Endah Wijayanti

Endah Wijayanti used to be a secretary to Vice President of PT Artawa Indonesia.She moved to another company, as a secretary of Nippon Steel Corp. Currently sh...

Selengkapnya
Navigasi Web

KASIHMU TAK PUDAR DITELAN MASA

#TantanganGurusiana

KASIHMU TAK PUDAR DITELAN MASA

 

          Kemilau senja  yang mulai menampakkan keindahannya, terlihat dari sela pintu samping  yang setengah terbuka. Selesai melipat pakaian yang baru saja diambil dari jemuran, aku melangkah ke arah meja setrikaan. Tanganku menggapai box terbuka,  menyiapkan tempat untuk meletakkan pakaian yang akan kusetrika. Aku sedikit terkejut ketika tiba-tiba mendengar suara telpon berdering keras. Suara ibuku  dari seberang  seperti menahan tangis. Setelah mendengar sedikit penjelasannya yang agak tersendat, aku bergegas  ke kamar, membisikkan ke telinga suami yang sedang  merebahkan badannya setelah pulang kantor. Kemudian memanggil kedua bocah yang sedang main di luar untuk segera mandi.

          Semua sudah siap untuk berangkat ke rumah  orangtuaku. Aku duduk terdiam, disamping suami yang sedang mengendarai mobilnya. Sementara kedua anakku asyik bercanda di kursi belakangku. Perjalanan  yang biasanya kulalui dengan nyaman, kali ini terasa menyesakkan. Berulang membathin, kapan sampai tujuan.

          Satu setengah jam kami habiskan dalam perjalanan. Kakiku melangkah panjang, menggendong si bungsu, sementara suamiku beriringan berjalan dengan anak pertama kami. Mendekati rumah orangtuaku, seakan semua mata memandang ke arah kami.  Air mataku mengalir saat melihat ayah terbujur kaku, rebah di peraduannya. Tak ada tanda, tiba-tiba ia tersedak di kursi santainya di depan TV. Pikir ibuku, hanya tersedak biasa, namun setelah diperhatikan beberapa saat, tak ada gerakan lagi dari tubuhnya. Dokter yang datang ke rumah mengatakan ayahku meninggal karena serangan jantung.

Sepertinya ibuku belum begitu menerima kepergian ayah yang begitu mendadak. Melihat  kondisinya,  aku harus mendampingi. Ibuku harus tinggal bersama kami.

Hari-hari kami bersama ibu masih biasa saja. Tapi beberapa kali kulihat ibu termenung. Entah apa yang sedang dipikirkan, yang  pasti ia masih merasakan kesedihan. Perhatiannya beralih kala mendengar kedua cucunya tertawa atau menangis. Terlihat ada rasa bahagia, saat ia  berhasil mendiamkan si adik yang menangis karena  tangan usil kakaknya. Badannya memang tak sekuat dulu, namun semangat membantu mendiamkan anakku  saat menangis, perlu diacungkan jempol. Dia memang tak suka melihat anak menangis. Berbagai cara akan dicoba untuk mendiamkan. Itu yang juga dilakukannya saat aku kecil.  Kasihnya pada anak-anakku mengingatkan dan membuka kenangan di masa dulu.  Betapa pandai ia  mendamaikan hati saat aku merajuk, menangis dan dari sikap memberontak. Dengan kasih sayangnya, ia membentuk karakterku.

 

          Beberapa hari lagi adalah hari ulang tahun ibu. Adik-adikku sepakat memberikan kejutan. Jadilah kami membagi tugas. Adik-adikku membawa sayur, lauk dan buah. Sedangkan aku menyiapkan kue ulang tahun yang dipesan dari salah satu toko kue yang sudah dikenal. Rencana kami begitu rapi. Berharap berjalan sesuai dengan keinginan kami. Membahagiakan ibu di hari kelahirannya.

 

          Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Satu persatu keluarga adikku datang membawa apa yang telah disepakati. Sampai disini kami belum membuka ucapan.  Tak berapa lama, suamiku datang membawa kotak besar berisi kue, dan diletakkan di meja makan. Kami membuka dus, mengeluarkan kue bertulis ucapan ulang tahun yang nampak lezat. Ibu masih memperhatikan dari ruang tengah. Kami siap mengucapkan bersama sambil membawa kue itu. Tapi ibu mendekat. Sepertinya  kaget, lalu masuk ke kamarnya. Kami saling berpandangan, tanpa sepatah kata terucap. Tak lama ibu keluar lagi dari kamarnya, sambil menangis dan sedikit berteriak, menanyakan mengapa kami lakukan ini, mengapa saat ada ayah tak pernah ada seperti ini. Tak satupun dari kami yang membuka ucapan. Keadaannya menjadi tegang. Sebenarnya bukan ini yang kami inginkan. Hari itu menjadi tak seperti yang kami harapkan. Satu persatu adikku pulang. Ibuku masuk ke kamarnya, menutup pintu, dan tak bersuara lagi.

          Beberapa hari setelah itu aku masih diam, tapi pelan-pelan berusaha membuka pembicaran, tanpa  mengungkit kejadian sebelumnya. Ibuku sudah mulai bermain bersama kedua anakku. 

          Saat aku sedang duduk membereskan mainan, ibu mendekat dengan senyum seperti biasanya. Dia minta maaf atas apa yang dilakukan, dan menyadari kekeliruannya. Aku menggapai tangannya, lalu menciumnya. Ia nampak bahagia sekali.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren Bunda cerpenya. Salam literasi

06 Jan
Balas



search

New Post