Endang Ade Rustandi

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Tak Sanggup Kehilanganmu, Nak

Tak Sanggup Kehilanganmu, Nak

Tak Sanggup Kehilanganmu, Nak

Oleh: Endang Ade Rustandi, S. Pd.

Selesai solat Dzuhur, kami sekeluarga berencana naik Commuter Line menuju Stasiun Bekasi Timur, dari rumah, Kami terburu-buru, takut ketinggalan kereta. Sampai di Stasiun Cikarang, anak-anak terlihat senang, karena baru kali ini mereka naik Kereta. Apalagi si ganteng Fathir. Saking antusiasnya, dia tanya ini itu, lari sana, lari sini bersama si Cikal Kanaya yang super aktif. Sampai tiba di loket karcis, tanpa sepengetahuan, Fathir, anakku menghilang dalam sekejap. Seketika itu pula, dunia seolah-olah terbalik 360°, darah mengalir deras, lemas tak berdaya, ditambah si Cikal Kanaya berlari-lari membantu mencari adiknya, tambah kalut, ditambah si Bunda hampir nangis histeris sambil memanggil anak kami, si ganteng, Fathir.

Suasana Stasiun Cikarang yang ramai, mendadak sunyi seketika, tak terdengar apa pun, hanya gumaman orang-orang, berbicara, tak terdengar oleh telinga. Mulut hanya memanggil-manggil anak kesayangan, bocah kolok yang selalu mendekap ke dada saat tidur, selalu manja di setiap saat. Fathir.

Kulihat, istri yang dari tadi nangis, sambil menggendong si bungsu cantik Kaysha, kesana kemari, sambil menanya keberadaan Fathir. Kulihat juga tubuhnya hampir tumbang dilanda kecemasan yang hebat. Sementara, si Bungsu menangis, meronta-ronta, pikiran saat itu bertambah kalut, kacau yang berhamburan.

“Fathir .... Fathir ....”

Entah berapa kali, nama itu terus menerus dilontarkan.

****

Belum reda kekacauan pikir melanda, dengan sigap tubuhku merangkul tubuh mungil, si Cikal Kanaya yang dari tadi membantu mencari adiknya. Sambil menanyakan adiknya, kulihat di wajah polosnya ada rasa khawatir, kutangkap pikirnya, seolah-olah ingin menanyakan dimana adiknya. Sebelum banyak pertanyaan dari mulut mungilnya, langsung kugendong sambil meneriakkan kembali satu kata yang kuukir bersama istriku, nama yang punya arti putih dan suci, kesucian hati dan batin, nama yang sudah kuberikan bubur merah dan bubur putih, nama yang sudah diaqiqahkan. Nama penuh arti, Fathir.

Di sela rasa terawangku, tak sadar mata pun berkaca-kaca, ingin rasanya teriak sekencang-kencangnya memanggil anak yang selalu manja dalam setiap waktu. Sekilas terbayang tentang kebersamaan kami, bermain bola sambil teriak-teriak, bermain mobil-mobilan, kuda-kudaan, berebut punggungku, si Cikal, Fathir, dan si Bungsu. Indahnya kebersamaan waktu itu.

“Fathir .... Fathir .... Dimana kamu, Nak?"

Semakin kencang suaraku waktu itu.

Kulihat, istriku sudah kelelahan, Kami keluarga disibukkan dengan hilangnya satu jiwa, bocah Soleh yang selalu menghiasi hari-hari dan senyum kami. Fathir, Fathir, terus berulang, berulang, dan berulang sampai kami lelah. Air mata istriku pun makin deras. Orang-orang di sekitar, hanya melihat biasa saja, sesekali mereka bertanya dengan nada biasa, ya biasa, mungkin mereka sedikit peduli. Aku sendiri menenangkan hati, menenangkan istri, menenangkan si Cikal Kanaya yang mulai ikut panik.

Hilang sebagian jiwaku waktu itu.

14.05

Waktu terus berlalu, kami semakin resah, panik yang begitu hebat melanda. Sudah kucari kemana-mana, di sudut loket, di tangga berjalan, di ruang tunggu, di sudut-sudut loket karcis, Fathir tidak ada, Fathir tetap tidak ada. Satpam, petugas loket, tukang bersih-bersih, mereka hanya bilang tidak tahu, dan menggelengkan kepala. Kemana lagi harus mencarimu, Nak?

“Fathir .... Fathir ....”

Air bening itu menggelayuti kembali pelipis mataku, hatiku membuncah hebat, ragaku gemetar tak karuan. Hilang semua tenagaku, pikirku jauh menerawang tentang keberadaan anakku, dimana kamu sayang?

Allah, Rabb yang menggenggam hati, jiwa, dan ragaku, berikan petunjuk dimana anakku. Rabb, aku pasrah kepada-Mu, kembalikan anakku anakku.

Aku hanya tersungkur. Istriku, si Cikal Kanaya, dan si Bungsu, mereka semua sudah kelelahan, bagaimana tidak kelelahan, hampir setengah jam Kami mencari Fathir, dan Fathir pun entah dimana keberadaannya. Pikiranku sudah menerawang jauh, takut anakku, Fathir, diambil orang, diculik, dibawa oleh orang lain, kebawa kereta api jurusan Jakarta, atau jatuh dan tidak diketahui, pikiranku semakin jelek dan tak karuan.

“Fathir .... Fathir ....”

“Dimana kamu, Nak?”

****

Ketika itu, sempat pikiranku, akan melaporkan ke polisi, tapi istri dan anak-anakku bagaimana, mereka benar-benar kelelahan. Aku berusaha menghadap pusat informasi di Stasiun Cikarang itu, mereka mengumumkan tentang berita kehilangan anakku, Fathir. Berulang kali pihak informasi mengumumkan, tapi hasilnya tidak ada. Semakin galau rasaku ketika itu.

"Anakku, Fathir, dimana keberadaanmu, Nak?"

Kembali kulangkahkan kakiku ke pojok loket, istriku yang dari tadi menunggu masih dalam keadaan nangis, si Cikal Kanaya terus memeluk sambil ikutan tersedu, sementara si Bungsu tidur pulas dalam gendongan. Aku makin gelisah, bisa dibilang kacau yang meledak-ledak.

Tanpa pikir panjang, kuputuskan akan menghubungi pihak polisi terdekat. Istriku hanya mengiyakan atas keputusan itu. Aku segera bergegas menuju tangga berjalan di Stasiun itu, ya niat hati akan melaporkan ke polisi. Sebelum itu, sempat menerawang pikirku tentang anakku, Fathir, tentu tentang kebersamaan kami. Tentang canda tawa, tentang kejar-kejaran di rumah yang biasa kami lakukan di sore hari menjelang Maghrib. Seketika makin berkaca-kaca mataku mengingat semua itu. Aku takut, ya takut yang berlebihan atas kejadian ini. Merasa menjadi Ayah yang tak berguna sama sekali dalam menjaga anakku, Fathir.

“Fathir, dimana kamu, Nak?”

“Fathir, Ayah sayang kamu, Nak.”

“Fathir, nanti kita main bola bareng lagi ya.”

“Fathir, nanti Ayah gendong sepuasmu, Nak.”

“Fathir, ayo berenang lagi, Nak.”

“Fathir, mau beli mainan apa? Mobil-mobilan, robot-robotan?”

“Mau beli sepeda, bola tendang, atau mau sandal baru, sepatu baru, atau baju baru?”

Mulutku terus meracau, pikiranku terombang-ambing kemana-mana, badanku sempoyongan tak berdaya, aku seperti orang gila. Ngomong sendiri, senyum-senyum, nangis, teriak-teriak kecil memanggil anak semata wayang yang menjadi penghibur di setiap suka duka.

“Fathir .... Fathir ....”

“Dimana kamu sayang?”

Beberapa saat pikirku, aku memikirkan istriku, si Cikal Kanaya, dan si Bungsu Kaysha, banyak rasa khawatir meninggalkan mereka di lantai dua. Takut terjadi apa-apa kepada mereka. Aku terdiam sejenak. Sempat aku mengurungkan kembali ke pihak polisi, tapi harus bagaimana ini, aku bingung dengan kondisi ini. Pikiranku tak karuan. Banyak hal yang terlintas dalam otakku. Banyak rasa yang memojokkanku. Termenung, berhenti, termenung, berhenti, persis orang bodoh yang tak tahu apa-apa, mungkin juga bisa seperti orang gila, ketika itu.

Sempat terjatuh, karena tubuhku sudah tidak kuat, lelah, lemas. Pikiranku, kondisi badanku melemah drastis, ditambah dari tadi pagi perutku belum diisi apa-apa.

“Fathir, anakku sayang, dimana keberadaanmu, Nak?”

****

Dalam kondisi tubuh sempoyongan, mungkin bisa dikatakan tergopoh-gopoh menuju parkiran motor. Alhamdulillah, sampai juga di parkiran motor stasiun, aku sempat ingin menyalakan motor. Tapi, banyak rasa yang berkecamuk, benar-benar kalut tingkat tinggi. Tanpa pikir panjang, kuurungkan sekali lagi untuk tidak ke pihak kepolisian, badanku balik kanan, bergegas kembali menuju lantai dua Stasiun Cikarang, maksud hati ingin segera menemui istri dan anak-anakku, si Cikal Kanaya dan si Bungsu Kaysha, tapi, apa yang kudapat. Mereka tidak ada. Makin bertambah kalutku. Makin meregang otot-ototku.

Tak peduli badanku yang semakin lemas, aku mencari mereka, sesekali memanggil mereka. Tapi, tak jua bersambut. Istriku, si Cikal Kanaya dan si Bungsu Kaysha, Mereka menghilang, tak ada di tempat semula.

Kusisir kembali bagian dinding kaca lantai dua, mereka pun tak ada.

Jaket Ungu

Dalam langkah lemah, aku terus berharap pada Yang Mahakuasa, agar segera dikumpulkan kembali.

“Rabb, pertemukan kami, hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.”

Berharap penuh Fathir segera ditemukan.

Dalam pikiranku yang masih menerawang kemana-mana. Aku berhenti sejenak, menumpukan dengkul ke lantai seperti hendak sujud. Di mataku masih ada sisa air mata yang hendak menjulur ke pipi, tapi tertahan dengan usapan tanganku. Dalam benakku, Fathir harus ditemukan.

Aku menundukkan kepala, banyak rasa pasrah yang kuungkapkan kepada Allah SWT.

Kuangkat sesekali kepalaku, di atas kepalaku rasanya banyak kunang-kunang yang menghampiri seolah-olah ingin membawaku terbang jauh, melayang bersama angan, bersama asa, bersama mimpi. Di tengah ramainya Stasiun Cikarang, telingaku tiba-tiba tak terdengar apa-apa, pandanganku mengabur, suasana menjadi remang-remang, hanya ada bayangan ungu terlihat, itu pun sedikit jelas. Itu saja.

Ungu?

Ya ungu, pikiranku langsung terbayang ke suasana rumah sebelum kami berangkat menuju Stasiun ini. Fathir yang nangis-nangis ingin memakai jaket ungu. Ketika itu, berebut jaket bersama kakaknya, si Cikal Kanaya, dan dimenangkan oleh Fathir juga, dan diakhirnya, Fathir lah yang memakai jaket ungu itu. Ya benar jaket ungu.

Aku sedikit mengangkat senyum kecil, mataku sedikit lagi kuperjelas dengan warna ungu itu, jelas, jelas, dan jelas.

Sosok mungil terduduk di samping dinding kaca, pandangannya keluar dinding menatap gerbong Commuter Line, sosok mungil itu persis membelakangiku.

Aku semakin semangat menatap jelas dengan warna ungu dan sosok mungil itu. Tiba-tiba darahku mengalir deras, duniaku yang semula terbalik 360° itu, kembali ke 0°, tubuhku yang semula lemah dengan perut kosong ini, tiba-tiba, seolah-olah, terisi seketika, tiba-tiba gelora itu muncul tiba-tiba.

Ya betul, sosok mungil dan jaket warna ungu itu yang membangkitkannya. Kudekati pelan-pelan, dengan penuh doa dan harap kepada Yang Mahakuasa, berharap sosok mungil itu, Fathir.

Sambil merangkak, bangkit dan jalan dengan tergopoh-gopoh menuju sosok mungil itu. Kudengar samar-samar suara tangis anak kecil di tengah ramainya suasana Stasiun. Makin jelas suara tangis itu. Suara itu tak asing bagiku, suara tangis diselingi panggilan sayang yang biasa dilontarkan.

"Ayah, Ayah, Ayah"

"Bunda, Bunda, Bunda"

Suara itu benar-benar tak asing di telingaku. Aku biasa mendengar suara itu. Ya setiap hari, benar setiap hari. Itu suara anak semata wayangku, suara bocah kecil yang selalu memelukku di setiap mau tidur. Fathir. Fathir itukah dirimu, Nak?

****

Benar saja, itu Fathir.

Aku memanggilnya penuh kelembutan, penuh sayang, penuh dengan kata-kata yang biasa dilakukan setiap hari kepada anak-anakku.

Fathir anakku sedang menangis tersedu, kulihat banyak rasa di wajah polosnya, rasa takut yang memuncak, rasa stress yang sedikit lagi hinggap. Aku langsung memeluknya erat, air mataku pun tak tahan bercucuran, mengalir deras. Rasa bahagia, rasa senang, rasa di atas semua rasa, semuanya menjadi akumulasi yang hebat.

Anakku, Fathir, terus memelukku, erat, begitu pun sebaliknya.

"Terima kasih ya Allah, Engkau telah mendengarkan doa-doa dan harapanku."

Rasa akumulasi itu pun, memuncak kembali, ketika istri, si Cikal Kanaya, dan si Bungsu Kaysha menghampiri dari belakang, dan memeluk kami.

Keluarga kecilku, kembali bersatu, mengukir waktu-waktu berikutnya. Alhamdulillah ya Allah.

S E L E S A I

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ya Allah Pak, hati hati. Cerita yang buat haru. Sukses selalu dan barakallah.

04 Feb
Balas

Iya Bu, terima kasih untuk apresiasinya. Aamiin ya rabbal alamin

04 Feb

Saya menangis tersedu sedu.. membayangkan saya yang kehilangan anak saya. Alhamdulillah happy end kisahnya.. sangat menyentuh..

04 Feb
Balas

Alhamdulillah, terima kasih atas apresiasinya, Bu. Itu baru mau kehilangan Bu, apalagi kehilangan sesungguhnya, naudzubillah. Mudah-mudahan selalu dalam lindungan Allah SWT, aamiin ya rabbal alamin

04 Feb



search

New Post