Endah Hendayani

Hello. Saya Endah Hendayani. Sehari-hari sebagai ibu rumah tangga dan mengajar di SMAN 1 Kota Sukabumi mapel Bahasa Inggris. Senang bergabung dengan Gurusiana t...

Selengkapnya
Navigasi Web
Diari 21 (Catatan Perjalanan di Benua Selatan)

Diari 21 (Catatan Perjalanan di Benua Selatan)

Day 1

Hello Adelaide

Hari mulai senja ketika Qantas F765 mendarat mulus di Bandara Internasional Adelaide. Rasa tak percaya sekaligus gembira bukan hanya karena negeri impian di depan mata tapi juga syukur tak terkira. Dan semua menjadi nyata manakala pintu pesawat terbuka. Terlihat kerlap-kerlip di kejauhan. Lampu-lampu telah dinyalakan. Angin musim dingin terasa menusuk menerpa wajahku. Ah, senja temaran di Adelaide mengucap selamat datang.

Setelah melalui pemeriksaan dokumen dan lain-lain kami menuju bagian kargo untuk mengambil koper. Oh ya, teman sekelompok sekaligus teman serumahku adalah Ibu Heny Kismarini. Beliau adalah guru kimia SMAN 5 Kota Bekasi. Selanjutnya aku dan Bu Heny berdiri di samping conveyor menunggu koper kami muncul dan bergerak mendekati kami. Sambil menunggu koper, para Host Family (HF) mulai berdatangan menjemput kami. Host Family adalah sebutan keluarga yang kami akan tinggal bersama mereka selama dua puluh hari.

Karena sesuatu hal, HFku tidak bisa menjemputku dan Bu Heny. Itu beliau sampaikan melaui emailnya kepadaku beberapa hari sebelum keberangkatan. Sempet berpikir yang lain-lain. Ah, tapi sudahlah. Mungkin di hari kedatangan HFku bisa menjemput kami. Tapi nyatanya memang tidak bisa. Kami diminta naik taksi saja ke rumahnya. Deg. Ada perasaan cemas menghantam ringan.

Kucoba menenangkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Ada perasaan iri manakala teman-teman terlihat riang ketika HF mereka menjemputnya. Sementara aku dan Bu Heny menjadi H2C, harap-harap cemas. Sampai malam sekitar pukul setengah tujuh, tinggallah aku dan Bu Heny masih berada di bandara dengan perasaan yang mulai benar-benar cemas.

Teman-temanku sudah pada raib ditelan gelapnya malam Adelaide. Pastinya mereka segera mendapati kasur empuk untuk beristirahat. Perjalanan panjang hampir dua puluh empat jam terhitung berangkat dari rumah masing-masing pastinya membuat letih. Beneran tinggal kita berdua loh yang tersisa di bandara malam itu.

Aku memberitahukan prihal ini ke Ibu Rini Budiyanti dari Knowledge Exchange sebagai official dari kegiatan ini. Ada juga Ibu Medelina Bendo dari Knowledge Exchange juga turut menemani kami. Beliau berdua membantu kami mencarikan taksi. Ada banyak taksi di halaman gedung bandara. Tapi aku terlalu takut untuk melakukannya sendiri. Taksi siap. Kamipun dilepasnya. Kami menuju Flinders street 23A Hillcrest Adelaide South Australia.

Ada perasaan shocked ketika kami harus naik taksi menuju rumah HFku di negeri asing pada malam hari. Kami tidak tahu apakah ke utara atau ke selatan, ke barat atau ke timur. Gelap segelap malam itu. Sambil berusaha menenangkan diri dan berdoa, aku berpikir positif saja bahwa aku harus survive. Kudekap tas rangselku seraya sedikit menggigit bibir, taksi melaju membelah kota Adelaide. Bisa jadi wajah kami berdua tampak pucat saking tegangnya.

Tak banyak yang aku lihat malam itu karena hari sudah gelap. Hanya jalanan tampak lengang padahal baru sekitar pukul setengah delapan malam. Kalau ini terjadi di kotaku, pastilah masih cukup ramai lalu lintas di jalanan.

Well, aku harus bisa menghadapi situasi yang menegangkan ini. Tapi mau bicarapun rasanya berat. Tegang dan berusaha tegar saling berlomba menguasai perasaanku. Sesekali aku dan Bu Heny bersuara. Setelah itu diam lagi. Tapi kupikir kalau berdiam diri terus rasanya semakin tegang.Yes, aku harus berbicara. Aku harus bertanya. But I have to speak English. OMG. Baru nyadar sepenuhnya this is Australia. Ngomong harus pakai Bahasa Inggris. Need full of courage. Butuh keberanian. Baiklah.

Untuk mengurangi ketegangan aku memberanikan diri membuka obrolan dengan mas sopir. Sebetulnya mas sopir sudah tampak ramah dari awal dan menyapa kami. Tapi setelah itu kami diam lagi. Mas sopir itu masih muda dan ganteng. Looknya seperti timur tengah.

Kucoba lagi memecah kesunyian untuk menghilangkan ketegangan.Ternyata dia berasal dari Afganistan dan sudah menjadi warga negara Australia. Dia bercerita dia pernah juga tinggal di Indonesia, di Medan dan Jakarta beberapa waktu. Ah, senengnya nama Indonesia disebutnya. Ada kebanggan disana. Nah, suasana mulai mencair dengan mengobrol gak terlalu tegang seperti di awal. Gak banyak sih mengobrolnya. Malah mungkin banyak diamnya. Tapi dengan memberanikan diri bersuara dan ngobrol dapat mengurangi ketegangan.

Setelah setengah jam lebih perjalanan, taksi masuk ke sebuah area perumahan. Areanya sepi dan agak gelap. Aku gak berhasil melihat-lihat objek dengan jelas. Ketegangan kembali muncul. Khawatir tersesat. Aku melihat tidak setiap rumah menyalakan lampu di depan rumahnya. Kalaupun ada yang menyala, itu tidak seterang di Indonesia. Duh, serem juga rasanya. Di kita lampu rumah bagian depan saja bisa dua atau tiga yang menyala di malam hari. Ini mah nyaris gelap. Aku sendiri pastinya gak ngerti rumah HFku yang mana. Yang jelas mas sopir sibuk mencarikan dan memastikan rumah yang dimaksud.

Kata mas sopir kalau lampu rumah bagian depan menyala itu artinya ada kedatangan tamu. Dan itulah yang kulihat akhirnya pada rumah yang taksi berhenti di depannya. Rumah menyala dengan cahaya temaran. Wow, amazing. Pastinya hemat listrik. Yeay, akhirnya kami sampai di rumah HF setelah aku sendiri merasa degdegan, cemas dan tangan terasa dingin selama lebih dari tiga puluh menit dari bandara ke rumah.

HF tampak keluar rumah dan menyambut kami dengan ramah. Mungkin beliau sudah memperkirakan waktu kedatangan kami. Terbukti pintu rumah segera terbuka manakala ada suara mesin mobil memasuki area carpot rumahnya. Kami pun segera turun dari taksi dan menemui HF. Pertemuan pertama. Cukup tegang. Hups.

Mas sopir segera sibuk menurunkan koper-koper kami. Tak lama dia berpamitan dengan tersenyum. Ternyata mas sopir ini baik dan ramah. Awalnya aku sempat berpikir yang tidak-tidak. Lega banget. Thanks God. Lalu HF mempersilahkan kami menyimpan dan merapikan koper di kamar. Dan segera beliau memanggil kami dan mengajak makan malam. Wow, first dinner.

Oh ya, sebelum menyantap makan malam, kami beramah tamah dulu dengan HF. Sekalian saja kuhaturkan oleh-olehku buat HF, yakni seperangkat taplak meja makan batik warna biru tua. HF tampak senang sekali sampai dicium-cium batiknya. HF suka batik katanya. Bu Heny pun melakukan hal yang sama, memberikan oleh-olehnya.

Hidangan makan malam pertama adalah ayam panggang dan salad kacang merah. Hanya ayam dan salad. Gak ada nasi. Aku agak canggung. Oh, kalau di kampungku makan lauk tanpa nasi bisa disebut menggado atau dianggap makan ringan. Baiklah, perbedaan dimulai.

Makan malampun dimulai. Suapan kesatu rasanya oke juga. Suapan kedua enak juga. Suapan ketiga, keempat dan kelima baik-baik saja. Mungkin faktor kelaparan juga yang membuatku cukup semangat melahapnya. Suapan ke enam mulai ada rasa eneg tapi tak kupedulikan. Kulihat Bu Heni memberi kode menyerah tak bisa melanjutkan makannya. Aku lanjut karena tak enak hati dengan HF yang bilang untuk makan banyak.

Suapan ketujuh rasanya lidah ini mulai tersiksa, mulai gak mau kompromi. Aku merasa eneg. Bukan karena hidangan itu gak enak. Suer, ayam panggannya enak tapi ada sesuatu yang mungkin aku kurang terbiasa. Aduh, lagi-lagi aku teringat nasi. Aku berandai-andai ada nasi. Argh.

Suapan kedelapan aku menyerah. Aku betul-betul merasa mual. Mungkin juga faktor kecapaian membuat moodku turun.

HF sedikit memaksaku menghabiskan ayam panggang yang masih tersisa banyak di piring. Sekilas aku dan dan Bu Heny berpandangan. Bu Heny memberi kode menyerah. Aku juga.

Akhirnya dengan segala daya dan upaya kami bilang ke HF makan malamnya sudah cukup. HF bilang kenapa makannya sedikit. Sempat tegang juga takut dikira kami tidak sopan karena makan hanya sedikit. Padahal ayam panggangnya masih tersisa banyak di piring. Akhirnya HF bisa memaklumi.

Well, selanjutnya aku mungkin harus segera mengubah mindsetku bahwa makanan pokok itu tidak hanya nasi. Hey, ini Australia. Nasi bukan makanan pokok mereka.

Akhirnya makan malam terlewati. Setelah sebelumnya sempat sport jantung dulu di perjalanan menuju ke rumah. Lalu bertemu dengan HF. Berbincang tak lama karena malam semakin larut. HF mempersilahkan kami beristirahat.

Dengan terus berpikir positif dan bersikap tenang, bersyukur aku dapat melewati hari itu dengan lancar. Segala ketegangan dan kecemasan sedari memasuki Kota Adelaide sirna sudah ketika kami sampai di rumah. Tak semulus yang kukira. Tapi itu mulus dengan cara lain yang Allah sudah rancangkan untuk kita. Itulah yang tebaik.

Setelah bersih-bersih dan berganti pakaian, akhirnya aku dan Bu Heny dapat menemukan kasur empuk, bantal, guling dan selimut. Kami naik ranjang masing-masing merapatkan selimut. Malam semakin dingin. Adelaide semakin senyap. Aku pun terbang ke alam mimpi memimpikan esok yang indah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

wah serasa ikut ke adelaidenya. keren bu

03 Oct
Balas

Ayoo bu ikut lg tamasya di hari brikutnya.. trima kasih. Smoga brkenan

03 Oct

Wah, perjalananya keren banget bu, salam bu

03 Oct
Balas

Trima kasih ibu.. smoga brkenan

03 Oct

Hebat bu..semoga sukses selalu

03 Oct
Balas

Aamiin.. trima kasih pak. Sukses jg. Salam

03 Oct



search

New Post