Endang Siwi Ekoati

Saya adalah seorang guru yang ingin terus belajar hingga maut menjemput. Belajar adalah kegiatan yang menyenangkan. Begitu pula mengajar.Terlebih ketika m...

Selengkapnya
Navigasi Web

Antara INTERTEKSTUALITAS dan DUPLIKASI

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering terinspirasi oleh pendapat dan ucapan seseorang. Dalam ilmu sastra, kita mengenal istilah intertakstualitas. Tidak ada sebuah teks yang sungguh-sungguh mandiri, itulah intertekstualitas. Artinya, proses penciptaan teks selalu dapat dirunut hubungannya dengan teks-teks lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya, termasuk sastra. Karya sastra itu merupakan respon pada karya sebelumnya (Teeuw, 1983:65). Oleh karena itu, sebuah teks tidak dapat dilepaskan sama sekali dari teks lain. Sebuah karya sastra baru mendapatkan maknanya yang hakiki dalam kontrasnya dengan karya sebelumnya (Jabrohim, 2012:173).

Karya sastra, puisi maupun prosa selalu mempunyai hubungan kesejarahan antara karya sezaman, dengan yang mendahuluinya atau yang kemudian. Hubungan sejarah ini berupa persamaan atau pertentangan. Oleh karena itu, untuk memahami sebuah karya sastra akan selalu dihubungkan dengan karya sezaman, sebelum atau sesudahnya. Misalnya saja beberapa sajak Chairil Anwar mempunyai hubungan intertekstual dengan sajak-sajak Amir Hamzah. Hubungan intetekstual itu menunjukkan adanya persamaan dan pertentangan dalam hal konsep estetik dan pandangan hidup yang berlawanan.

Setiap teks mengambil teladan, kerangka, atau hal-hal bagus lain berdasarkan tanggapan-tanggapannya dan diolah kembali dalam karyanya atau ditulis setelah melihat, meresapi, menyerap hal yang baik secara sadar maupun tidak sadar. Setelah menanggapi teks lain kemudian mentransformasikannya ke dalam karyanya, dengan gagasan dan konsep estetik sendiri sehingga terjadi perpaduan baru. Konvensi dan gagasan tersebut dapat dikenali apabila kita membandingkan kedua teks tersebut. Begitu pun karya Wiji Thukul yang berjudul “Sajak Orang Kepanasan” karya W.S. Rendra dan “Bunga dan Tembok” Karya Wiji Thukul.

Kedua puisi ini terbit pada tahun 1987 dan 1998 saat wacana reformasi mulai digulirkan. Berangkat dari keresahan yang sama, Wiji Thukul dan W.S. Rendra sama-sama bercerita tentang ketidakadilan, keprihatinan, kesedihan yang dialami oleh orang-orang yang tertindas baik secara ekonomi, politik maupun hukum. Meski gaya pengungkapannya berbeda, gagasan yang disampaikan oleh kedua penyair sama. Mereka berontak karena melihat para penguasa tidak berpihak kepada rakyat. Wiji dan Rendra, sama-sama menyampaikan protes akibat aparat negara tidak bertindak untuk kepentingan rakyat kecil. Jika Rendra membuat puisi dengan bahasa yang lebih halus, Wiji memilih bahasa yang cenderung cenderung kasar dan bernada mengancam.

Intertekstualitas atau duplikasi? Pada tahun 2017 ada seorang anak bernama Afi Nihaya Faradisa yang banyak mendapatkan pujian. Ia mendadak terkenal, disanjung, kemudian dicemooh. Afi sempat menjadi perbincangan tetapi kemudian dihujat karena dituding melakukan plagiasi pada tulisannya, Ia begitu dipuji-puji banyak pihak. Afi juga pernah menjadi pembicara di panggung car free day Jakarta bersama Menkominfo Rudiantara. Afi Nihaya Faradisa sempat juga diundang oleh Presiden Joko Widodo atas prestasinya atas prestasinya. Sayangnya, kebanggaan yang dirasakan Afi tidak berlangsung lama. Para pengguna media sosial menyodorkan bukti-bukti bahwa beberapa tulisan Afi diduga menjiplak tulisan orang lain.

Itu kisah tentang Afi. Akhir-akhir ini lagu “Emang Lagi Syantik” yang dinyanyikan Siti Badriyah juga menjadi pusat perbincangan. Bukan saja karena lagu itu populer dan didengarkan oleh hampir sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun, Sibad, begitu ia disapa, diprotes penyanyi kondang Syahrini. “Syantik" dianggap sebagai jargonnya. Selain itu, Syahrini mengklaim lagu “Emang Lagi Syantik” menyontek lagu “Maju Mundur Cantik” yang tak seberapa sukses. Klaim ini pun banyak ditentang oleh para komentator. Rata-rata menganggap lirik dan irama “Maju Mundur Cantik” jelas berbeda dengan “Emang Lagi Syantik” yang dinyanyikan Siti Badriah.

Kebiasaan “meniru” sudah ada sejak zaman dahulu kala. Pengaruh-mempengaruhi adalah hal yang biasa. Salahkah jika kita meniru gaya atau ide sesorang. Tentu saja tidak karena inspirasi dapat datang dari mana saja. Dalam kaidah ilmiah, mengambil ide orang lain, tidak dilarang. Namun, jangan sekali-kali menganggap ide orang menjadi ide sendiri tanpa mencantumkan sumbernya.

Benarkah kata syantik “milik” Syahrini? Tidak adakah orang lain yang juga menggunakan kata tersebut sebelumnya? Syair lagu, model busana, karya sastra, bentuk usaha, dll, akan saling pengaruh-mempengaruhi. Oleh karena itu, ojo kagetan, ojo gumunan. Itu falsafah Jawa yang masih cocok digunakan di zaman know ini. Ingin tahu artinya? Besok ya...

Intertektualitas atau duplikasi? Silakan dibedakan sendiri. Sampai jumpa…

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantab bana...

24 Jul
Balas

Tulisan zaman kuliah sedikit dimodif Pak..

24 Jul

Luar biasa ....

25 Jul
Balas

Hehe... Trm ksh atensinya..

25 Jul



search

New Post