Eni Meiniar

Guru di SMKN 6 Rejang Lebong. Bengkulu. Lahir tanggal 6 Mei 1967. Menyelesaikan pendidikan S2 di Universitas Bengkulu tahun 2015 (Pendidikan Bahasa ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Buku Harian Ayah
Foto dokumen pribadi Eni Meiniar.

Buku Harian Ayah

#HariKe383

#LombaFebruari2021

#Ayah,PejuangKeluarga

 

Buku Harian Ayah

Eni Meiniar guru di SMKN 6 Rejang Lebong Bengkulu

 

 

               Di laci lemari buku di rumah tua ini masih tersusun rapi beberapa buku agenda bewarna hitam kepunyaan Ayah. Terakhir ditulis Ayah pada tahun 2007 saat menjelang kepergian Ayah untuk selamanya. Saya merasa bersalah karena tulisan Ayah yang terakhir tidak di buku agenda seperti tahun-tahun sebelumnya. Sedih rasanya melihat tulisan Ayah di buku tulis yang paling tipis yang Ayah beli di warung.  Ini salah saya karena liburan Desember tahun 2006 saya dan keluarga tidak pulang waktu itu karena ada kesibukan di rumah. Biasanya setiap libur Desember saya membawakan untuk Ayah buku agenda yang bersampul hitam. Ayah sangat suka karena ada kalender baru dan ada kolom hari dan tanggalnya untuk membuat catatan. Ayahku selalu menulis setiap hari di buku agenda itu.

              Ayah adalah sosok hebat di mata anak-anaknya. Ayah yang selalu gigih berjuang untuk keluarga. Membesarkan dan mendidik anak-anaknya dengan praktik langsung tanpa banyak kata-kata. Prinsip hidup Beliau agar anak-anaknya semua bisa menjadi PNS akhirnya terwujud sesuai impian yang Ayah tulis di buku hariannya. Anak laki-laki pertamanya  jadi guru agama, anak ke dua perempuan  jadi Insinyur Pertanian. Anak nomor tiga juga perempuan  jadi guru. Anak ke empat, ke lima, ke enam dan ke tujuh diarahkan  bekerja di bidang kesehatan. Alhamdulillah tujuh bersaudara semuanya menjadi PNS sesuai dengan harapan Ayah.    

                 Ayah dan Ibu adalah guru SD di desa. Saat saya kelas tiga  SD, Ayah menjadi kepala sekolah. Masih kuat diingatan saya waktu kelas kami yang kebetulan gurunya izin, Ayah  masuk ke kelas dan selalu membawa alat peraga yang Ayah buat sendiri dengan bahan-bahan yang ada dan bisa dimanfaatkan. Ayah menjadi guru matematika dengan membawa satu kantung permen memperlihatkan permen warna-warni itu di depan kelas. Kami diperintahkan untuk menebak jumlahnya. Kemudian membagi permen masing-masing dua permen. Beliau bertanya, “Berapa jumlah murid yang hadir di kelas tiga hari ini?” Kami mulai menghitung dengan bersuara keras, “Satu, dua, tiga, …dua puluh lima Pak!”  Kami berteriak bersamaan. “Dua puluh lima kalikan dua itulah jumlah permen yang ada di dalam bungkusan ini.”

                  Ayah memanggil namaku untuk ke depan kelas. Ayah menunjukkan kantung permen yang sudah habis isinya. Ayah memerintahkan untuk membaca tulisan di kantung permen itu. Permen rasa buah isi 50 bungkus. Sampai sekarang masih ingat apa yang Ayah ucapkan di depan kelas waktu itu. “Tulisan ini akan bermakna kalau dibaca.” Setelah jam istirahat Ayah melanjutkan mengajar menyanyikan lagu-lagu daerah. Kami bernyanyi di depan kelas secara bergiliran. Begitu ada murid yang malu-malu bernyanyi biasanya berdiri di belakang papan tulis. Papan tulis waktu itu bewarna hitam, papannya diberi penyanggah, ada lubang-lubang di pinggir kiri dan kanan untuk menaikkan dan menurunkan papan tulisnya. Begitu suara murid yang bernyanyi di belakang papan tulis tidak terdengar oleh seluruh murid. Ayah mengambil kapur kemudian membuat gambar radio di papan tulis. Memutar-mutar volume di gambar radio. Kami tertawa bersamaan. Siswa yang bernyanyi di belakang papan tulis keheranan sambil berlari ke tempat duduknya. Saat jam terakhir kami di ajak ke sungai yang terletak di belakang gedung sekolah. Kami diajarkan cara mengambil wudhu dengan benar. Ayah mempraktikkan secara berulang-ulang dengan urutan yang benar.

                Perjuangan Ayah membesarkan anak-anaknya tertulis semua di buku hariannya. Pagi hari sebelum berangkat ke sekolah kegiatan rutinnya adalah mengambil bubu di sungai yang dipasang sore kemarin. Ada udang, ikan kecil-kecil yang masuk bubu itulah yang dimasak oleh Ibu untuk sarapan pagi anak-anaknya. Pulang dari sekolah ke kebun memetik kopi, mengambil buah kelapa, memetik sayur-sayuran yang ditanam di kebun. Malamnya setelah salat Magrib kami anak-anaknya duduk melingkar dengan memegang Al-Quran masing-masing. Kalimat terakhir yang Ayah tulis, “Ilmu dunia dan ilmu akhirat sudah aku berikan, tinggal bagaimana anak-anakku mengamalkannya.”

 

Bengkulu, 3 Februari 2021.

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Luar biasa media yg dibawanya menarik. Dia menpraktikkan praga agar dikrnang selalu

04 Feb
Balas

Alhamdulillah Mbak. Makasih apresiasinya.

05 Feb

Swmoga menang Bun. Kisah yg luar biasa dr Ayang yg super luar biasa

03 Feb
Balas

Aamiin. Makasih Bu.

03 Feb

Luar biasa bu, semoga menang ya bu

05 Feb
Balas

Aamiin. Makasih Bu.

05 Feb

Sepertix karakter ayahx ibu hampir sama dgn ayah saya yg selalu bersama buku diary dan rajin menuliskan agendax, sayang sekali sy TDK bisa ikut lomba Krn TDK memenuhi syarat no1, semoga ibu bisa lolos , salam literasi bu

03 Feb
Balas

Makasih Bu. Ayah yang selalu berliterasi di sepanjang hayatnya. Salam. Moga bisa ikut di lomba bulan depan Bu. Semangat.

03 Feb

waduh, keren sekali, sukses selalu, infiratif sekali bu.

03 Feb
Balas

Makasih Bu. Kenangan bersama Ayah yang tak terlupakan.

03 Feb

Keren mbak... Sang penulis handal...

03 Feb
Balas

Aamiin. Makasih Bunda.

03 Feb



search

New Post