My spiritual Experience of Performing Hajj: Ketika Sebuah Ketidakinginan Dibayar Tunai
My spiritual Experience of Performing Hajj: Ketika Sebuah Ketidakinginan Dibayar Tunai
Musim haji tiba. Jutaan umat muslim dari seluruh dunia memenuhi panggilan-Nya. Mereka datang ke tanah suci sebagai tamu Allah untuk melaksanakan rukun islam yang kelima. Kebahagian terpancar di setiap wajah atas karunia tak terkira. Rasa syukur yang membuncah yang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata. Bagaimana tidak, impian yang sekian lama ditunggu-tunggu, sekian tahun dinantikan, pada akhirnya terwujud nyata.
Ibadah haji adalah ibadah yang tidak hanya melibatkan kegiatan secara mental, tapi juga kegiatan secara fisik. Persiapan fisik menjadi utama harus dipersiapkan mengingat ibadah haji terdiri dari serangkaian kegiatan fisik.
Mengingat kembali rangkaian kegiatan ibadah haji yang saya laksakan di tahun 2012 silam, ada satu peristiwa yang sangat membekas di hati. Mungkin ini menjadi semacam pengalaman spiritual saya yang penuh makna. Cerita ini seperti aib saya. Akan tetapi saya tidak menganggapnya sebagai sebuah aib. Sebaliknya ini adalah hikmah yang dalam yang saya dapatkan atas sebuah ketidaksengajaan yang keliru. Cerita ini sepertinya cerita usang dari mulut ke mulut, dan dari tahun ke tahun. Tapi cerita ini betul adanya dan berharap menjadi pembelajaran.
Dalam rangkaian pelaksanaan ibadah haji, Madinah adalah tempat pertama yang saya kunjungi. Ibadah yang dilakukan di Madinah tentu saja salah satunya adalah melaksanakan sholat Arbain, yakni sholat empat puluh waktu tanpa putus. Di pelaksanaan sholat lima waktu inilah saya mendapatkan pengalaman yang luar biasa. Saya merasa saya mendapatkan teguran langsung dari Allah SWT.
Adalah hari ketiga saya berada di Madinah. Memasuki waktu sholat ashar, saya dan dua orang rekan akhwat (teman sekamar) bergegas pergi ke Mesjid Nabawi. Kami tiba di Mesjid Nabawi sekitar tiga puluh menit sebelum waktu sholat. Biasanya kami datang satu jam sebelum waktu sholat agar bisa mendapatkan tempat sholat di dalam masjid. Hari itu kami agak terlambat tiba di mesjid sehingga mesjid bagian dalam tampak sudah penuh. Seperti biasa kami selalu memasuki mesjid melalui pintu Ustman Bin Affan. Maka kamipun sepakat untuk sholat di pelataran mesjid saja. Halaman mesjid masih tampak lengang.
Karena waktu masih cukup panjang dan pelataran mesjid belum penuh, saya berinisiatif mengajak dua rekan saya untuk mencari alternatif tempat sholat ke bagian lain dari mesjid. Dua rekan saya setuju saja dengan ide saya. Lalu kamipun berjalan ke arah kiri dari pintu Ustman Bin Affan. Di sudut sebelum belok ke kanan, kami berhenti. Sejenak saya melihat-lihat sekitar. Namun kemudian saya memutuskan mencari tempat lain. Saya lihat banyak jemaah perempuan kulit hitam sedang duduk-duduk menunggu waktu sholat. Saya tidak mengemukakan alasan apapun ke rekan saya mengapa saya memutuskan mencari tempat lainnya. Rekan-rekan saya pun mengerti saja dan mereka setuju untuk mencari tempat sholat lainnya.
Kamipun kembali berjalan berbelok ke kanan ke arah pemakaman Baqi dan sampai di pelataran depan pintu Ali Bin Abi Talib. Di pelataran tersebut, lagi-lagi saya menemukan banyak sekali jemaah perempuan kulit hitam. Dalam pikiran saya, saya sedikit heran saya tidak menemukan jamaah haji Indonesia atau Asia di sana. Kemudian saya utarakan ke rekan-rekan saya bahwa kita lebih baik kembali ke tempat pertama kami tiba. Rekan-rekan saya sekali lagi hanya mengiyakan saja tanpa banyak komentar. Lalu kamipun kembali ke tempat awal, yakni ke pelataran depan pintu Ustman Bin Affan.
Tiba di pelataran pintu Usman Bin Affan dua puluh menit kemudian, sejenak saya terpana. Teryata jamaah sudah memenuhi pelataran tersebut. Saya lihat jamaah sudah beberapa shaf hingga ke belakang. Saya sempet ketar-ketir takut tidak kebagian shaf di depan karena memang posisi kami sudah berada dan berdiri di bagian depan. Saya mencoba mencari-cari celah diantara shaf di depan. Dan alhamdulillah, saya lihat masih ada celah di shaf depan cukup untuk satu orang. Dan Sayapun masuk. Tapi dua rekan saya akhirnya terpisah. Yang satu masuk di shaf yang sama dengan saya sebelah kanan tapi terhalang enam jamaah. Dan yang satu lagi masuk di shaf belakang saya agak jauh ke kanan. Lega rasanya mendapat tempat dan kemudian bersiap menunaikan ibadah sholat ashar.
Tak lama setelah setelah itu, azan ashar berkumandang. Selesai azan, jamaah serempak berdiri menunaikan ibadah sholat sunat qobla ashar, dan begitupun dengan saya. Baru saja saya memulai sholat sunat, tiba-tiba menyusuplah seorang jemaah di antara saya dan jemaah di samping kiri saya. Sebetulnya celah itu sangatlah sempit hingga saya bisa merasakan dan mengira siapa jemaah di samping saya karena badan kami bersinggungan. Pada saat bersamaan kami duduk diantara dua sujud pada rakaat pertama, saya tidak bisa duduk dengan tumaninah. Tempat saya terasa sangat sempit. Di rakaat kedua pada saat tahiyatul akhir, saya betul-betul tak bisa duduk dengan tumaninah. Kaki saya seperti menggantung tidak bisa menyentuh tanah. Ada sedikit rasa sakit menahan beban tubuh saya dengan kaki menggantung tak menyentuh tanah. Mengakhiri sholat dengan salam, penasaran saya melirik dan melihat jemaah di samping kiri saya itu. Dan, astagfirullahaladzim seorang jemaah haji kulit hitam berperawakan tinggi besar dengan bajunya yang khas berwarna kuning dan kerudung yang lebar. Beliau tidak sedikitpun melirik saya atau menyapa atau sekedar tersenyum. Padahal hampir seluruh bagian sajadah saya ditempati beliau. Saya lirik sekali lagi beliau berharap beliau mau menggeser tempat duduknya karena kulihat beliau duduk dengan leluasa. Ah, tapi beliau tak bergeming. Dan saya tidak ingin mengganggunya kemudian. Takutnya beliau sedang khusu berdzikir. Saya biarkan saja.
Saya mulai bingung bagaimana sholat ashar nanti kalau saya nyaris tidak bisa duduk. Saya mulai gelisah. Saya melirik ke kanan dan ke kiri. Ah, tapi tidak ada yang memahami kebingungan saya. Kemudian sekali lagi saya melihat ke kiri. Ah, shaf udah rapat. Sekali lagi melihat ke kanan sama saja. Dan, ketika saya melihat ke shaf persis di belakang saya, tiba-tiba seorang ibu melambaikan tangannya. Sedikit ragu untuk pindah karena sajadah saya diduduki oleh jemaah kulit hitam itu. Mau memintanya tidak berani. Tanpa pikir panjang sayapun pindah ke shaf belakang dengan tanpa sajadah saya. Subhanallah, detik-detik terakhir menuju pelaksanaan sholat ashar saya akhirnya menemukan tempat yang cukup leluasa untuk saya sholat. Saya tinggalkan sajadah saya untuknya dan saya berpindah ke samping seorang ibu yang dilihat dari paras mukanya sepertinya orang asia tapi tidak berbahasa Indonesia. ibu itu tersenyum berbagi sajadah. Sholat asharpun terlaksana dengan tumaninah. Dan segera setelah pelaksanaan sholat ashar selesai dan kemudian dilanjutkan dengan sholat sunat ba’da, beliau sang jamaah kulit hitam itu beranjak dan berlalu begitu saja meninggalkan sajadah saya yang teronggok.
Sesaat kemudian saya terpaku dan seolah tersadar. Saya merasa telah mendapatkan teguran langsung dari Allah. Saya merinding dan sedih. Saya lirik rekan saya yang satu shaf dengan saya. Dia tampak tersenyum sepertinya mengerti atas apa yang terjadi. Astagfirullahaladzim. Segera kutunaikan sholat sunat ba’da ashar dan sesudahnya kusampirkan sujud panjangku memohon ampunan atas apa yang sudah saya lakukan sesaat sebelum pelaksanaan sholat ashar. Sungguh tidak sebersitpun terlintas saya hendak menghina atau merendahkan ras tertentu.Tapi jelas ‘ketidakinginan’ saya menjadi sebuah kesalahan. Dan itu Allah bayar tunai. Allah Maha Tahu apa yang ada di dalam hati manusia. Tak ada sedikitpun yang luput dari pengetahuan Allah. Mungkin saya termakan isu-isu yang tidak benar bahwa orang kulit hitam itu katanya beraroma kurang sedap. Tapi faktanya saya tidak menemukan apa yang selalu diisukan oleh jemaah haji Indonesia selama saya berdekatan dengan mereka. Alhamdullah, seluruh pelaksanaan ibadah haji saya baik rukun maupun sunahnya dapat terlaksana dengan lancar tak kurang suatu apapun. saya sangat bahagia, terharu dan sangat bersyukur.
Hikmah yang bisa diambil dari kejadian tersebut adalah:
1. Jangan menilai orang dari fisiknya. Sejatinya manusia tiada yang berbeda. Mereka yang cantik atau buruk, yang tinggi atau pendek, yang berkulit putih atau hitam. Mereka adalah sama derajatnya di mata Allah. Satu yang membedakannya yaitu ketaqwaannya. Seperti difirmankan Allah dalam Alquran surat Al Hujurat 13, yang berbunyi: ‘ Hai manusia, sesungguhnya kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku- suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
2. Jangan berbangga diri atau sombong. Merasa diri lebih unggul dari diri orang lain.karena kita keturunan darah biru, keturunan orang kaya, keturunan bangsa tertentu. Yang membuat kita mulia adalah ketqwaan kita.
3. Allah Maha Mengetahui apa yang ada di dalam hati manusia bahkan yang terbersitpun. Makanya kita semestinya menjaga hati untuk tetap bersih agar terhindar dari sifat-sifat tercela.
4. Jangan mudah termakan oleh isu-isu. Informasi yang kita terima sebaiknya kita bertabayun. Kita cek dulu kebenarannya agar tidak menimbulkan prasangka buruk kita terhadap orang lain.
Wallahu a’lam bish-shawabi. Semoga Allah senantiasa memberikan taufk dan hidayah pada kita semua. Aamiin.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar