Endah Wijayanti

Endah Wijayanti used to be a secretary to Vice President of PT Artawa Indonesia.She moved to another company, as a secretary of Nippon Steel Corp. Currently sh...

Selengkapnya
Navigasi Web
Cerita di Balik Gubuk Tua (3)

Cerita di Balik Gubuk Tua (3)

#TantanganGurusiana

Cerita di Balik Gubuk Tua (3)

Bagian 3

 

Pagi ini cerah. Matahari menyembulkan sinarnya dari balik tirai rumah bu Afifa. Nampaknya ia sedang  melakukan aktifitas mengajar jarak jauh. Wanita itu baru saja mendapat laporan dari guru lain yang mengatakan bahwa Andri tidak mengerjakan tugas hari ini. Bu Afifa menghela nafas. Memikirkan apa yang  akan ia lakukan untuk anak didiknya yang satu ini. Ia mencari nomor di ponsel, kemudian  mulai mengetik dalam whatshap.

“Andri, kenapa hari ini tidak ikuti pelajaran? Kan sudah janji tak akan telat. Tapi hari ini kok malah tidak ikut pelajaran?”.

Bu Afifa menyorongkan matanya, melihat ada balasan pesannya.

    “Maaf, bu. Saya  orang tuanya Andri. Ini saya yang pegang, karena hari ini lagi  dipakai untuk ngojek.”

“Oo, saya pikir ini dengan Andri. Tidak apa Pak. Bagaimana dengan Andri?”

     “Maaf, saya ibunya. Andri tadi ke rumah sakit. Maaf, Bu.”

Bu Afifa terkejut mengetahui   hal itu.  Kemudian ia meminta alamat rumah Andri  pada ibunya. Sekejap ia perhatikan alamat yang ditulis ibu Andri. Lalu dibukanya google map di ponsel.

Bu Afifa terlihat manggut-manggut. 

Setelah selesai mengajar jarah jauh, bu Afifa  bersiap ke rumah Andri.

Dengan diantar pak Sobri, supirnya, wanita itu bergegas menuju alamat yang dimaksud. Sebelumnya ia mampir dulu ke sebuah toko buah segar di pinggir jalan untuk membeli  beberapa  kilo buah apel dan jeruk.

Perjalanan dilewati dengan penuh tanda tanya dalam hati. Mobil mulai menyusuri jalan  kecil. Wanita itu  sedikit  khawatir bila nantinya akan  masuk ke sebuah gang kecil. Matanya terus melihat jalan sekitarnya, sementara supirnya masih merinci petunjuk jalan dari google map di ponselnya.

Benar saja, ternyata ia harus turun di pinggir jalan karena mobil tak bisa masuk gang kecil tempat Andri berada.  Bu Afifa memperbaiki  maskernya, lalu turun dari mobil. Ia melanjutkan pencarian alamat melalui ponselnya dengan berjalan kaki.

Sebuah rumah gubuk kecil  berdinding bilik bambu berdiri diantara himpitan tembok tinggi, rumah disamping kanan kirinya. Bu Afifa akhirnya  menemukan tempat yang ia cari setelah bertanya pada orang di sekitar tempat itu.

 

“Assalamu’alaikum.” Suara wanita itu agak keras. Berharap penghuninya bisa mendengar.

   “Wa’alaikum salam,” balas suara dari dalam rumah. Ada tangan mungil yang membukakan pintu.

“Ini rumahnya Andri?”  Bu Afifa merendahkan tubuhnya agar bisa menyentuh tubuh mungil itu.

      “Iya. Kak Andri lagi sakit.” Suara bocah kecil itu terdengar lebih nyaring, sambil mempersilakan masuk.

Bu Afifa meletakkan buah-buahan yang ia bawa, di atas sebuah meja di ruang depan. Ia memperhatikan isi ruangan itu. Hanya terlihat dua ruangan. Ruang depan yang berfungsi sebagai dapur dan ruang kamar. Matanya menerobos mencari seseorang. Di sebuah  tempat tidur   berukuran tidak begitu besar, terbaring anak laki-laki bertubuh kurus.

 Andri terkejut melihat kedatangan wali kelasnya.

      “Maaf, Bu keadaan kami seperti ini.” Andri  gugup . Sementara kedua adiknya asyik dengan mainan mobil-mobilan kecil yang  terbuat dari plastik.

“Ibu berkunjung  karena kangen sama Andri. Apa yang dirasa, Ndri?” Suara bu Afifa terdengar sejuk.Tangan wanita itu meraba dahi remaja yang tergeletak lemah.

    “Nggak apa-apa, Bu. Ini udah biasa. Saya sering seperti ini.  Saya  baru pulang dari  rumah sakit, Bu.”

Nampaknya bu Afifa memaklumi Andri yang  masih belum mau bercerita banyak tentang sakitnya.

Wanita itu melihat sekeliling kamar. Nampak sempit, kotor dan  tak terawat. Air matanya mulai menetes. Ia baru melihat keadaan Andri yang sebenarnya.

“Andri , kenapa waktu itu  tidak mendaftar  ikut KJP?”

    “Saya ketinggalan berita,Bu. Telat. Maaf.”

Bu Afifa  merasa bersalah. Ternyata ada siswanya yang perlu mendapat perhatian, telah luput dari pandangannya.

    “Nggak apa, Bu. Sebentar lagi saya juga segar lagi. Ini hanya lemas karena lelah tadi menunggu lama di rumah sakit.”

Andri nampaknya tak mau membuat wali kelasnya cemas.

Bu Afifa menggeser kursi dan duduk di dekat pembaringan. Andri duduk di pinggir tempat tidurnya. Tak lama mereka terlihat  sudah asyik berbincang-bincang. Bu Afifa pandai membuat keadaan menjadi hangat. Andri mulai  bercerita. Tentang ayahnya yang sudah lama tak pulang, tentang ibunya yang mencari uang dengan menjadi buruh cuci, tentang  seorang tetangganya yang menyewakan  motornya untuk dijadikan ojek motor.  Biasanya seusai pembelajaran jarak jauh (PJJ), Andrilah   yang ambil posisi menjadi tukang ojek. Tapi karena hari ini Andri ke rumah sakit, ibunya menggantikan posisi menjadi ojeg setelah mencuci di rumah tetangga.

“Andri, ini ada ponsel tak terpakai di rumah. Andri pakai, ya. Gunakan untuk PJJ.”

Andri terkejut. Bu Afifa menggapai tangan kanan Andri, untuk menerima benda kecil itu. Kedua bocah kecil yang duduk di lantai  ikut memperhatikan kakaknya yang sedang  menerima ponsel pemberian. Seakan mengatakan, “aku juga mau...”

Bu Afifa tersenyum melihat  Andri yang tersenyum  bahagia.

    “Terimakasih, Bu.”  Andri mencium tangan bu Afifa.

    “Sekarang saya merasa nyaman dan ingin cerita tentang penyakit saya.”

“Iya, silakan.” Bu Afifa menjawab santai. Senyumnya terus menghiasi wajah manisnya.

    “Saya rutin  harus transfusi darah, Bu.”

Bu Afifa menyembunyikan rasa kagetnya. Ia berusaha tenang siap mendengarkan  cerita  siswanya.

“Sabar, ya. Andri sakit apa?”  Tangannya mengelus kepala remaja itu.

    “Thalassemia, Bu.” Andri menjawab sambil menggenggam ponsel pemberian gurunya. Diperhatikan bentuk ponsel itu. Wajahnya terlihat berbinar. Kemudian ia melanjutkan lagi cerita tentang penyakitnya.

Mata bu Afifa kembali berkaca-kaca.

    “Ibu jangan sedih. Saya aja gembira. Liat deh, wajah saya mulai tak pucat lagi, kan? Tadi saya hanya butuh istirahat sebentar, Bu.”

“Iya, Ndri... Eh iya, Ibu bawa apel dan jeruk. “

Kedua adik Andri berhamburan, berebut mengambil tas plastik berisi buah yang terletak di atas meja kayu.

“Nah, makan jeruknya ya... Apelnya mau di kupas?” Wanita itu segera menghapus air matanya.

         Tak terasa mereka sudah ada di ujung senja. Matahari sudah mulai merunduk, menempatkan bayangan senja .

Sebelum bintang dan bulan menempati posisinya, wanita itu siap beranjak pulang.

“Pak Sobri pasti lelah menunggu,” ucapnya dalam hati.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap

12 Dec
Balas

Mantap

12 Dec
Balas

Guru yang luar biassa

09 Dec
Balas



search

New Post