dia sudah sangat hafal dengan kebiasaannya. Bila ia sedang jengkel atau stress dengan kerjaan misalnya, dia pasti akan berusaha untuk membuat badannya sedemikian capeknya sehingga dengan begitu ia akan bisa tertidur dengan pulas. Kalau badannya tidak dibuat capek dan masih dalam keadaan stress, bisa- bisa sampai dua hari ia tidak akan bisa tidur. Tapi untuk peristiwa tamparan itu, bisa saja dia tidak akan nyenyak tidur dalam waktu satu bulan. Ahhh.

Benar saja. Izza menjadi sangat lelah lemas dan mengantuk. Kelelahan yang luar biasa. Tubuhnya dibanting di tempat tidur sambil tengkurap. Izza tertidur dalam keadaan lapar. Ya begitu laparnya karena setelah sarapan yang hanya sedikit tadi pagi dia langsung mengubek- ubek perpustakaan dan berjalan begitu jauh.

Hari belum terlalu sore ketika suara hpnya mengagetkan tidur pulasnya. Ternyata Lila, teman sekantornya di Biro Jasa Psikologi.

“Halo.. siapa, nih?” sapa Izza tanpa membuka matanya dan masih dalam keadaan tengkurap.

“Ya ampun, Izza. Ini Lila. Kapan pulang? Keenakan di Yogya, ya?” suara renyah Lila terdengar begitu riangnya.

“ Oh Lila, ya? Ya, La, aku akan segera pulang. Tapi belum ketemu mas Dipa, nih.” Izza masih ngomong dengan mata tertutup.

Izza terlalu lemas walau hanya sekedar untuk membuka mata.

“ Ya udahlah, Za. Aku cuman mo ngingetin jangan lupa kaos-kaos Dagadunya. Inget,ya. Begitu sampai Solo, yang harus kau temui pertama adalah aku. Aku gak mau oleh-oleh untukku diserobot oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Ok?” Lila nerocos aja.

Telpon ditutup. Izza hanya tersenyum kecut. Ah, Lila. Kamu gak tahu apa yang saat aku alami. Izza melanjutkan tidurnya. Kali ini ada rasa pusing menyerangnya karena tidur pulasnya diganggu makhluk centil bernama Lila.

Malam romantis disebuah resto.

Lagu instrumentalia terdengar manis sebagai background musik di restoran itu. Pelayan membawa masuk Halizza dan Adipa tunangannya, ke meja paling depan. Mereka saling bertemu pandang dan saling tersenyum. Disebelah-menyebelah meja ditutupi kain linen putih. Bagi Halizza restoran mewah begini belum pernah terbayangkan untuk memasukinya. Dia merasa cukup asing. Tapi bagi Adipa kelihatannya sangat biasa dan tidak canggung. Dia bisa saja mencari restoran yang lebih mewah demi kencannya dengan si pujaan hati.

Adipa adalah salah satu pakar telematika yang tidak hanya terkenal di Yogya saja. Tapi sudah akrab ditelinga para tokoh akademis tingkat tinggi di seluruh Indonesia. Tentu saja Halizza merasa bangga walau kadang dia sering tidak sependapat dengan cara Dipa membuang-buang uang padahal banyak rakyat Indonesia yg berada dibawah garis kemiskinan. Tapi Halizza sering tak berdaya. Atau mungkin karena terlalu cinta?

“Halizza, ini adalah hadiah buatmu. Selamat ya. Tulisan-tulisan kamu di surat kabar harian kali ini cukup menggelitik.” Dipa tersenyum bangga dengan kekasih hatinya. Sehingga dia menghadiahi Izza dengan makan malam di restoran mewah.

“Thanks.” hanya itu yang keluar dari mulut Halizza. Sanjungan dari seorang kekasih itu justru tidak begitu bermakna pada hakekatnya. Karena apapun yang akan dilakukannya pasti akan diberi point plus. Lain halnya bila yang memuji itu seorang tokoh atau mungkin rival dari pekerjaan, itu baru pujian yang bermakna. Tapi ya, sudahlah. Sebagian besar orang memang labih suka disanjung oleh orang yang dikasihinya. Sangat manusiawi tentunya.

“Itu sama sekali tidak menyindir kamu lho Kak Dipa.” lanjut Halizza setelah ingat bahwa apa yang baru saja ditulisnya, seringkali mengkritik pejabat-pejabat, orang-orang yang berkecimpung dalam perbaikan moral bangsa, sering menggembar-gemborkan tentang perdamaian, tentang derita rakyat kecil dan juga tentang orang-orang di institusi-institusi pendidikan tetapi mereka malah menyeleweng dari niat luhur para pahlawan.

“Oh, tentu saja tidak, Halizza. Justru aku bangga denganmu karena keberanianmu mengungkap kebejatan-kebejatan moral yang dilakukan oleh oknum-oknum dalam jajaran pejabat juga tokoh-tokoh pendidikan. It’s Ok. Kamu bisa teruskan itu.” kata-kata Dipa membuatnya merasa nyaman.

“Oh,ya Halizza. Ada juga yang lain, tulisanmu tentang fenomena-fenomena zaman sekarang yang sering terjadi dikalangan pelajar, mahasiswa, bahkan juga dosen-dosennya. Itu lho, tentang free sex.” Dipa berkata sambil setengah berbisik takut ada orang yang mendengar.

Halizza jadi tersenyum. Bener-benar tersenyum dari lubuk hatinya, karena sejenak dia bisa melupakan perempuan penampar itu.

Kebetulan si Dipa juga membawa barang bukti koran tentang tulisan Izza mengenai free sex dikalangan orang-orang terhormat. Diamat-amatinya tulisan itu yang sudah beberapa waktu yang lalu telah ia baca juga. Tulisan itu adalah buah dari kejengkelan dan kemarahan hatinya atas realitas-realitas dan fenomena dikalangan pelajar, mahasiswa yang masuk dunia free sex tanpa tedeng aling-aling. Semuanya begitu vulgar dan sudah biasa menjadi rahasia umum. Apakah mereka orang-orang bodoh yang melakukan itu sehingga tidak tahu efek dari perbuatannya? Bukan! Pelaku itu justru orang-orang pintar. Maksudnya pintar dalam membuat kedok-kedok supaya bisa menjadi samaran yang sempurna. Apakah mereka orang-orang yang miskin sehingga memerlukan uang untuk sekedar sesuap nasi? Juga bukan! Ada sebagian dari mereka yang karena berlimpah harta maka bingung mau dibelanjakan kemana dan dalam bentuk apa. Mungkin juga itu bukan halal sehingga memanfaatkannya pun juga bukan untuk hal-hal yang halal. Lalu yang perempuannya, apakah mereka orang-orang yang sudah terbiasa mengumbar aurat dan berlenggak-lenggok dengan baju transparan? Sekali lagi, bukan! Terkadang mereka malah memakai jilbab dan menutup auratnya dengan baik-baik. Kasihan betul wanita-wanita yang benar-benar memakai jilbab dengan niat yang tulus. Mereka telah dinodai oleh banyak wanita-wanita yang tidak bertanggungjawab. Sungguh munafik! Hati Halizza kembali geram. Ditutupnya koran itu dan harus melanjutkan makan bila tidak ingin penyakit maagnya kambuh .

Memang serba susah di negeri kita ini. Bila para pelajarnya di tempatkan di asrama dengan pengawasan ketat dan berdisiplin tinggi, akibatnya banyak yang stress, teraniaya bahkan mengakibatkan suatu hal yang fatal. Kematian! Izza jadi ingat kasus IPDN. Padahal dunia pendidikan harusnya dapat lebih menjadi tauladan dibandingkan dengan instansi-instansi lain yang umum dan tidak memakai embel-embel akademis. Para pelajar dan mahasiswa harusnya bisa semaksimal mungkin bersikap dewasa, tidak meledak-ledak dan berani menghadapi tantangan di masyarakat yang semakin kompleks. Karena merekalah nantinya yang dipersiapkan untuk menjadi tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin bangsa.

Dan untuk mahasiswa atau pelajar yang biasa merdeka, dan tidak di dalam kungkungan asrama, itu tadi akibatnya. Kebablasan dengan gaya hidup pergaulan bebas. Ah, Izza jadi merinding membayangkan bagaimana kelak ia akan memberikan arahan yang terbaik bagi anak-anaknya. Semoga saja, ia dan Adipa yang menjadi suaminya kelak, mampu memberikan pendidikan terbaik, akhlaq yang mulia demi kebahagiaan anak-anaknya. Izza kembali tersenyum sendiri membayangkan hidup berumahtangga dengan Dipa. Dipa memang berbeda dengan laki-laki lain. Yang alasan mencintai tapi justru merenggut kehormatan kekasihnya. Adipa sangat menghormatinya sebagai wanita yang harus dilindungi, disayangi dan membantu menguatkan iman untuk selalu mempertahankan kehormatannya.

“Tapi kamu aneh malam ini, Izza. Biasanya suka berdebat dan diskusi, kok kali ini anggun bener? Ini seperti bukan Izza yang kukenal?” rupanya Dipa memperhatikan perubahan dalam diri Izza .

Yah, memang setiap kali mengingat pipinya pernah ditampar orang yang tidak dikenalnya, dia jadi agak nervous di tempat umum. Akhirnya sikapnya jadi canggung. Begitu pula dengan malam ini. Harusnya saat ini dia merasa bahagia bertemu dengan tunangannya yang begitu baik dan selalu menyanjung-nyanjung. Tapi entahlah, Izza masih merasa mempunyai beban yang begitu berat. Dia tidak bisa begitu saja berpura-pura untuk melupakan peristiwa itu dengan menganggap bahwa perempuan itu adalah pasien gila yang kabur dari Rumah Sakit Jiwa atau orang yang sedang latihan akting di salah satu sinetron lokal. Apakah Dipa perlu dikasih tahu? Bagaimana kalo nanti malah mengganggu sehingga dia tidak bisa konsentrasi terhadap pekerjaannya? Padahal besok pagi-pagi Dipa harus terbang ke Jakarta untuk mengisi seminar. Bisa-bisa dia batalkan hanya untuk mengurus ceritaku yang seharusnya mampu kukesampingkan.

Untuk bertemu dengan Adipa itu tidak gampang. Sebagai orang yang super sibuk dengan kegiatan-kegiatan seminar, memberi training serta kuliah-kuliah disejumlah universitas, tentu saja harus cerdas membagi waktu. Itupun terkadang masih harus dengan cara membatalkan salah satu acaranya. Akhirnya Izza cukup dengan menggelengkan kepala sambil tersenyum dan memberi isyarat yang meyakinkan sehingga Dipa bisa menerimanya dengan lega. Adipa hanya mengira Izza terlalu kecapekan, sehingga untuk sekedar membantah pernyataan-pernyataannya seperti yang sering di lakukan dia merasa enggan. Dipa menduga bahwa Halizza sangat canggung karena dengan pakaian yang begitu sederhana, dia mengunjungi restoran mewah. Takut untuk menoleh kemana-mana. Adipa jadi tersenyum sendiri dengan keluguan Izza. Sikap kakunya malam ini tak sebanding dengan keberaniannya dalam membuat tulisan-tulisan di media umum.

“Okelah Izza, bila kau memang tak ada apa-apa tentu aku lega. Jangan sampai kamu sakit tanpa memberitahu aku dan semoga kamu hanya sedikit capek saja.” Adipa berkata begitu sambil bersiap-siap hendak pulang.

”Aku antar kamu ke pondokan. Kamu harus segera istirahat. Tulis-menulisnya dilanjutkan besok. Kamu kelihatan capek dan pucat sekali malam ini. Aku juga harus pulang ke rumah beres-beres untuk besok pagi. Aku ikut penerbangan awal. Seminar mulai jam 10.00.” Kata Dipa sambil memegang tangan Izza mengajaknya untuk segera beranjak setelah hampir satu setengah jam mereka makan sambil ngobrol-ngobrol ringan.

“Iya Kak Dipa, terimakasih untuk malam ini. Bila bulan depan ada libur, jangan lupa kabari aku ya, aku bisa ke Yogya. Atau Kak Dipa yang gantian ke Solo?” tanya Halizza penuh harap.

“ Aduh Izza. Tentu saja aku kabari kamu tapi untuk kali ini, aku belum bisa pastikan, kapan pulang. Semoga saja ada libur bulan depan. Tenang saja, kalau kamu masih menulis, pasti aku merasa lebih dekat denganmu. Tulisanmu kan bisa melanglang buana.” Kata Dipa masih tak lupa untuk menyanjung sambil tersenyum.

“Iya deh, kita pulang kali ini.” kata Izza.

Waktu sudah menunjukkan pukul 22.30. Sedan mercy meluncur manis di jalan-jalan protokol Yogya menuju ke pondokan Izza. Jangan tanya tentang Yogya malam hari. Yogya bukan Jakarta yang berisik tanpa henti. Pun bukan Solo yang tenang dengan angin sepei-sepoi. Tapi Yogya adalah Yogya. Yang di setiap ruas-ruas jalan kotanya seperti mengalunkan melody merdu. Seandainya tak banyak penyimpangan –penyimpangan di kota ini, tentulah Yogya tetap bercitra dengan nama Kota Pelajar, Kota Gudeg, Kota Seniman dan kota yang memiliki kekayaan nilai sejarah. Halizza hanya bisa berharap dan berharap di kota-kota manapun tak ada penyimpangan-penyimpangan yang membuat noda.

Pagi ini Izza bangun malas-malasan. Setelah subuh dia tiduran lagi tanpa ada semangat yang berarti. Apa aku pulang saja. Sia-sia kalau hanya berdiam diri di sini dan tidak menghasilkan apa-apa. Batinnya. Tapi Izza bukan orang yang betah dengan kekumuhan. Segera diambilnya handuk dan menuju kamar mandi. Walau belum ada rencana hari ini, ia tidak ingin merasa terlalu kumal karena hatinya yang sedang amat suntuk.

Izza belum terlalu ingin untuk sarapan. Dia santai-santai aja di kamarnya hingga suatu ketika terdengar ketukan pintu. Agak jeda dia untuk membuka pintu. Rasanya aneh aja ada tamu untuknya. Tapi rasa penasaran membuatnya melangkah ke pintu kemudian membukanya.

Tapi tiba-tiba…Plakk!! Sebuah tamparan keras menghantam pipi kirinya. Tentu saja Izza shock! Matanya terbelalak dan meringis menutupi pipinya. Kini dia tidak akan berdiam diri lagi. Perempuan itu lagi. Dan sebelum perempuan penampar itu beranjak pergi dengan seenaknya, Izza segera menangkap lengan perempuan itu. Perempuan itu melotot. Izza balas melotot.

“Anda siapa, dan apa maksud anda menampar saya untuk kedua kalinya?” tanya Izza dengan geram . “Ingat, anda harus bertanggung jawab atas apa yang telah anda lakukan pada saya beberapa hari yang lalu dan juga hari ini” kata Izza tanpa melepaskan cengkeramannya pada lengan perempuan penampar itu.

Perempuan penampar itu meringis karena ternyata cengkeraman Izza terlalu keras. Dan lama-lama matanya memerah, seperti menahan tangis. Izza semakin tidak mengerti tapi belum berniat untuk melepaskan cengkeramannya pada wanita itu.

“Anda belum menjawab pertanyaan saya.” Izza masih dalam nada ketus dan tidak perduli dengan keadaan perempuan di depannya itu yang semakin lama semakin merebak airmatanya.

Ternyata benar. Lama-lama perempuan itu meneteskan air mata. Izza semakin tak sabar, dan akhirnya ia memutuskan untuk melepaskan perempuan itu dan membawa perempuan itu masuk kemudian menyilahkannya duduk di lantai karpet. Lizza mengambil air mineral gelasan yang berada di atas meja pendeknya.

“Sekarang, tolong jelaskan semuanya.” Halizza berkata lunak sambil menyerahkan segelas air putih. Perempuan itu terdiam.

“ Anda tak perlu khawatir, saya wanita baik-baik dan tidak meledak-ledak seperti anda. Ini air putih biasa untuk anda minum, supaya anda bisa lancar berbicara pada saya dan ini bukan racun. Silahkan diminum.” Akhirnya perempuan itu mau meminum air putih itu.

“Terima kasih.” Jawabnya pendek. Hmm, bisa mengucap terima kasih segala perempuan ini. Batin Izza.

Dan perempuan itupun mulai berbicara.

“Saya tahu, semalam anda bersama Mas Dipa dan saya juga sudah tahu, sejauh apa hubungan anda dengan Mas Dipa. Mungkin anda sudah bertunangan juga. Perempuan yang ternyata berwajah manis itu terdiam sejenak dan menghela nafas.”Saya selalu menyelidiki siapa anda. Tapi anda harus tahu, saya adalah isteri Mas Adipa . Isteri sah.” Halizza seperti tersambar petir mendengar pengakuan perempuan itu.

Tapi ia tak boleh gegabah. Ia sudah terbiasa untuk mengendalikan diri. Jadi bila ada sesuatu yang terasa sangat mengagetkannya, tidak akan buru-buru diambil kesimpulan. Izza menyabarkan diri untuk tetap diam dan tenang sampai perempuan itu memberikan keterangan lagi.

“Kami menikah satu setengah tahun yang lalu. Saya tahu anda tak bersalah, tapi saya selalu tidak berdaya menghadapi Mas Dipa, jadi saya hanya bisa melampiaskan kekecewaan saya pada anda. Saya harap anda mengerti. Anda adalah orang ke tiga yang didekati mas Dipa. Wanita ke dua setelah saya adalah mahasiswi tingkat awal di sebuah Universitas Swasta di Jakarta. Saya juga datangi dia, saya kasih dia pengertian kalau saya adalah isteri sahnya mas Dipa, akhirnya gadis yang masih bau kencur itu mau mengerti dan meninggalkan mas Dipa. Dan saya harap, andapun demikian juga. Saya akan melakukan hal yang sama nanti bila ada wanita ke empat, kelima dan seterusnya, entah sampai kapan.” Perempuan itu seperti bicara tanpa henti dengan nada penuh dendam.

“Ini buku nikah saya dengan Mas Dipa.” Izza tak bergeming.

Diliriknya buku nikah berwarna coklat dan hijau itu tanpa semangat. Sampai akhirnya perempuan itu permisi meninggalkannya . Izza tetap terdiam ditempat duduknya. Kali ini dia benar-benar sangat shock. Seribu kali tamparanpun mungkin tak bisa mengalahkan rasa kagetnya. Separuh jiwanya seperti sudah hilang. Baru kali ini dia tertipu mentah-mentah oleh seorang yang baru semalam menyanjung-nyanjungnya. Padahal Izza sudah merasa sangat mengenal Adipa. Apa yang sering ditulisnya dalam berbagai media supaya orang lain dapat mengambil pelajaran dari nya, ternyata malah dia sendiri yang kena. Izza kini tidak punya siap-siapa lagi dan semakin meyakinkan diri bahwa apa yang sering diungkapkannya bukanlah isapan jempol semata.

Sungguh munafik !!!

The end

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Oh wanita oh wanita. Eh salah ya oh pria oh pria.

31 Jul
Balas

ya betul.. pria oh pria.. mohon kritikan pak. apa sdh dibaca?mksh

31 Jul

menguak sisi wanita... Sip.

31 Jul
Balas

mksh atensinya pak.mohon kritikan..hehe

31 Jul

judulnya, Bunda .. edit, itu PENAMAMPAR ..

31 Jul
Balas

makasih sekali pak..

31 Jul

Siiip mbak hanya ada sedikit salah ketik diantaranya siap-siapa

31 Jul
Balas



search

New Post