Aku Hanya Ingin Ibuku
“Aku hanya ingin ibuku tidak pergi ke luar negeri,” mak jleb rasanya kupeluk gadis yang menginjak remaja ini.
Yaaa... ini adalah kisah salah satu siswaku. Sudah beberapa hari aku dengar kabar bahwa dia tidak masuk lagi, kabar ini aku dengar dari guru bimbingan konseling dan teman-teman sekelasnya, gadis manis ini pergi dari rumah dan bergabung dengan anak-anak jalanan yang sudah putus sekolah.
Esoknya aku mencari lagi dikelasnya, dan ternyata dia juga belum masuk. Aku memang butuh anak ini karena meskipun sering melanggar tata tertib, namun dia punya suara emas, sehingga aku membutuhkan untuk kegiatan sekolah. Aku masih sabar menunggu sampai dia masuk, meski beberapa teman menyampaikan bahwa anak ini sudah tidak punya rasa disiplin. Entah mengapa aku tetap yakin bahwa dibalik pelanggaran-pelanggaran yang dilakukannya pasti punya alasan, dan aku ingin sekali mendengarnya.
Alhamdulillah.. hari ini dia masuk, langsung aku panggil dia, aku ajak berdialog di tempat yang jauh dari lalu lalang siswa. Aku tanya, masih maukah mengharumkan nama sekolah, latihan setiap hari, tidak bolos lagi. Dia hanya mengganggukkan kepala tanda setuju dengan permintaanku.
Sesi berikutnya, aku mulai masuk dalam permasalahanya. Aku tanya, “Cantiiikkk...kenapa sih harus bolos, memang masalahmu hanya bisa diselesaikan dengan bolos ya?” dia hanya menggeleng, ku lihat ada butiran-butiran bening di bola matanya.
Lalu aku rengkuh pundaknya,ku dekatkan ke bahuku, “Cerita ge ke ibu, apa yang membuatmu protes seperti ini?”
Jawabnya cukup singkat, “Saya hanya ingin ibuk tidak pergi ke luar negeri, karena bapak juga sudah pergi ke Kalimantan,” spontan ku peluk dia, dan dia menangis dalam pelukanku.
Iya, lagi lagi, seorang anak yang menjadi korban kegoisan orang tua. Seorang ibu yang seharusnya menjadi lautan dahaga bila anak kehausan kasih sayang. Seorang ibu yang seharusnya menjadi ladang amal untuk setiap kesulitan putra putrinya. Seorang ibu yang seharusnya menyiapkan bahu yang tabah untuk menyandarkan segala keluh buah hatinya. Bahkan seorang ibu harus siapkan selaksa alasan dalam hamparan ihlas untuk setiap kebahagiaan anak-anaknya.
Sungguh ironi, bila ada seorang ibu yang meninggalkan rumah untuk mencari rizki demi kebahagiaan anak-anaknya, padahal kebahagiaan itu adalah jiwa dan raga ibu itu sendiri.
Seorang anak lebih membutuhkan kasih sayang dan perhatian daripada berlimpahan harta. Seorang anak lebih senang mendengarkan kidung menjelang tidur daripada berita riuh pikuk pekerjaan ibu di negeri orang. Seorang anak lebih senang mendengar cerita kepanikan dan kekhawatiran ibu bila anak gadisnya terlambat pulang daripada jumlah uang yang sudah dikirimkan via ATM. Karena begitulah nilai seorang ibu dalam pandangan anak.
Semoga kita bisa menjadi lautan tabah dan ihlas untuk kebahagiaan anak-anak kita..Amin
Blitar, 22 April 2019
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar