Masih Ada pelangi (Cerbung 2)
#TantanganGurusiana
Hari ke-26
Pemberitahuan waktu pembelajaran telah berakhir terdengar di setiap lorong sudut kelas, dibarengi dengan turunnya hujan yang cukup deras memecah atap kelas madrasah yang terletak dipinggir desa lereng Gunung Betet ini. Semua siswa berhamburan menuju gerbang, segera ingin kembali ke rumahnya masing-masing.
“Eirel, yuk pulang,” ajak Anggita.
“Kamu pulang dulu ya, aku masih ingin tinggal sebentar di sini sampai hujan reda,” jawab Eirel dengan menatap rinai hujan yang berkejaran di depan kelasnya.
“Baiklah, hati-hati lo, sebentar lagi sekolah ini sepi, memang berani kamu di sini sendiri,” Anggita sengaja menakut-nakuti Eirel agar bersedia pulang bersamanya. Ya, memang, Anggita lah yang selama ini selalu bersedia menemaninya dalam segala hal. Anggita selalu mau diajak melanggar peraturan sekolah, selalu bersedia mengikuti semua permintaan Eirel, bahkan siap dihukum bersama atas semua yang telah dilakukan Eirel.
Dengan uang yang ditransfer oleh ibunya setiap bulan, Eirel memang mampu mencukupi sebagian kesenangan yang tidak bisa dipenuhi oleh orang tua Anggita. Mulai dari bayarin kantin, pulsa, alat-alat sekolah sampai transportasi ke sekolah dan bermain. Bahkan terkadang Eirel juga yang membelikan buku-buku sekolahnya.
Sebenarnya orang tua Anggita sangat tidak suka kalau anaknya berkawan dengan Eirel, karena sejak bersahabat dengan Eirel, banyak masalah yang harus dihadapi orangtuanya dengan pihak sekolah. Bahkan sudah sering dipanggil pihak BK dan peringatan untuk memberi pengawasan yang super ketat untuk Anggita. Namun rupanya Anggita belum bisa melepas segala fasilitas yang diberikan Eirel.
Hujan masih enggan beranjak dari sekolah Eirel. Hujan seakan masih ingin menemani hati Eirel yang tengah dilanda kegelisahan. Eirel keluar dari kelas, ia memandang ke sekeliling ruang-ruang kelas, masih ada beberapa siswa dan guru yang sengaja menunggu hujan reda. Eirel duduk dibangku depan kelasnya, pandangannya merasa damai menikmati jatuhnya hujan yang menyirami bunga-bunga di deretan kelas.
Hujan seakan tahu kalau gadis ini membutuhkan sentuhan lembut pelangi untuk memberi semangat dalam mengarungi kehidupan yang harus ia perjuangkan. Hujan seakan ingin memberi harapan pada keinginan Eirel bahwa setelah hujan ini reda aka ada pelangi yang indah. Eirel juga ingin menceritakan keluh ini pada hujan, karena ia yakin hujan tidak akan menyalahkan dirinya, tidak akan menghakimi dan menghukumnya.
“Eirel, belum pulang? Kenapa?” Eirel terkejut, matanya sedikit terbelalak, tidak disangka tiba-tiba ada sapaan dari belakang.
“Eh, Bu Ani, belum bu,” jawab Eirel
“Ibu boleh duduk di sebelahmu,” Bu Ani merasa ini waktu yang tepat untuk mendengarkan suara hati Eirel. Dari hasil penyelidikan BK, diperoleh data kalau Eirel selama ini tidak diasuh oleh orang tuanya. Meski dalam dalam akta kelahirannya tertulis bahwa mereka itu orang tua kandung, namun faktanya mereka itu adalah nenek dan kakeknya.
“Eirel suka ya, menikmati hujan,” Bu Ani memulai percakapan.
“Iya bu, saya masih ingat dulu waktu kecil senang sekali bermain hujan, meski ibu saya, eh maksut saya nenek selalu memarahi saya,” kenang Eirel.
“Tadi kamu bilang nenek yang menemani kamu di masa kecil? Lalu ibumu?” Bu Ani mulai memancing penjelasan Eirel.
“Iya bu, yang mengasuh saya selama ini kakek dan nenek, orang tua saya tinggal di Kalimantan.”
“Kenapa kamu tidak ikut orang tuamu tinggal di sana?” mendapat pertanyaan seperti itu, tiba-tiba raut muka Eirel sendu, seperti mendung yang tengah mengantarkan hujan sore itu. “Maaf sayang, bukan bermaksud ibu membuka permasalahan di keluargamu ya,” Bu Ani sengaja memotong pertanyaan, karena khawatir Eirel akan marah atau kecewa dengan pertanyaannya.
“Tidak apa-apa bu, saya juga ingin sekali tinggal bersama mereka, namun nenek selalu melarang saya, alasanya karena nenek tidak ada temannya di rumah,” jelas Eirel
“Memang ibumu tidak punya saudara ya nak?”
“Ibu anak tunggal, dan ibu lah penopang semua kebutuhan keluarga kami.”
“Ya teteplah berdoa kepada Allah SWT, memohon agar suatu saat nanti kamu bisa berkumpul dengan orang tuamu,” Bu Ani berusaha menghibur.
“Bu, bolehkah saya bertanya sesuatu?”
“Ya bolehlah, mau tanya apa?” Bu Ani tiba-tiba mulai penasaran, ingin segera mengetahui seluruh gemuruh hati siswa yang selalu membuat masalah ini. Karena ia selalu menyakini, bahwa tidak ada anak yang nakal bila orang dewasa di sekitarnya menyapanya dengan kasih sayang.
“Kenapa Bu Ani tidak membenci saya?” Bu Ani kaget tiba-tiba menadapat pertanyaan seperti itu.
“Eirel, kenapa ibu harus membenci kamu, semua siswa di madrasah sudah ibu anggap anak ibu sendiri, jadi tidak alasan untuk membencinya.” Bu Ani memberi kekuatan dengan merangkul Pundak Eirel.
“Selama ini kan saya selalu membuat ibu capek dengan segala ulah saya,” Eirel merasa bersalah kepada Bu Ani, “Setiap kesalahan yang saya perbuat, ibu selalu membela saya, ibu senantiasa memaafkan saya, ibu juga yang selalu memberi semangat dan nasihat, meski tidak pernah sedikit pun nasihat itu saya laksanakan,” jelas Eirel, kali ini ia benar-benar merasa bersalah.
“Eirel sayang, setiap orang pasti punya kesalahan, dan pasti punya alasan mengapa harus melakukan itu, ibu yakin dalam hati Nurani kamu, sebenarnya tidak membenarkan tentang semua perilaku kamu itu, namun saat ini kamu belum bisa berpihak pada kata hati kamu, Eirel masih nuruti nafsu kamu untuk melampiaskan semua keinginanmu yang belum terlunasi,” Bu Ani menyentuh kepala Eirel yang tertutup jilbab putihnya.
“Ibu juga selalu bisa memahami apa yang saya inginkan, padahal saya belum cerita ke ibu apa yang saya inginkan,” tanya Eirel kagum.
“Kamu salah Eirel, ibu belum paham tentang kamu lo,” Bu Ani mencoba ingin tahu lagi apa yang diinginkan, “Bolehkah ibu tahu, apa sebenarnya yang kamu inginkan, sehingga kamu harus melakukan hal-hal yang merugikan kamu, ibu sangat yakin kamu pasti punya alasan untuk itu, kalau tidak keberatan ibu ingin mengetahuiya dari Eirel sendiri,” pinta Bu Ani dengan penuh hati-hati.
Eirel terdiam, matanya masih memandang curahan hujan, yang sepertinya masih setia menemani curahan hati Eirel kepada Bu Ani. Tatap Eirel juga menerobos air yang semakin deras menjatuhkan ke bumi untuk mencuri pandang, apakah awan masih ingin berkawan kepadanya, menemani ia dan Bu Ani menghabiskan sisa sore ini. (Bersambung)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar