endas dasiah

Guru di SDN. Cijulangadeg Kecamatan Cikalong Kab. Tasikmalaya. Aktif dalam Gerakan Pramuka. Hobi menulis ditekuni sejak tahun 2016. Beberapa judul cerpen dan ca...

Selengkapnya
Navigasi Web
Sosok Hitam di Jalan Longsor Tamat
Tantangan hari ke-196

Sosok Hitam di Jalan Longsor Tamat

Kedua tangan Supendi membentuk kepalan. Sangat jelas kulihat raut mukanya tegang. Telingaku pun menangkap suara bergemeretak gigi yang saling beradu. Supendi menahan amarah. Kepalan tangannya hampir menghujam ulu hatiku. Muridku itu benar-benar membenciku. Hatiku mulai dihinggapi rasa takut. Selaksa tanya menyesaki relung hatiku. Kutelisik beberapa perlakuanku padanya tatkala aku menjadi gurunya. Namun ingatanku tak mampu merefres kejadian yang fatal kulakukan. Aku sangat menyayangi semua anak didikku.

Tak kubedakan semuanya. Siswa yang datang dengan penampilan rapi dan bersih kuperlakukan sama dengan sisiwa yang datang bertelanjang kaki, pakaian kumel, rambut semrawut, gigi dan kuku kotor. Menurutku, justru mereka yang keadaannya memprihatinkanlah yang sering mendapat perlakuan khusus dariku. Tak jarang siswa yang kukunya panjang dan kotor, kubersihkan sendiri. Begitu pun dengan siswa yang giginya kuning karena tak sempat gosok gigi. Dengan penuh kasih mereka kubersihkan sambil kuterapkan cara hidup sehat kepadanya.

“Pergi kau perempuan tua! Aku enggan melihat batang hidungmu! Kau telah menanamkan dendam di hatiku! Kau perempuan munafik!” pekik Supendi histeris. Berkali-kali kepalan tangannya mencoba mendaratkan pukulan di tubuhku.

“Supendi, jangan kurang ajar kau! Ini guru kita, masa sih kamu sudah lupa? Dialah yang sangat menyayangimu. Mana ada murid lain yang sering beliau antar ke puskesmas untuk diobati. Apa kamu sudah lupa?” ujar Budiman. Dia meradang. Tentu sang sopir santun itu tak terima atas perlakuan sahabat masa kecilnya itu.

“Apa kau bilang, dia menolongku? Justru dia telah melecehkan aku! Dia mempermalukan aku!” pekik Supendi. Mendengar ceracaunya, tentu aku sangat terkejut. Semua ucapannya di luar dugaanku.

“Maafkan Ibu, Pendi!” ujarku lagi.

“Tidak! Ibu tak perlu meminta maaf! Kau kurang ajar, Pendi!” Budiman meradang kepada Supendi. Dia tak terima aku mendapat perlakuan kurang mengenakkan dari sahabatnya.

“Sudahlah, Nak. Biarkan Ibu meminta maaf kepada Supendi. Bisa saja Ibu telah melakukan kesalahan di masa lalu,” lirihku. Kuhampiri kedua muridku itu. Kupegang tangan Supendi. Netraku tak lepas dari dua bola matanya. Ingin kujelaskan pada Supendi kalau aku tak pernah ada niat melecehkan dirinya.

“Pendi, katakana kesalahan Ibu padamu, Nak! Ibu sudah tua, jika Ibu meninggal sebelum kau maafkan kesalahan Ibu, apa jadinya nanti,” ujarku lemah. Air mata mulai tak mampu aku bendung.

“Jangan pura-pura lupa, Bu! Tidak mungkin Ibu mendadak ambigu ketika aku harus ikut lomba sepak bola di kabupaten. Ibu kan yang melarang keikutsertaanku? Ibu telah meremehkan aku. Ibu menganggap aku lemah! Ibu telah merendahkan aku!” pekik Supendi. Suaranya menggelegar. Kekecewaan sangat jelas terlihat. Aku melongo dibuatnya. Aku baru sadar. Benar, aku pernah menghentikan keikutsertaan Supendi sebagai pemain sepak bola. Tapi hal itu beralasan. Kala itu kondisi Supendi sangat lemah. Sakit asmanya sedang kambuh. Radang di kedua betisnya belum sembuh benar. Ya Tuhan ternyata keputusanku meninggalkan luka hati yang tidak termaafkan.

Jedak, jebred! Beberapa tonjokkan Budiman mengarah pada wajah Supendi. Budiman tak mampu menahan emosi. Dia meradang. Budiman menghujani sekujur tubuh Supendi dengan pukulan telak. Supendi terjerembab. Dia tergeletak di timbunan longsoran tanah. Darah mengucur dari sudut bibirnya.

“Kau kurang ajar pada gurumu sendiri! Kau picik! Kau tak bisa memaknai kasih sayang gurumu! Mestinya kau tahu, keputusan Ibu Guru saat itu demi kebaikanmu. Kau kurang ajar! Kau pantas mendapatkan ini!” suara Budiman meninggi. Dia bersiap melayangkan kembali jotosannya. Namun segera kulerai.

“Hentikan Budiman!” pekikku. Kuusap pundak sopir santun itu. Aku berusaha menenangkan dirinya. Perlahan  kulangkahkan kaki mendekati Supendi. Aku mencoba merengkuh dua tangannya, untuk meminta maaf. Namun di luar dugaanku, ternyata Supendi jongkok dan meraung-raung menangis. Supendilah yang menggenggam tanganku. Dia terisak. Beberapa perkataannya tak mampu aku cerna. Namun, satu kalimat menenangkan hatiku. Sangat lega rasanya. Supendi meminta maaf padaku.

Kuraih tubuh berbalut baju  hitam itu. Kudekap penuh kasih, tak jauh beda ketika dia menjadi muridku. Budiman, mendekap sahabatnya dari belakang. Akhirnya kami pun berpelukan penuh haru.

Tamat.

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi

27 Oct
Balas

Akhir cerita keren yang sanat kutunggu, hari ini baru kutemukan. Mantap ceritanya, Adik!

16 Nov
Balas

Keren Bu.

28 Oct
Balas

Mantap Surantap Bunda

27 Oct
Balas



search

New Post