endas dasiah

Guru di SDN. Cijulangadeg Kecamatan Cikalong Kab. Tasikmalaya. Aktif dalam Gerakan Pramuka. Hobi menulis ditekuni sejak tahun 2016. Beberapa judul cerpen dan ca...

Selengkapnya
Navigasi Web
Anto Si Bocah Laut Part 1
Tantangan hari ke-216

Anto Si Bocah Laut Part 1

Semua makhluk di muka bumi ini terlahir dengan guratan nasibnya. Semua sudah Tuhan bekali dengan rezeki yang tidak mungkin tertukar. Aku sangat yakin hal itu. Oleh karenya, meski keprihatinan ini tak mau beranjak dari kehidupanku, keyakinan akan datang suatu masa di maka keluargaku akan terlepas dari kepedihan hidup, tertanam dalam hatiku . Cercaan, ejekan, dan hinaan kerap tak mampu kuhindari. Apalagi sejak ayahku meninggalkan aku, ketiga adikku, dan ibu. Kehidupan makin tak menentu. Tidak ada lagi yang mengusahakan sandang, pangan, dan papan bagi keluargaku.

Hatiku meronta, jika kulihat air mata ketiga adikku menangis menahan lapar. Ibu, mulai sakit-sakitan sejak ayah meninggal dunia. Sungguh aku tidak tega menyaksikan kepedihan hidup yang mendera.

Sebagai upaya untuk menyambung hidup, aku anak lelaki satu-satunya di keluarga, mencoba melanjutkan mata pencaharian ayah sebagai nelayan. Perahu kecil dan jala peninggalan ayah selalu kugunakan untuk mengais rezeki di hamparan samudra luas. Tak lagi kupikirkan sekolahku. Asaku lenyap. Harapan untuk menggapai cita-cita sirna seketika. Aku berpikir, urusan perut adik-adikku dan ibu lebih penting dari pencapaian cita-cita. Maka, kukubur keinginanku sejak kecil untuk menjadi tentara.

Setiap pagi, saat pemuda seusiaku masih terlelap di balik selimut tebalnya, aku harus menenteng jala menuju ke tepian pantai, di mana perahu kecilku menunggu untuk dikemudikan.

Setelah selesai memandikan, menyuapi, dan menyiapkan bekal ketiga adikku yang akan berangkat sekolah, kutinggalkan ibuku. Kucium tangan beliau. Kumintakan doa keselamatan padanya. Kulihat air mata ibu selalu berurai ketika aku berpamitan untuk melaut kepadanya.

“Sebenarnya, Ibu sangat khawatir, kau harus melaut seorang diri. Jika saja ayahmu masih ada…!” lirih ibu. Suaranya terbata. Selaksa kesedihan menyumbat kata-katanya. Ibuku tak mampu melanjutka ucapannya. Hati ibu masih berkabung, meski kepergian bapak ke syurga sudah cukup lama. Mungkin hal itu, karena keadaan yang kian terpuruk. Keluargaku bak anak ayam yang kehilangan induknya. Kami hidup tak menentu.

“Ibu jangan khawatir, Anto kini sudah dewasa, Bu. Usia anto sudah 17 tahun. Doakan usahaku membuahkan hasil. Anto pergi dulu ya, Bu!” Kucium tangannya. Kumintakan doa restu untuk keselamatanku.

Diiringi hembusan semilir angin darat, kulangkahkan kakiku menuju pantai. Kulepas ikatan tambatan perahuku. Dengan bantuan nelayan lain, kudorong perahu yang hampir usang itu menerjang ombak besar yang siap menghempaskan perahu andai aku tidak tepat waktu mengarungi samudra.

Namanya usaha, bukan mengambil simpanan. Meski sudah kuupayakan semampuku, sering pulang dengan tangan hampa. Tangkapan ikanku tak hasil. Hanya beberapa ekor saja yang dapat kuberikan kepada ibuku. Jangankan untuk mencukupi kebutuhan hidup, untuk dimakan sebagai lauk-pauk dalam menu makan sekeluarga pun tidak mencukupi.

Jika sudah demikian, kerap pikiran kotor menguasai hatiku. Ingin aku protes kepada Tuhan. Mengapa menimpakan kemalangan begitu berat kepadaku? Jika hanya aku yang harus hidup dalam keterpurukan, sepertinya aku kuat. Kasihan ketiga adikku. Mereka masih kecil. Keinginan menikmati jajanan di warung sangat mereka inginkan. Namun sejak ayah tiada, keinginan mereka hanya sebuah asa yang hampa.

***

Pagi ini, seperti biasa aku berangkat ke pantai. Cuaca mendung. Angin berhembus kencang. Gerimis yang sejak semalam mengguyur sekeliling, kini mulai lebat. Suara gemuruh geledeg bersahutan. “Ya Tuhan, sepertinya hari ini aku tidak bisa melaut. Cuaca sangat buruk,” bisikku. Kutengadahkan wajahku ke atas langit. Awan tebal memayungi sekitar pantai.

Perlahan aku terduduk disamping perahu kecilku. Kutatap hamparan ombak yang saling berkejaran untuk sampai ke darat. Tatapanku kosong. Pikiranku berkecamuk antara pergi melaut dan tidak. Dua pertimbangan bertolak belakang bertengger dalam otakku. Jika kuurungkan, adik dan ibu pasti tidak bisa makan hari ini. Jika kupaksakan melaut, belum tentu aku bisa kembali lagi ke daratan.

Dalam kebingungan itu, tetiba tatap netraku tetuju pada benda, jauh di tengah samudra. Benda hitam itu sepertinya bergerak ke arahku. Berkali-kali kugosok kedua mataku untuk memastikan benda apa yang sedang bergerak di atas gelombang air laut di hadapanku itu. Semakin lama, benda itu semakin mendekat. Perlahan mataku mulai menangkap perubahan warna benda itu. Ternyata warnanya hijau berkilauan sangat menyilaukan.

Aku makin penasaran. Sorot tajam mataku semakin terfokus pada gerakan benda itu. Hatiku mulai bertanya, sepertinya benda itu makhluk hidup. Buktinya, gerakannya terarah ke tempatku berteduh. Tak sekejap pun kukerjapkan mataku. Aku tak ingin kehilangan jejak benda itu.

Benda berwana hijau berkilauan itu semakin dekat. Wujudnya makin nyata. Untuk memastikannya, perlahan kulangkahkan kakiku mendekati bibir pantai, hingga menyentuh air laut yang menepi.

Mataku terbelalak. Mulutku menganga. Pekik histerisku membahana. Sungguh aku tidak percaya., menyaksikan benda itu di hadapanku. Aku syok dibuatnya. Hampir saja aku pingsan karenanya.

Bersambung…

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Benda apa itu? Penasaran. Ditunggu lanjutannya

18 Nov
Balas

Makasih kunjungannya.

18 Nov

Benda apakah itu? Sampai-sampai membuatnya hampir pingsan. Mudah-mudahan saja bukan utusan Nyai Roro Kidul.

19 Nov
Balas



search

New Post