Endang. M. E (eme effendi)

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
EGOISME YANG MERENGGUT NYAWA
gambar hanya ilustrasi, bukan poto kejadian dalam cerita (diambil dari http://jabar.tribunnews.com/2015/04/05/breaking-news-foto-arus-lalu-lintas-macet-di-kota-bandung)

EGOISME YANG MERENGGUT NYAWA

Nampaknya antrian panjang dalam keadaan padat merayap atau bahkan sampai macet total beberapa puluh menit merupakan hal biasa menjadi langganan di ruas jalan Malangbong Jawa Barat. Setiap pulang dari Bandung lebih sering kondisi seperti itu harus saya lalui. Setelah melewati terminal Malangbong, arah Tasikmalaya jalan naik yang cukup tajam dan panjang menanti di depan. Kondisi ini membuat mobil-mobil besar bermuatan berat akan mengalami pelambatan bahkan nyaris berhenti. Anehnya, dalam keadaan seperti itu ada saja sopir yang ugal-ugalan membawa kendaraan tanpa mengindahkan antrian orang lain, seradak seruduk megambil jalan orang lain seenaknya. Prilaku seperti itu tentu akan menambah keadaan semakin tak menguntungkan.

Sore itu, sepulang dari Bandung, pemandangan rutin merayap di tanjakan Malangbong harus siap saya hadapi. Dari bawah kelihatan antrian kendaraan yang merayap bagaikan iring-iringan pawai dalam sebuah perhelatan. Di atas sana, nampak dua truk besar beriringan meraung raung merayap menahan beratnya beban. Seperti sudah refleks, tubuh ini segera memperbaiki posisi duduk agar siap menghadapi segala keadaan yang serba mungkin terjadi. Gigi perseneleng sudah berada pada posisi dua. Belum perlu masuk pada gigi satu, saya tahu persis kondisi mobil tua saya yang masih mampu mengarungi tanjakan tersebut dengan gigi dua dalam keadaan padat merayap. Dalam keadaan lancar, mobil ini masih mampu menempuh tanjakan hingga puncak hanya dengan gigi tiga, bahkan gigi empat gak minta turun. Mobil tua yang saya sayangi oleh karena itu saya rawat sebaik mungkin.

Belum nampak adanya peningkatan kecepatan pada kendaraan di depan, artinya kepadatan kali ini cukup panjang sejak nun jauh di depan sana, bahkan mungkin sampai jalan menurun sehabis tanjakan ini. Dugaan saya penyebabnya tidak lain adalah truk-truk besar yang sering melampaui batas daya muat yang dibolehkan. Akhirnya kendaraan kelelahan menahan beban melebihi kemampuannya. Keserakahan dan ketidak-taatan akan aturan nampak semakin banyak dilakukan manusia di negeri ini. Ketidak-taatan yang berpadu pula dengan keserakahan penegak hukum yang lebih doyan disuap ketimbang menegakkan aturan seperti seharusnya. Lengkaplah.

Dari kaca spion nampak kendaraan di belakangpun tidak kalah panjang. Sementara kendaraan dari arah berlawanan tak kalah banyaknya. Tidak sampai merayap namun cukup banyak, walau sekali-kali ada kekosongan beberapa menit. Tapi justru adanya jeda kepadatan kendaraan dari arah lawan inilah yang justru berpotensi menyebabkan terjadi kemacetan bahkan tidak jarang terkunci untuk beberapa saat. Mengapa demikian? Kekosongan sebentar kendaraan dari arah lawan inilah menjadi celah bagi sopir-sopir yang tidak sabar untuk menyalip kendaraan lain seenaknya. Seperti yang sudah saya kemukakan ketidak-sabaran, ketidak-disiplinan dan prilaku ugal-ugalan di jalanan alih-alih semakin berkurang bahkan kian hari kian bertambah. Entahlah apa memang bangsa ini sedang menujua ke kehancuran prilaku atau bagaimana. Apakah karena kegagalan para pemimpin menampilkan sosok teladan, ataukah ini bukti nyata kegagalan pendidikan dalam membangun karakter bangsa? Sebagai pendidik saya merasakan getaran miris dalam hati menyaksikan keadaan ini.

Ya, tiba-tiba sebuah kendaraan penumpang umum (Elf) menerobos bagian kanan seenaknya. Karena dari arah depan ada kendaraan lain, elf tersebut terpaksa harus masuk menyelinap di depan mobil saya yang hanya ada celah sekitar dua meteran. Refleks rem saya injak pelan dan mobil saya terpaksa menepi hingga melebihi batas aspal jalan, memberi kesempatan agar mobil penumpang itu masuk di depan saya dan mobil dari arah lawan tidak terbendung. Saya hanya bergumam dalam hati, betapa sulitnya menanamkan sopan santun berlalu lintas di negeri ini. Apa yang harus saya lakukan terhadap murid-murid saya agar kelak mereka menjadi manusia disiplin yang tahu aturan dan sopan santun berlalu lintas.

Alhamdulillah, walau merayap, perjalanan tidak sampai macet. Tanjakan hampir habis, namun kondisi jalan belum menunjukkan tanda-tanda kosong. Sampai di penghujung tanjakan, masih nampak kendaraan di depan padat, jarak antar kendaraan masih sekitar satu setengah hingga dua meter saja, bahkan ada yang hingga satu meter. Kondisi ini jika ada kendaraan dari belakang yang memaksa nyalip kemudian ada kendaraan dari lawan arah, akan sulit masuk ke sela-sela di antara dua mobil. Keadaan seperti ini justru yang saya khawatirkan.

Saya menatap spion untuk mengetahui keadaan di belakang. Dari depan sedikit lengang. Astagfirulloh, sebuah mobil Pajero warna putih, nampak menerobos antrian meliuk-liuk di kanan jalan menyalip mobil-mobil lain. Tiba di kanan saya, ada kendaraan sedan dari arah lawan. Pajero putih terhenti tepat sejajar di kanan mobil saya. Tak kuat dalam diam, tak sabar mengatupkan bibir, saya pun sedikit berteriak mengingatkan sopir itu agar sabar antri agar tidak membahayakan orang lain. Namun, sebagai orang tua yang juga adalah guru, saya harus mampu menahan kesabaran saat mendapat jawaban yang kasar dan menunjukkan egosime sopir itu. “kumaha aing we, mobil aing ieuh (terserah saya dong, mobil-mobil gua)” katanya. Saya tidak menjawab apapun karena hanya akan memancing pertengkaran yang akan menambah runyam susasana.

Untung mobil dari depan adalah mobil kecil dalam gerakan pelan sehingga masih bisa menepi, dan sayapun meminggirkan mobil agar pajero putih bisa masuk ke celah di depan saya. Namun apa lacur, setelah di arah berlawanan sedikit kosong, mobil itu kembali ke jalur kanan dan menyalip kendaraan-kendaraan di depannya yang masih padat. Dengan kecepatan seenaknya terus menerobos. Jebred...! tiba-tiba terdengar suara beradunya besi.

Seorang pemuda dengan speda motor matic, terhempas, tertabrak mobil pajero putih itu. Pemuda itu terlempar sekitar 10 meter. Tak ayal jalanan jadi macet total. Mobil putih diparkir di sebelah kanan jalan, agak menghalangi kendaraan dari arah berlawanan. Saya mau turun dari mobil, tapi keadaan tidak memungkinkan. Hanya bisa melihat dari belakang setir. Nampak seseorang memegang pergelangan tangan pemuda itu kemudian menyentuh nadi di lehernya. Sepertinya ia bergumam “Innalillahi wainna ilaihi roji’un”. Ternyata pemuda itu menghembuskan nafas terakhirnya langsung ditempat kejadian. Beberapa orang berupaya mengatur lalu-lintas agar tidak macet total. Teratasi, kendaraan kembali dapat bergerak pelan.

“Innalillahi wainna ilaihi roji’un”. Sebuah kesombongan yang merenggut nyawa telah saya saksikan di depan mata. Banyak dan sering orang bersikap egois mementingkan diri sendiri. Bahkan mungkin tanpa terasa saya sendiri sering bersikap demikian. Banyak orang yang merasa suatu urusan adalah urusan pribadi, orang lain tidak perlu ikut campur. Tanpa disadari egoisme yang katanya urusan pribadi dapat merugikan orang lain. Sebagai mahluk sosial sesungguhnya sedikit sekali (kalau tidak sampai tidak ada) perbuatan yang tidak berkaitan dengan orang lain. Manusia tidak hidup sendiri.

Ciamis, 19 Februari 17

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Saya mrinding Pak membacanya. Pembelajaran yg sangat mahal. Tulisan yang menggetarkan.

27 Feb
Balas

Met malam. terima kasih. sebuah keresahan seorang ruru menyaksikan semakin kacaunya sopan santun lalu lintas saat ini.

27 Feb



search

New Post