Mengulik Masalah Seputar Pembelajaran Daring (Bagian 1)
Tantangan hari ke 63
Hari ini, perasaan saya kacau. Berbagai perasaan teraduk menjadi satu. Itu terjadi setelah saya sarapan berita dan status pagi hari. Pertama ketika saya menemukan judul berita dari portal berita liputan6.com. Judulnya: Kemendikbud Minta Pembelajaran Daring Jangan Dipersulit. Di sana Mendikbud mengingatkan kepada guru-guru untuk tidak membebani siswa dengan beban yang berat. Saya sepakat dengan apa yang disampaikan mendikbud. Mengingat pembelajaran daring ini memang sarat dengan masalah, sejak awal.
Pembelajaran daring ini melibatkan tiga unsur utama. Guru, siswa dan orangtua. Pembelajaran daring meskipun obyek utamanya guru dan siswa, tetapi peran orang tua juga sangat penting terutama untuk siswa SD. Beberapa teman yang putranya duduk di bangku SD dan SMP mengeluh. Saya seperti menjadi guru di tiga jenjang, SD, SMP dan SMK, katanya. Bagaimanapun orangtua akan menjadi guru pengganti bagi putra putrinya. Maka tak heran, ketika orangtua sudah merasa kewalahan, mereka akan mengeluh. Dan lagi-lagi, guru menjadi sasaran.
Seorang netizen mengkritik guru yang menurutnya terlalu membebani siswa dengan tugas-tugas yang berat. Dengan bahasa yang kasar dia mengatakan, tugas-tugas level kognitif itu tidak akan bermanfaat bagi siswanya. Ada lagi netizen yang mengeluhkan tugas guru tidak hanya membebani siswa tetapi juga orangtua yang harus menyiapkan kuota dalam kondisi serba sulit ini. Maksud si penulis tentu hanya ditujukan kepada oknum guru, tetapi penyebutan guru di sini membuat banyak orang yang berang karena terkesan nggebyah uyah.
Sebagai guru saya tidak membela diri. Saya menerimanya sebagai pembelajaran. Pandemi ini adalah masalah kita semua dan harus diselesaikan bersama-sama. Saling menyalahkan dan menghujat bukanlah tindakan yang tepat.
Salah satu pemicu munculnya masalah ini adalah ketidaksiapan sebagian guru memgelola pembelajaran daring. Sebagian berarti ada yang siap dan ada yang tidak siap lo ya. Mengapa guru tidak siap? Pertama karena guru tersebut tidak atau belum pernah mencobanya. Guru tidak mengenal aplikasi pembelajaran daring karena tidak ada yang memfasilitasi untuk mengenal dan mencobanya. Sebagai ilmu baru, penggunaan aplikasi pembelajaran daring ini perlu disosialisasikan dan dilatihkan kepada guru-guru terutama yang tinggal di pinggiran.
Bukankah bisa mengikuti pelatihan? Inilah masalahnya. Di daerah pinggiran, guru sulit sekali mengakses pelatihan. Ini adalah PR besar bagi kementrian pendidikan. Selama ini guru mengikuti pelatihan karena guru membutuhkan sertifikat sebagai syarat kenaikan pangkat atau portofolio. Jadi ikut pelatihannya pun berorientasi pada sertifikat bukan berorientasi pada ilmu yang dibutuhkan. Semoga hal ini menjadi pemikiran pak menteri di kemudian hari.
Permasalahan kedua adalah sarana pembelajaran daring tidak mendukung. Sekali lagi di sini saya menyoroti permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat di daerah pinggiran. Sarana pendukung utama pembelajaran daring adalah akses internet. Aplikasi seringan apapun perlu akses internet. Bila sinyal sambung putus, bagaimana mungkin bisa akses internet. Selain sinyal yang kurang bagus kemampuan untuk membeli akses internet (melalui pembelian kuota) tidak merata. Artinya tidak semua keluarga mampu membelinya. Jerit tangis wali murid yang dituangkan dalam status sudah mulai berseliweran di media sosial beberapa hari terakhir ini.
Hal ini sejalan dengan paparan Mulya, gurusianer dari Tangerang yang mengunggah tulisan berjudul: Pembelajaran Daring Membutuhkan Biaya Besar, Mengapa? Pada tanggal 3 April 2020. Di sana, Mulya menjelaskan panjang lebar tentang borosnya kuota umtuk mengikuti pembelajaran daring. Bisa dimaklumi bila dalam kondisi serba sulit ini, dimana kehidupan ekonomi tersendat, pengadaan kuota menjadi sebuah problema. Ini adalah PR kedua yang harus diatasi.
Kita harus menghadapi masalah ini dengan berbesar hati dan bijaksana dalam menentukan sikap. Berbesar hati disini adalah ikhlas menerima keadaan. Ini semua adalah fakta yang tidak bisa diingkari. Maka tidak ada gunanya saling menyalahkan. Justru sebaliknya, kita harus saling mendengarkan. Pemerintah mendengarkan keluhan rakyatnya. Guru mendengarkan keluhan siswa dan orang tuanya. Orangtua juga mendengarkan keluhan anak dan guru.
Dengan demikian, diharapkan hati kita menjadi jernih sehingga kita dapat melihat masalah sesuai porsinya. (Bersambung)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Setuju bu, bukan di daerah pinggiran saja tapi di kota juga ada, dengan situasi sekarang semoga semua guru menyadari kekurangannya menguasai aplikasi pembelajaran online dan pemangku kepentingan menyadari tanggung jawabnya untuk meng-upgrade kemampuan guru dan selalu meng-update Pengetahuan guru,...
Betul pak Menurut saya juga begitu