Endah Sri Mulyani

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Separuh atau Sepenuh?

Separuh atau Sepenuh?

Setelah mendapat gelar dari kampus, orang berbondong-bondong mencari pekerjaan yang mumpuni. Mumpuni dalam soal waktu, pengembangan karir, gaji, fasilitas lain dan tetek bengeknya. Alhasil hampir setiap hari berkutat dengan lamaran, wawancara, tes dan observasi. Semua di jalani demi pekerjaan yang diinginkan. Setelah dapat pun orang sibuk cerita sana-sini, ada kebanggaan sendiri ternyata bisa bekerja di perusahaan elite dengan segala embel-embelnya.

Ketika pepatah berkata bahwa proses selalu sejalan dengan hasil, itu tidak semata-mata hanya cerita. Terbukti pula dengan lingkungan kerja yang kita geluti. Ketika semua yang kita ingini di dapat dari pekerjaan kita hari ini, ada hal lain biasanya yang harus mau kita korbankan. Waktu. Ya waktu. Karena biasanya untuk pekerjaan yang seperti itu cukup menguras waktu dari pagi sampai petang. Bahkan tak jarang kita tak tau kapan mentari muncul karena sibuk di depan meja dalam gedung yang menjulang.

Untuk para lelaki mungkin tidaklah jadi soal. Mencari nafkah bagi lelaki jadi kewajiban, karena itu apapun resiko yang di dapati akan coba ia jalani sekalipun itu harus menggadaikan waktu. Alhasil pengembangan karir lelaki terlihat begitu signifikan bila di banding dengan wanita kebanyakan. Lalu bagaimana nasib wanita, terlebih ketika dia punya balita. Karena setinggi-tingginya wanita berkarya dia tidak kan lupa dengan kodrat alamnya sebagai wanita.

Konflik kerja-keluarga. Di alami wanita ketika dirinya berada di sisi harus bekerja dan mengurusi keluarga. Perang batin di mulai ketika dia harus memutuskan mana yang harus di pilihnya. Karena menjalani 2 peran sekaligus tidaklah mudah pemirsa. Rasa lelah setelah bekerja dan harus mengurusi pekerjaan rumah membawa feel tersendiri. Belum lah suami yang harua di urusi, anak yang juga minta di perhatikan, rumah yang harus di bereskan, dan yang lain-lainnya yang tak terungkapkan.

Mau berhenti bekerja, sayang. Tetap bekerja dengan menitipkan anak, merasa bersalah. Suami tidak terurusi dengan baik, sedih. Rumah berantakan tiap hari, ngedumel. Pulang terlambat karena ada meeting, uring-uringan. Lah piye toh? Belum lagi atasan yang suka seenak jidatnya ngasih job tambahan di waktu pulang, ngelumer hati ini rasanya ibu-ibu bapak-bapak.

Bukan tanpa alasan ketika kemudian istri ikut bekerja. Karena bukan masalah apa yang lebih baik dari yang mana. Kita toh tak bisa bilang menjadi ibu berkarir adalah salah 100% atau menjadi ibu rumah tangga tulen itu adalah sebaik-baiknya pekerjaan. Karena semua tergantung dari sudut pandang kita memandang dan prioritas mana yang sekarang sedang di kedepankan.

So, baiknya kita mulai mencari dan memutuskan kemana akhirnya kita melangkah. Karena menjadi yang "separuh" itu tidak kan sepuas ketika kita menjadi yang "sepenuh". Semoga tulisan ini dapat menjadi pencerah bagi ibu-ibu yang saat ini sedang galau merana. Aamiin.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Buat berpikir kembali ya. Luar biasa.

13 Jun
Balas

Betul pa. Hehe..

13 Jun
Balas

Betul bu, hidup guru!

13 Jun
Balas

Dilema ibu bekerja. Bersyukur menjadi guru karena bekerja hanya setengah hari. Anak-anak dan suami tidak terabaikan dan rumah tetap terurus.

13 Jun
Balas



search

New Post