Endah Wijayanti

Endah Wijayanti used to be a secretary to Vice President of PT Artawa Indonesia.She moved to another company, as a secretary of Nippon Steel Corp. Currently sh...

Selengkapnya
Navigasi Web

Ternyata...

#TantanganGurusiana

Walau masa pandemi, tuntutan tugas bukan berarti berhenti. Bahkan malah tak mengenal waktu usai. Mendekati Sabtu, hati ini berbunga-bunga.

Karena Sabtu kegiatanku jadi santai. Istirahat mengejar-ngejar siswa yang belum bangun, atau yang punya masalah lainnya.

Sabtu siang ini enaknya makan mangga. Air liur seakan menetes melihat banyak mangga ranum bertengger di piring buah yang terletak di atas meja makan. Mungkin karena musim, mangga banyak dijual dimana-mana. Harganyapun jadi tak mahal. Mangga itu kubeli pada abang penjual buah yang lewat di depan rumah yang menjajakan dengan suara lantang.

Mulailah aku mengupas mangga. Setelah itu siap dinikmati. Tapi aku kok jadi teringat putri yang suka sekali mangga. Naluri ibu berkumandang. Mangga yang sudah kupotong dan terhidang rapi di piring, kubawa ke kamar putri yang masih ospek jurusan, online.

Kubuka pintu kamarnya pelan karena takut mengganggu. Ternyata di dalam kamar putriku bukan sedang duduk tenang. Kudapati ia tengah bergaya sesukanya sambil menyanyi. Ada earphone melekat di kedua telinganya. Mungkin sedang ditugaskan bergaya seperti itu, pikirku. Tapi kok terlihat gembira sekali. Dia hanya tersenyum melihat apa yang kubawa. Jarinya menunjuk meja kecil di kamarnya. Kuletakkan sepiring magga di meja kecil itu. Lalu keluar dari kamarnya.

Sorenya, kami berbincang-bincang di ruang tengah.

Dia baru cerita, tadi siang itu sengaja tak mau mengikuti instruksi psikiater, katanya.

Ada apa dengan psikiater?

Ternyata ada sesi, dimana masuklah seorang psikiater dalam zoom virtual ospek. Tujuannya menenangkan para mahasiswa untuk semangat menerima tugas-tugas yang harus dikerjakan. Sebelum memberi motivasi, psikiater itu mengucapkan kalimat seakan merasakan penderitaan mahasiswa yang diberikan tugas bertumpuk. Bayangkan, sehari bisa 7 tugas yang harus diketik, disamping itu ada lagi tugas praktik. Belum lagi adanya ketidaknyamanan di rumah karena sering dimarahi ibu yang seakan tak mengerti betapa berat tugas. Seenaknya menyuruh menyelesaikan tugas bersih-bersih rumah atau lainnya. Dan banyak kalimat lagi yang diucapkan bagaikan rentetan tembakan berlaras panjang.

Kalimatnya pelan tapi seakan menusuk, hingga banyak mahasiswa yang menangis tersedu.

Apa yang dilakukan putriku? Dia malah tak merasakan ketidaknyamanan itu, katanya. Makanya saat psikiater melanjutkan kalimat, putriku mute zoom dan tutup video dirinya, lalu mengambil headset dan asyik berkaraoke. Kok bisa? Dasar bocah tengil.

Dengan air muka ceria, sambil tertawa dia katakan, " semua yang diucap psikiater itu berlaku buat mahasiswa lain.Bukan buat aku."

"Kan tugas-tugas yang dikerjakan sama. Memangnya apa yang diucapkan?" Selidikku.

"Ma, tiap ada tugas selalu cepat aku kerjakan. Makanya aku lama gak keluar kamar, kan?"

"Nah, itu mirip denganku", kataku dalam hati.

" Kan tiap hari banyak tugas, malah bisa sampai 7 tugas dalam sehari. Langsung aku tuntasin, makanya aku sering selesai duluan," katanya santai.

Aku manggut-manggut mendengarnya.Cekatan juga, pikirku.

"Tapi kalau malam sering ngobrol sambil tertawa, itu bicara sama siapa?" tanyaku.

"Sama teman-teman yang lagi ngerjain tugas. Aku udah selesai, jadi aku gangguin," ucapnya sambil tertawa.

"Gini lho Ma..., aku kurang suka sama ucapan psikiater yang bikin orang jadi sedih. Teman-temanku lagi tertekan, makanya mereka nangis. Pokok masalahnya, sebenarnya bukan tertekan karena tugas, tapi karena kondisi di rumahnya. Ada banyak tekanan yg dirasakan di rumah. Ibu mereka yang suka marah, keadaan rumah yang tak nyaman, ...banyak lagi, Ma."

Kalimatnya kerasnya membuat aku tercengang.

"Aku kan di rumah tak pernah dimarahi. Aku bisa suka-suka. Aku tak merasa tertekan. Makanya bisa enak ngerjain tugas. Aku bisa nyanyi sepuasnya, sekeras-kerasnya. Aku bisa keluarin hobiku tanpa di larang." Nada suaranya melemah.

Aku hanya terdiam mendengarkan celoteh panjangnya.

Disini aku juga baru memahami, ternyata seperti itu. Lewat ceritanya, dari yang dia rasa, dia terima, dia lakukan, aku malah jadi belajar untuk mengerti dan merasakan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post