DIBAWAH PAYUNG KETEDUHAN
Di Bawah Payung Keteduhan
Semburat cahaya matahari senja baru saja melintas di atas awan kotaku. Aku sengaja meluangkan waktu soreku menikmati sore di bibir pelabuhan Tanjung Tembaga. Kusapa sore ini dengan sejuta harapan esok hari akan lebih baik dari hari ini. Ah….. andai saja semua tidak berubah secepat ini mungkin Aku tidak terlalu sedih seperti ini. Andi saja orang tuaku mau menyetujui semua rencanaku dengan kekasihku mungkin tak aka nada derita sore seperti ini. Ah …. andai saja. Aku tak mungkin berandai-andai lagi. Hidup yang kujalani nyata….. dan impian belum terjadi. Tak terasa air mataku menetes membasahi pipiku yang sudah terbiasa menjadi tumpahan air mataku. Ingin kuteriakkan namamu tapi aku tahu itu tak akan berarti. Namamu masih terukir indah di hati tapi samar-samar tidak bisa terbaca dengan kasat mataku. “Oh Tuhanku” . . . . rintihku perlahan dalam hati sambil memandang laut lepas di depan mataku.
“Mbak….Mbak…. mau beli kacang….?” Aku menoleh. Kulihat seorang anak kecil usia 10 tahunan dengan barang dagangannya yang diletakkan di baskom kecilnya itu. aku tersenyum….. “berapa harganya dik?” sapaku lembut. “Dua ribu . . . mbak.” Jawabnya. “Oh… iya dech mbak beli sepuluh ribu . . .” kataku sambil terus memperhatikan bocah penjual kacang tadi “hayo dapat berapa?” kataku lagi karena aku lihat dia agak kesulitan menghitung uang sepuluh ribu dibagi “dua ribu”. “adik. . . . kalau kacangnya satu harganya dua ribu jadi kalau beli sepuluh ribu dapat . . . ? kataku . . . . sengaja aku hentikan karena aku ingin si adik penjual kacang itu menghilang.
“Lima . . . “ katanya dengan cepat, takut aku tidak jadi beli. Aku tertawa . . . . “iya . . . masak lama banget menghitungnya dik, kelas berapa?” tanyaku lembut. Si bocah penjual kacang itu menatapku. Kulihat bulir air mata di wajahnya yang teduh. Aku tak kuasa menatapnya. Kuhampiri dan akupun menundukkan badanku dan kuambil tisu untuk mengusap air matanya. “Saya sudah tidak sekolag mbak.” Katanya sambil menerima tisu pemberianku. “Kenapa dik?” kataku terkejut. Bukankah sekarang sekolah gratis dan banyak beasiswa untuk anak-anak tak mampu? “Saya malas sekolah, karena semua temanku mentertawakanku. Kata mereka aku bodoh, lemot dan aku sudahlah mbak, aku benci sekolah.” Jawabnya hampir mau menangis. Tak kuasa air mataku menetes lagi. Tuhanku. . . ternyata masih ada anak yang tak sekolah hanya karena tak bias berpikir cepat seperti anak-anak yang lain, “kataku dalam hati”. “Adik . . . ini uangnya tak usah kembali . . . ambil saja uang kembaliannya, tapi jangan dibuat main PS ya,” kataku sambil memberinya uang lima puluh ribuan.
Melihat uang lima puluh ribuan si bocah penjual kacang sangat senang sekali. Wajahnya langsung ceria. Matanya diusap-usap berkali-kali seperti tak percaya ia memegang uang lima puluh ribuan. “Bener ya . . mbak ini buat saya?” katanya sambil menyalami tangan saya dan menciumnya. “Iya . . dik . . . oh iya siapa namanya?” tanyaku. “Rudi, mbak.” Jawabnya. “Oh iya . . . dik Rudi . . . mbak akan ingat . . . “ kataku sambil tertawa. Rudi pun tertawa. Akupun tak lupa mengabadikan foto Rudi dengan baskom kacangnya. Bukan untuk update status di Facebook.ku tapi untuk kenangan indah sore ini di bibir pelabuhan Tanjung Tembaga.
Sejak kejadian sore di pelabuhan itu aku hamper setiap hari memikirkan Rudi. Penjual kacang itu. Seandainya aku bias lebih tahu banyak tentangnya mungkin aku bias menolong, pikirku. Hampir satu bulan berlalu. Sore hari terkadang aku berharap bisaa bertemu Rudi di pelabuhan Tanjung Tembaga. Kususuri sepanjang dermaga aku tak melihat Rudi. Sampai di pasar ikanpun aku keluar masuk hanya ingin mencari Rudi, si bocah penjual kacang. Entah ada keinginan untuk menolongnya. Hingga suatu sore tanpa sengaja aku dikejutkan lagi dengan suara khasnya . . . “Mbak . . . mau beli kacang?”. Sontak aku kaget dan menoleh ke asal suara. “Subhanallah . . . Rudi . . .” kataku hamper tak percaya setelah selama satu bulan aku melihatnya. Tak disangka bocah penjual kacang itu menyapaku di alun-alun saat kududuk sendiri asyik dengan HP.ku.
“Oh . . . mbak yang di pelabuhan itu ya . . .” katanya dengan mimic lucu. Aku menganggukkan kepala, tanda setuju. Wajahnya kulihat malu-malu. Kali ini Rudi tampak agak bersih. Mungkin sudah mandi, pikirku. “Mbak mau beli kacang sepuluh ribu lagi . . . ?” tanyanya penuh harap. Aku menatapnya sambil mengangguk. Aku sengaja mengeluarkan uang sepuluh ribuan. “Rud . . . boleh gak mbak tahu alamat rumahmu?” tanyaku lembut takut menyinggung perasaan bocah penjual kacang tadi. “Buat apa mbak?” tanyanya. “Pengen tahu saja . . .” kataku lagi. Rudi memberitahuku alamat rumahnya. Ternyata alamatnya tak jauh dari pelabuhan itu. Akupun mencatat alamat rumah di notes buku kecil yang selalu aku bawa. Rudi pun hanya tersenyum saat aku berkata akan ke rumahnya. Aku memang tidak berminat membeli kacang gorengnya. Hanya ingin tahu alamat Rudi saja.
Setelah satu minggu sejak bertemu kembali dengan Rudi di alun-alun aku beranikan diri mendatangi rumahnya. Rumahnya di pojok jalan. Tidak terlalu besar juga tidak terlalu jelek. Rumahnya cukup sehat dengan beberapa ventilasi. Dengan keberanian yang cukup aku pun mengetok pintu rumah Rudi. “Tok . . tok Assalamualaikum” kataku dengan suara agak parau. Maklum aku sudah dua minggu sakit. Jadi suaraku agak berat. Masih tak terdengar suara jawaban dari dalam rumah hingga tetangganya yang baik hati menolongku dengan memanggil nama seorang wanita dari samping rumahnya. Setelah tiga kali teriakan muncullah seorang wanita dengan usia 35 tahun dengan gaya pakaian khasnya penduduk di sini. “Cari siapa mbak?” tanyanya dengan wajah lugu dan dahinya pun mengertut melihat diriku. Maklum aku pun tak mengenalinya. “Bu benar ini rumahnya Rudi?” tanyaku seramah mungkin takut dia tak berkenan padaku. “Betul . . . mbak siapa?” tanyanya balik dengan penuh penasaran.
“Oh iya saya Rayong bu . . .” jawabku masih dengan nada ramah. Kulihat ekspresi wajahnya yang mulai bersahabat tidak kaku lagi. Akupun dipersilahkan memasuki rumahnya.
Di ruang tamu ada meja dan kursi tamu yang sudah agak lama. Tidak punya perabot dalam rumah Rudi. Hanya banyak foto-foto yang terpajang rapi di dinding tembok rumahnya yang warna catnya sudah kusam. Ada foto Rudi, waktu kecil dan ayah dan ibunya. Tampaknya Rudi anak semata wayang. Ibunya pun bercerita tentang keluarganya. Ayah Rudi adalah seorang nelayan yang kapalnya mengalami kecelakaan hingga terbalik. Sampai sekarang jenazah ayahnya tidak ditemukan. Sudah hamper limat tahun tak ada kabar tentang ayahnya. Saat itu Rudi masih duduk di bangku TK. Tinggallah Rudi dan ibunya. Ibunya yang hanya tamatan SD tidak bias berbuat banyak. Ia bekerja serabutan untuk membiayai hidup dirinya dan Rudi. Meskipun ada beberapa saudara dari ayahnya yang peduli terhadap Rudi tetapi sang ibu tidak mau berpangku tangan. Baginya Rudi adalah permata hatinya apapun keadaan Rudi.
Sang ibupun bercerita kalau dari kecil Rudi sangat sulit sekali untuk memahami pelajaran. Sang ibu harus ekstra keras mengajari membaca. Semakin besar sang ibu semakin tidak memahami pelajaran yang ada di sekolah sehingga sang ibu hanya bias pasrah. Rudi tumbuh menjadi anak yang kurang percaya diri ditambah dengan teman-temannya yang selalu mengejeknya membuat Rudi tidak betak di sekolah hingga memutuskan untuk berhenti sekolah. Sang ibu sudah membujuknya tapi Rudi tetap tidak mau ke sekolah. Aku yang mendengar cerita ibu Rudi tak kuasa menahan air mataku. Ibu Rudi meminta tolong padaku untuk membujuk Rudi kembali ke sekolah. Aku pun menyanggupinya. “Insya Allah bu. . . akan saya bantu, agar Rudi mau kembali ke sekolah.” kataku sambil menjabat erat tangan ibunya Rudi. Kulihat air matanya mulai menetes. Ada secerah harapan yang tergambar dalam wajahnya. Aku tak kuasa menahan gejolak perasaanku yang mengharu biru ternyata masih ada orang yang masalahnya lebih rumit dariku, katakuu dalam hati.
Semenjak pertemuan dengan ibunya Rudi, aku berputar mencari cara agar Rudi mau kembali ke sekolah. Memang tidak mudah untuk membuat Rudi kembali ke sekolah apalagi aku belum berpengalaman dalam mengurusi anak. Ya Allah semoga saja hari ini Rudi mau belajar denganku, doaku saat ku starter motorku menuju rumah Rudi.
Hari minggu pagi aku sudah menstater motorku menuju rumah Rudi. Dengan keyakinan dan keikhlasan hatiku untuk menolong Rudi tak kuhiraukan ajakan keluargaku untuk berlibur di Kota Malang. Semoga saja Rudi tak menolak saat aku ajak belajar. Meskipun aku lulusan Sarjana Ekonomi tapi aku tak takut untuk mencoba mengajar Rudi. Kubekali diriku dengan banyak membaca buku literasi dan melihat di internet cara-cara mengajar siswa yang antis meskipun terkadang aku sendiri kurang paham . . . ah yang terpenting aku hadapi saja dulu Rudi. Entah apa yang terjadi nanti aku tak tahu. “Ya Allah tolonglah hambaMu,” doaku sepanjang perjalanan.
Tepat pukul 08.00 aku sudah sampai di rumah Rudi. Kulihat Rudi duduk sambil menghitung uang recehnya di teras depan rumahnya. Ia kaget saat melihatku. Diusap-usap matanya berkali-kali untuk meyakinkan memang benar aku yang datang. “Lupa pada mbak, Rudi?” sapaku ramah. “Assalamualaikum” sapaku. “Waalaikum salam, Mbak . . . mbak yang beli kacangku bukan?” jawabnya sambil tertawa. Aku yang mendengar pun tertawa riang.
“Buk….ibu…..ada tamu,” suara Rudi yang keras membuatku kaget juga. Aku mengira Rudi anaknya lembut tetapi ternyata Rudi anak yang periang. Ibu Rudi pun keluar dengan daster kusutnya dan tangan yang bau amis Ibu Rudi menyalamiku dan menyuruhku masuk. Aku yang sudah terbiasa dengan adat istiadat penduduk di daerah Rudi tak langsung untuk menerima tawaran persaudaraan yang tulus dari penduduk sekitar, meskipun dari logat bicaraku mereka tahu aku bukan putra daerah.
“Ibu sudah kenal sama . . . mbak?” tanya Rudi kaget karena waktu aku ke rumahnya aku tak memberitahu padanya. “Iya . . ibu tahu ini..mbak Rayong ’kata ibu Rudi tersenyum padaku.”Oh..mbak Rayong….namanya…Rudi tahu nya mbak yang beli kacang goring Rudi bu,dan yang member uang rudi limapuluh ribu”jawab Rudi dengan serius.Yach..uang lima puluhribu bagi anak seusia Rudi cukup banyak apalagi orangtua Rudi yang hidup serba pas pasan.Aku dipersilahkan masuk dan kami pun duduk berhadapan.Kukeluarkan buku pelajaran serentak wajah Rudi berubah.Sepertinya dia sudah mengerti kedtangannku .Mungkin ia berpikir aku disuruh ibunya untuk membujuknya kekbali ke sekolah.
“Tidak Rudi tidak mau kesekolah..kembali..mereka jahat.Mereka bilang Rudi tidak pandai Rudi goblok Rudi bodoh..Rudi tidak pantas duduk di bangku sekolah..”katanya sambil teriak dan menangis.Wajahnya ditutupnya dengan tangannya .Aku yang mendengar tangisan anak seusia Rudi pun jadi ikutan menangis .Kulihat ibunya hanya tertunduk sambil tangannya mengusap kepala anak semata wayangnya .Air matanya pu tak henti berderai. Kuhampiri Rudi…dan aku pun duduk didekatnya.Kubelai rambut bocah yatim itu .Aku pun merasakan kesedihan yang sama bagi disayat sembilu mendengar rintaihan tangisannya.Ya Alloh…Rudi pun hambaMU aku yakin Rudi mempunyai kelebihan yang lain dibalik kekurangannya,bathinku.”Sayang tidak harus ke sekolah untuk jadi pandai….Rudi bisa belajar disini bersama mbak Rayong..”kataku mencoba menasehatinya.”Mbak Rayong ke sini untuk membantu Rudi belajar agar Rudi tidak lupa pelajaran..tidak perlu memakai seragam karena mbak Rayong datangnya tidak selalu pagi”.Kulihat wajah Rudi yang tak mengerti.Alisnya mengerut dan tangisannya pun sudah berhenti.Rudi hanya diam sambil memaainkan plastic kacang gorengnya.Dengan suara lirih Rudi berkata padaku..”Nanti mbak Rayong marah kalau aku tidak bias seperti mereka.”Aku hanya tersenyum. Aku tahu yang dikhawatirkan Rudi kalau aku marah jika ia tidak bisa .Kukatakan dan kuyakinkan padanya kalau aku akan selalu sabar dengannya.
“Mbak..Rayong kita belajarnya disini saja ya”kata Rudi dari teras rumahnya.Aku dan ibunya menghampirinya.”Tapi di teras panas Rudi..”kataku .Mb Rayong khawatir Rudi tidak bisa belajar.”jawabku sambil duduk di bangku kecil yang ada di teras.Rudi pun diam tampaknya dia sedang berpikir.Tiba tiba ia masuk kerumah dan sepuluh menit kemudian dia membawa sebuah payung besar yang biasa digunakan para pedagang kaki lima.Aku dan ibu kaget .”Buat aapa Rudi..”tanyaku tak mengerti. Rudi tak menjawab.Ia hanya membuka payungnya dan” lihat..bu .mbak Rayong..bagus khan “katanya.”Ini payung keteduhan tempat Rudi belajar..hore…hore Rudi sekolah lagi”katanya berputar putar mengelilingi payung besar itu. “Mbak Rayong jadi gurunya ya..Rudi janji mau belajar…dan rajin..Rudi mau jadi orang pintar “kata Rudi sambil terus berlarian.Aku dan Ibu Rudi tertawa senang. Kulirik ibu Rudi. Disudut matanya ada setetes air mata aku berdoa dalam hati itu air mita kebahagiaan. Aku pun mengulang lagi dan menjelaskan apa yang dimaksud dengan cita cita. Kuperhatikan wajah Rudi yang mulai mengerti. ”Oh…itu ya maksudnya cita cita ..kalau gitu Rudi mau jadi..sopir pesawat mau bawa ibu naik haji..ya..bolehkan mbak Rayong?”katanya dengan wajah yang lucu. Aku pun mengannguk tanda setuju. ”Hore..hore Rudi sekolah…Rudi belajar lagi..” katanya sambil terus berputar mengelilingi payung keteduhan kami.
Sejak itu Rudi menjadi muridku.Aku setiap dua hari sekali mengajarnya. Ternyata Rudi anak yang cerdas.Ia cepat bosan bila pelajaran itu diulang lagi.Mengajar Rudi membuatku lebiih kreatif.Karena Rudi tipe anak yang serba ingin tahu.Aku pun mendaftarkannya ke suatu lembaga agar dia ikut ujian kesetaraan.Rudi pun tak malu lagi bila bertemu dengan teman temannya jika dia ditanya sekolah dimana Rudi pun akan menjawab dengan bangga kalau ia sekarang homeschooling.Rudi pun sering mengajak temannya untuk belajar di payung keteduhannya itu.
Di Bawah Payung Keteduhan
Semburat cahaya matahari senja baru saja melintas di atas awan kotaku. Aku sengaja meluangkan waktu soreku menikmati sore di bibir pelabuhan Tanjung Tembaga. Kusapa sore ini dengan sejuta harapan esok hari akan lebih baik dari hari ini. Ah….. andai saja semua tidak berubah secepat ini mungkin Aku tidak terlalu sedih seperti ini. Andi saja orang tuaku mau menyetujui semua rencanaku dengan kekasihku mungkin tak aka nada derita sore seperti ini. Ah …. andai saja. Aku tak mungkin berandai-andai lagi. Hidup yang kujalani nyata….. dan impian belum terjadi. Tak terasa air mataku menetes membasahi pipiku yang sudah terbiasa menjadi tumpahan air mataku. Ingin kuteriakkan namamu tapi aku tahu itu tak akan berarti. Namamu masih terukir indah di hati tapi samar-samar tidak bisa terbaca dengan kasat mataku. “Oh Tuhanku” . . . . rintihku perlahan dalam hati sambil memandang laut lepas di depan mataku.
“Mbak….Mbak…. mau beli kacang….?” Aku menoleh. Kulihat seorang anak kecil usia 10 tahunan dengan barang dagangannya yang diletakkan di baskom kecilnya itu. aku tersenyum….. “berapa harganya dik?” sapaku lembut. “Dua ribu . . . mbak.” Jawabnya. “Oh… iya dech mbak beli sepuluh ribu . . .” kataku sambil terus memperhatikan bocah penjual kacang tadi “hayo dapat berapa?” kataku lagi karena aku lihat dia agak kesulitan menghitung uang sepuluh ribu dibagi “dua ribu”. “adik. . . . kalau kacangnya satu harganya dua ribu jadi kalau beli sepuluh ribu dapat . . . ? kataku . . . . sengaja aku hentikan karena aku ingin si adik penjual kacang itu menghilang.
“Lima . . . “ katanya dengan cepat, takut aku tidak jadi beli. Aku tertawa . . . . “iya . . . masak lama banget menghitungnya dik, kelas berapa?” tanyaku lembut. Si bocah penjual kacang itu menatapku. Kulihat bulir air mata di wajahnya yang teduh. Aku tak kuasa menatapnya. Kuhampiri dan akupun menundukkan badanku dan kuambil tisu untuk mengusap air matanya. “Saya sudah tidak sekolag mbak.” Katanya sambil menerima tisu pemberianku. “Kenapa dik?” kataku terkejut. Bukankah sekarang sekolah gratis dan banyak beasiswa untuk anak-anak tak mampu? “Saya malas sekolah, karena semua temanku mentertawakanku. Kata mereka aku bodoh, lemot dan aku sudahlah mbak, aku benci sekolah.” Jawabnya hampir mau menangis. Tak kuasa air mataku menetes lagi. Tuhanku. . . ternyata masih ada anak yang tak sekolah hanya karena tak bias berpikir cepat seperti anak-anak yang lain, “kataku dalam hati”. “Adik . . . ini uangnya tak usah kembali . . . ambil saja uang kembaliannya, tapi jangan dibuat main PS ya,” kataku sambil memberinya uang lima puluh ribuan.
Melihat uang lima puluh ribuan si bocah penjual kacang sangat senang sekali. Wajahnya langsung ceria. Matanya diusap-usap berkali-kali seperti tak percaya ia memegang uang lima puluh ribuan. “Bener ya . . mbak ini buat saya?” katanya sambil menyalami tangan saya dan menciumnya. “Iya . . dik . . . oh iya siapa namanya?” tanyaku. “Rudi, mbak.” Jawabnya. “Oh iya . . . dik Rudi . . . mbak akan ingat . . . “ kataku sambil tertawa. Rudi pun tertawa. Akupun tak lupa mengabadikan foto Rudi dengan baskom kacangnya. Bukan untuk update status di Facebook.ku tapi untuk kenangan indah sore ini di bibir pelabuhan Tanjung Tembaga.
Sejak kejadian sore di pelabuhan itu aku hamper setiap hari memikirkan Rudi. Penjual kacang itu. Seandainya aku bias lebih tahu banyak tentangnya mungkin aku bias menolong, pikirku. Hampir satu bulan berlalu. Sore hari terkadang aku berharap bisaa bertemu Rudi di pelabuhan Tanjung Tembaga. Kususuri sepanjang dermaga aku tak melihat Rudi. Sampai di pasar ikanpun aku keluar masuk hanya ingin mencari Rudi, si bocah penjual kacang. Entah ada keinginan untuk menolongnya. Hingga suatu sore tanpa sengaja aku dikejutkan lagi dengan suara khasnya . . . “Mbak . . . mau beli kacang?”. Sontak aku kaget dan menoleh ke asal suara. “Subhanallah . . . Rudi . . .” kataku hamper tak percaya setelah selama satu bulan aku melihatnya. Tak disangka bocah penjual kacang itu menyapaku di alun-alun saat kududuk sendiri asyik dengan HP.ku.
“Oh . . . mbak yang di pelabuhan itu ya . . .” katanya dengan mimic lucu. Aku menganggukkan kepala, tanda setuju. Wajahnya kulihat malu-malu. Kali ini Rudi tampak agak bersih. Mungkin sudah mandi, pikirku. “Mbak mau beli kacang sepuluh ribu lagi . . . ?” tanyanya penuh harap. Aku menatapnya sambil mengangguk. Aku sengaja mengeluarkan uang sepuluh ribuan. “Rud . . . boleh gak mbak tahu alamat rumahmu?” tanyaku lembut takut menyinggung perasaan bocah penjual kacang tadi. “Buat apa mbak?” tanyanya. “Pengen tahu saja . . .” kataku lagi. Rudi memberitahuku alamat rumahnya. Ternyata alamatnya tak jauh dari pelabuhan itu. Akupun mencatat alamat rumah di notes buku kecil yang selalu aku bawa. Rudi pun hanya tersenyum saat aku berkata akan ke rumahnya. Aku memang tidak berminat membeli kacang gorengnya. Hanya ingin tahu alamat Rudi saja.
Setelah satu minggu sejak bertemu kembali dengan Rudi di alun-alun aku beranikan diri mendatangi rumahnya. Rumahnya di pojok jalan. Tidak terlalu besar juga tidak terlalu jelek. Rumahnya cukup sehat dengan beberapa ventilasi. Dengan keberanian yang cukup aku pun mengetok pintu rumah Rudi. “Tok . . tok Assalamualaikum” kataku dengan suara agak parau. Maklum aku sudah dua minggu sakit. Jadi suaraku agak berat. Masih tak terdengar suara jawaban dari dalam rumah hingga tetangganya yang baik hati menolongku dengan memanggil nama seorang wanita dari samping rumahnya. Setelah tiga kali teriakan muncullah seorang wanita dengan usia 35 tahun dengan gaya pakaian khasnya penduduk di sini. “Cari siapa mbak?” tanyanya dengan wajah lugu dan dahinya pun mengertut melihat diriku. Maklum aku pun tak mengenalinya. “Bu benar ini rumahnya Rudi?” tanyaku seramah mungkin takut dia tak berkenan padaku. “Betul . . . mbak siapa?” tanyanya balik dengan penuh penasaran.
“Oh iya saya Rayong bu . . .” jawabku masih dengan nada ramah. Kulihat ekspresi wajahnya yang mulai bersahabat tidak kaku lagi. Akupun dipersilahkan memasuki rumahnya.
Di ruang tamu ada meja dan kursi tamu yang sudah agak lama. Tidak punya perabot dalam rumah Rudi. Hanya banyak foto-foto yang terpajang rapi di dinding tembok rumahnya yang warna catnya sudah kusam. Ada foto Rudi, waktu kecil dan ayah dan ibunya. Tampaknya Rudi anak semata wayang. Ibunya pun bercerita tentang keluarganya. Ayah Rudi adalah seorang nelayan yang kapalnya mengalami kecelakaan hingga terbalik. Sampai sekarang jenazah ayahnya tidak ditemukan. Sudah hamper limat tahun tak ada kabar tentang ayahnya. Saat itu Rudi masih duduk di bangku TK. Tinggallah Rudi dan ibunya. Ibunya yang hanya tamatan SD tidak bias berbuat banyak. Ia bekerja serabutan untuk membiayai hidup dirinya dan Rudi. Meskipun ada beberapa saudara dari ayahnya yang peduli terhadap Rudi tetapi sang ibu tidak mau berpangku tangan. Baginya Rudi adalah permata hatinya apapun keadaan Rudi.
Sang ibupun bercerita kalau dari kecil Rudi sangat sulit sekali untuk memahami pelajaran. Sang ibu harus ekstra keras mengajari membaca. Semakin besar sang ibu semakin tidak memahami pelajaran yang ada di sekolah sehingga sang ibu hanya bias pasrah. Rudi tumbuh menjadi anak yang kurang percaya diri ditambah dengan teman-temannya yang selalu mengejeknya membuat Rudi tidak betak di sekolah hingga memutuskan untuk berhenti sekolah. Sang ibu sudah membujuknya tapi Rudi tetap tidak mau ke sekolah. Aku yang mendengar cerita ibu Rudi tak kuasa menahan air mataku. Ibu Rudi meminta tolong padaku untuk membujuk Rudi kembali ke sekolah. Aku pun menyanggupinya. “Insya Allah bu. . . akan saya bantu, agar Rudi mau kembali ke sekolah.” kataku sambil menjabat erat tangan ibunya Rudi. Kulihat air matanya mulai menetes. Ada secerah harapan yang tergambar dalam wajahnya. Aku tak kuasa menahan gejolak perasaanku yang mengharu biru ternyata masih ada orang yang masalahnya lebih rumit dariku, katakuu dalam hati.
Semenjak pertemuan dengan ibunya Rudi, aku berputar mencari cara agar Rudi mau kembali ke sekolah. Memang tidak mudah untuk membuat Rudi kembali ke sekolah apalagi aku belum berpengalaman dalam mengurusi anak. Ya Allah semoga saja hari ini Rudi mau belajar denganku, doaku saat ku starter motorku menuju rumah Rudi.
Hari minggu pagi aku sudah menstater motorku menuju rumah Rudi. Dengan keyakinan dan keikhlasan hatiku untuk menolong Rudi tak kuhiraukan ajakan keluargaku untuk berlibur di Kota Malang. Semoga saja Rudi tak menolak saat aku ajak belajar. Meskipun aku lulusan Sarjana Ekonomi tapi aku tak takut untuk mencoba mengajar Rudi. Kubekali diriku dengan banyak membaca buku literasi dan melihat di internet cara-cara mengajar siswa yang antis meskipun terkadang aku sendiri kurang paham . . . ah yang terpenting aku hadapi saja dulu Rudi. Entah apa yang terjadi nanti aku tak tahu. “Ya Allah tolonglah hambaMu,” doaku sepanjang perjalanan.
Tepat pukul 08.00 aku sudah sampai di rumah Rudi. Kulihat Rudi duduk sambil menghitung uang recehnya di teras depan rumahnya. Ia kaget saat melihatku. Diusap-usap matanya berkali-kali untuk meyakinkan memang benar aku yang datang. “Lupa pada mbak, Rudi?” sapaku ramah. “Assalamualaikum” sapaku. “Waalaikum salam, Mbak . . . mbak yang beli kacangku bukan?” jawabnya sambil tertawa. Aku yang mendengar pun tertawa riang.
“Buk….ibu…..ada tamu,” suara Rudi yang keras membuatku kaget juga. Aku mengira Rudi anaknya lembut tetapi ternyata Rudi anak yang periang. Ibu Rudi pun keluar dengan daster kusutnya dan tangan yang bau amis Ibu Rudi menyalamiku dan menyuruhku masuk. Aku yang sudah terbiasa dengan adat istiadat penduduk di daerah Rudi tak langsung untuk menerima tawaran persaudaraan yang tulus dari penduduk sekitar, meskipun dari logat bicaraku mereka tahu aku bukan putra daerah.
“Ibu sudah kenal sama . . . mbak?” tanya Rudi kaget karena waktu aku ke rumahnya aku tak memberitahu padanya. “Iya . . ibu tahu ini..mbak Rayong ’kata ibu Rudi tersenyum padaku.”Oh..mbak Rayong….namanya…Rudi tahu nya mbak yang beli kacang goring Rudi bu,dan yang member uang rudi limapuluh ribu”jawab Rudi dengan serius.Yach..uang lima puluhribu bagi anak seusia Rudi cukup banyak apalagi orangtua Rudi yang hidup serba pas pasan.Aku dipersilahkan masuk dan kami pun duduk berhadapan.Kukeluarkan buku pelajaran serentak wajah Rudi berubah.Sepertinya dia sudah mengerti kedtangannku .Mungkin ia berpikir aku disuruh ibunya untuk membujuknya kekbali ke sekolah.
“Tidak Rudi tidak mau kesekolah..kembali..mereka jahat.Mereka bilang Rudi tidak pandai Rudi goblok Rudi bodoh..Rudi tidak pantas duduk di bangku sekolah..”katanya sambil teriak dan menangis.Wajahnya ditutupnya dengan tangannya .Aku yang mendengar tangisan anak seusia Rudi pun jadi ikutan menangis .Kulihat ibunya hanya tertunduk sambil tangannya mengusap kepala anak semata wayangnya .Air matanya pu tak henti berderai. Kuhampiri Rudi…dan aku pun duduk didekatnya.Kubelai rambut bocah yatim itu .Aku pun merasakan kesedihan yang sama bagi disayat sembilu mendengar rintaihan tangisannya.Ya Alloh…Rudi pun hambaMU aku yakin Rudi mempunyai kelebihan yang lain dibalik kekurangannya,bathinku.”Sayang tidak harus ke sekolah untuk jadi pandai….Rudi bisa belajar disini bersama mbak Rayong..”kataku mencoba menasehatinya.”Mbak Rayong ke sini untuk membantu Rudi belajar agar Rudi tidak lupa pelajaran..tidak perlu memakai seragam karena mbak Rayong datangnya tidak selalu pagi”.Kulihat wajah Rudi yang tak mengerti.Alisnya mengerut dan tangisannya pun sudah berhenti.Rudi hanya diam sambil memaainkan plastic kacang gorengnya.Dengan suara lirih Rudi berkata padaku..”Nanti mbak Rayong marah kalau aku tidak bias seperti mereka.”Aku hanya tersenyum. Aku tahu yang dikhawatirkan Rudi kalau aku marah jika ia tidak bisa .Kukatakan dan kuyakinkan padanya kalau aku akan selalu sabar dengannya.
“Mbak..Rayong kita belajarnya disini saja ya”kata Rudi dari teras rumahnya.Aku dan ibunya menghampirinya.”Tapi di teras panas Rudi..”kataku .Mb Rayong khawatir Rudi tidak bisa belajar.”jawabku sambil duduk di bangku kecil yang ada di teras.Rudi pun diam tampaknya dia sedang berpikir.Tiba tiba ia masuk kerumah dan sepuluh menit kemudian dia membawa sebuah payung besar yang biasa digunakan para pedagang kaki lima.Aku dan ibu kaget .”Buat aapa Rudi..”tanyaku tak mengerti. Rudi tak menjawab.Ia hanya membuka payungnya dan” lihat..bu .mbak Rayong..bagus khan “katanya.”Ini payung keteduhan tempat Rudi belajar..hore…hore Rudi sekolah lagi”katanya berputar putar mengelilingi payung besar itu. “Mbak Rayong jadi gurunya ya..Rudi janji mau belajar…dan rajin..Rudi mau jadi orang pintar “kata Rudi sambil terus berlarian.Aku dan Ibu Rudi tertawa senang. Kulirik ibu Rudi. Disudut matanya ada setetes air mata aku berdoa dalam hati itu air mita kebahagiaan. Aku pun mengulang lagi dan menjelaskan apa yang dimaksud dengan cita cita. Kuperhatikan wajah Rudi yang mulai mengerti. ”Oh…itu ya maksudnya cita cita ..kalau gitu Rudi mau jadi..sopir pesawat mau bawa ibu naik haji..ya..bolehkan mbak Rayong?”katanya dengan wajah yang lucu. Aku pun mengannguk tanda setuju. ”Hore..hore Rudi sekolah…Rudi belajar lagi..” katanya sambil terus berputar mengelilingi payung keteduhan kami.
Sejak itu Rudi menjadi muridku.Aku setiap dua hari sekali mengajarnya. Ternyata Rudi anak yang cerdas.Ia cepat bosan bila pelajaran itu diulang lagi.Mengajar Rudi membuatku lebiih kreatif.Karena Rudi tipe anak yang serba ingin tahu.Aku pun mendaftarkannya ke suatu lembaga agar dia ikut ujian kesetaraan.Rudi pun tak malu lagi bila bertemu dengan teman temannya jika dia ditanya sekolah dimana Rudi pun akan menjawab dengan bangga kalau ia sekarang homeschooling.Rudi pun sering mengajak temannya untuk belajar di payung keteduhannya itu.
Di Bawah Payung Keteduhan
Semburat cahaya matahari senja baru saja melintas di atas awan kotaku. Aku sengaja meluangkan waktu soreku menikmati sore di bibir pelabuhan Tanjung Tembaga. Kusapa sore ini dengan sejuta harapan esok hari akan lebih baik dari hari ini. Ah….. andai saja semua tidak berubah secepat ini mungkin Aku tidak terlalu sedih seperti ini. Andi saja orang tuaku mau menyetujui semua rencanaku dengan kekasihku mungkin tak aka nada derita sore seperti ini. Ah …. andai saja. Aku tak mungkin berandai-andai lagi. Hidup yang kujalani nyata….. dan impian belum terjadi. Tak terasa air mataku menetes membasahi pipiku yang sudah terbiasa menjadi tumpahan air mataku. Ingin kuteriakkan namamu tapi aku tahu itu tak akan berarti. Namamu masih terukir indah di hati tapi samar-samar tidak bisa terbaca dengan kasat mataku. “Oh Tuhanku” . . . . rintihku perlahan dalam hati sambil memandang laut lepas di depan mataku.
“Mbak….Mbak…. mau beli kacang….?” Aku menoleh. Kulihat seorang anak kecil usia 10 tahunan dengan barang dagangannya yang diletakkan di baskom kecilnya itu. aku tersenyum….. “berapa harganya dik?” sapaku lembut. “Dua ribu . . . mbak.” Jawabnya. “Oh… iya dech mbak beli sepuluh ribu . . .” kataku sambil terus memperhatikan bocah penjual kacang tadi “hayo dapat berapa?” kataku lagi karena aku lihat dia agak kesulitan menghitung uang sepuluh ribu dibagi “dua ribu”. “adik. . . . kalau kacangnya satu harganya dua ribu jadi kalau beli sepuluh ribu dapat . . . ? kataku . . . . sengaja aku hentikan karena aku ingin si adik penjual kacang itu menghilang.
“Lima . . . “ katanya dengan cepat, takut aku tidak jadi beli. Aku tertawa . . . . “iya . . . masak lama banget menghitungnya dik, kelas berapa?” tanyaku lembut. Si bocah penjual kacang itu menatapku. Kulihat bulir air mata di wajahnya yang teduh. Aku tak kuasa menatapnya. Kuhampiri dan akupun menundukkan badanku dan kuambil tisu untuk mengusap air matanya. “Saya sudah tidak sekolag mbak.” Katanya sambil menerima tisu pemberianku. “Kenapa dik?” kataku terkejut. Bukankah sekarang sekolah gratis dan banyak beasiswa untuk anak-anak tak mampu? “Saya malas sekolah, karena semua temanku mentertawakanku. Kata mereka aku bodoh, lemot dan aku sudahlah mbak, aku benci sekolah.” Jawabnya hampir mau menangis. Tak kuasa air mataku menetes lagi. Tuhanku. . . ternyata masih ada anak yang tak sekolah hanya karena tak bias berpikir cepat seperti anak-anak yang lain, “kataku dalam hati”. “Adik . . . ini uangnya tak usah kembali . . . ambil saja uang kembaliannya, tapi jangan dibuat main PS ya,” kataku sambil memberinya uang lima puluh ribuan.
Melihat uang lima puluh ribuan si bocah penjual kacang sangat senang sekali. Wajahnya langsung ceria. Matanya diusap-usap berkali-kali seperti tak percaya ia memegang uang lima puluh ribuan. “Bener ya . . mbak ini buat saya?” katanya sambil menyalami tangan saya dan menciumnya. “Iya . . dik . . . oh iya siapa namanya?” tanyaku. “Rudi, mbak.” Jawabnya. “Oh iya . . . dik Rudi . . . mbak akan ingat . . . “ kataku sambil tertawa. Rudi pun tertawa. Akupun tak lupa mengabadikan foto Rudi dengan baskom kacangnya. Bukan untuk update status di Facebook.ku tapi untuk kenangan indah sore ini di bibir pelabuhan Tanjung Tembaga.
Sejak kejadian sore di pelabuhan itu aku hamper setiap hari memikirkan Rudi. Penjual kacang itu. Seandainya aku bias lebih tahu banyak tentangnya mungkin aku bias menolong, pikirku. Hampir satu bulan berlalu. Sore hari terkadang aku berharap bisaa bertemu Rudi di pelabuhan Tanjung Tembaga. Kususuri sepanjang dermaga aku tak melihat Rudi. Sampai di pasar ikanpun aku keluar masuk hanya ingin mencari Rudi, si bocah penjual kacang. Entah ada keinginan untuk menolongnya. Hingga suatu sore tanpa sengaja aku dikejutkan lagi dengan suara khasnya . . . “Mbak . . . mau beli kacang?”. Sontak aku kaget dan menoleh ke asal suara. “Subhanallah . . . Rudi . . .” kataku hamper tak percaya setelah selama satu bulan aku melihatnya. Tak disangka bocah penjual kacang itu menyapaku di alun-alun saat kududuk sendiri asyik dengan HP.ku.
“Oh . . . mbak yang di pelabuhan itu ya . . .” katanya dengan mimic lucu. Aku menganggukkan kepala, tanda setuju. Wajahnya kulihat malu-malu. Kali ini Rudi tampak agak bersih. Mungkin sudah mandi, pikirku. “Mbak mau beli kacang sepuluh ribu lagi . . . ?” tanyanya penuh harap. Aku menatapnya sambil mengangguk. Aku sengaja mengeluarkan uang sepuluh ribuan. “Rud . . . boleh gak mbak tahu alamat rumahmu?” tanyaku lembut takut menyinggung perasaan bocah penjual kacang tadi. “Buat apa mbak?” tanyanya. “Pengen tahu saja . . .” kataku lagi. Rudi memberitahuku alamat rumahnya. Ternyata alamatnya tak jauh dari pelabuhan itu. Akupun mencatat alamat rumah di notes buku kecil yang selalu aku bawa. Rudi pun hanya tersenyum saat aku berkata akan ke rumahnya. Aku memang tidak berminat membeli kacang gorengnya. Hanya ingin tahu alamat Rudi saja.
Setelah satu minggu sejak bertemu kembali dengan Rudi di alun-alun aku beranikan diri mendatangi rumahnya. Rumahnya di pojok jalan. Tidak terlalu besar juga tidak terlalu jelek. Rumahnya cukup sehat dengan beberapa ventilasi. Dengan keberanian yang cukup aku pun mengetok pintu rumah Rudi. “Tok . . tok Assalamualaikum” kataku dengan suara agak parau. Maklum aku sudah dua minggu sakit. Jadi suaraku agak berat. Masih tak terdengar suara jawaban dari dalam rumah hingga tetangganya yang baik hati menolongku dengan memanggil nama seorang wanita dari samping rumahnya. Setelah tiga kali teriakan muncullah seorang wanita dengan usia 35 tahun dengan gaya pakaian khasnya penduduk di sini. “Cari siapa mbak?” tanyanya dengan wajah lugu dan dahinya pun mengertut melihat diriku. Maklum aku pun tak mengenalinya. “Bu benar ini rumahnya Rudi?” tanyaku seramah mungkin takut dia tak berkenan padaku. “Betul . . . mbak siapa?” tanyanya balik dengan penuh penasaran.
“Oh iya saya Rayong bu . . .” jawabku masih dengan nada ramah. Kulihat ekspresi wajahnya yang mulai bersahabat tidak kaku lagi. Akupun dipersilahkan memasuki rumahnya.
Di ruang tamu ada meja dan kursi tamu yang sudah agak lama. Tidak punya perabot dalam rumah Rudi. Hanya banyak foto-foto yang terpajang rapi di dinding tembok rumahnya yang warna catnya sudah kusam. Ada foto Rudi, waktu kecil dan ayah dan ibunya. Tampaknya Rudi anak semata wayang. Ibunya pun bercerita tentang keluarganya. Ayah Rudi adalah seorang nelayan yang kapalnya mengalami kecelakaan hingga terbalik. Sampai sekarang jenazah ayahnya tidak ditemukan. Sudah hamper limat tahun tak ada kabar tentang ayahnya. Saat itu Rudi masih duduk di bangku TK. Tinggallah Rudi dan ibunya. Ibunya yang hanya tamatan SD tidak bias berbuat banyak. Ia bekerja serabutan untuk membiayai hidup dirinya dan Rudi. Meskipun ada beberapa saudara dari ayahnya yang peduli terhadap Rudi tetapi sang ibu tidak mau berpangku tangan. Baginya Rudi adalah permata hatinya apapun keadaan Rudi.
Sang ibupun bercerita kalau dari kecil Rudi sangat sulit sekali untuk memahami pelajaran. Sang ibu harus ekstra keras mengajari membaca. Semakin besar sang ibu semakin tidak memahami pelajaran yang ada di sekolah sehingga sang ibu hanya bias pasrah. Rudi tumbuh menjadi anak yang kurang percaya diri ditambah dengan teman-temannya yang selalu mengejeknya membuat Rudi tidak betak di sekolah hingga memutuskan untuk berhenti sekolah. Sang ibu sudah membujuknya tapi Rudi tetap tidak mau ke sekolah. Aku yang mendengar cerita ibu Rudi tak kuasa menahan air mataku. Ibu Rudi meminta tolong padaku untuk membujuk Rudi kembali ke sekolah. Aku pun menyanggupinya. “Insya Allah bu. . . akan saya bantu, agar Rudi mau kembali ke sekolah.” kataku sambil menjabat erat tangan ibunya Rudi. Kulihat air matanya mulai menetes. Ada secerah harapan yang tergambar dalam wajahnya. Aku tak kuasa menahan gejolak perasaanku yang mengharu biru ternyata masih ada orang yang masalahnya lebih rumit dariku, katakuu dalam hati.
Semenjak pertemuan dengan ibunya Rudi, aku berputar mencari cara agar Rudi mau kembali ke sekolah. Memang tidak mudah untuk membuat Rudi kembali ke sekolah apalagi aku belum berpengalaman dalam mengurusi anak. Ya Allah semoga saja hari ini Rudi mau belajar denganku, doaku saat ku starter motorku menuju rumah Rudi.
Hari minggu pagi aku sudah menstater motorku menuju rumah Rudi. Dengan keyakinan dan keikhlasan hatiku untuk menolong Rudi tak kuhiraukan ajakan keluargaku untuk berlibur di Kota Malang. Semoga saja Rudi tak menolak saat aku ajak belajar. Meskipun aku lulusan Sarjana Ekonomi tapi aku tak takut untuk mencoba mengajar Rudi. Kubekali diriku dengan banyak membaca buku literasi dan melihat di internet cara-cara mengajar siswa yang antis meskipun terkadang aku sendiri kurang paham . . . ah yang terpenting aku hadapi saja dulu Rudi. Entah apa yang terjadi nanti aku tak tahu. “Ya Allah tolonglah hambaMu,” doaku sepanjang perjalanan.
Tepat pukul 08.00 aku sudah sampai di rumah Rudi. Kulihat Rudi duduk sambil menghitung uang recehnya di teras depan rumahnya. Ia kaget saat melihatku. Diusap-usap matanya berkali-kali untuk meyakinkan memang benar aku yang datang. “Lupa pada mbak, Rudi?” sapaku ramah. “Assalamualaikum” sapaku. “Waalaikum salam, Mbak . . . mbak yang beli kacangku bukan?” jawabnya sambil tertawa. Aku yang mendengar pun tertawa riang.
“Buk….ibu…..ada tamu,” suara Rudi yang keras membuatku kaget juga. Aku mengira Rudi anaknya lembut tetapi ternyata Rudi anak yang periang. Ibu Rudi pun keluar dengan daster kusutnya dan tangan yang bau amis Ibu Rudi menyalamiku dan menyuruhku masuk. Aku yang sudah terbiasa dengan adat istiadat penduduk di daerah Rudi tak langsung untuk menerima tawaran persaudaraan yang tulus dari penduduk sekitar, meskipun dari logat bicaraku mereka tahu aku bukan putra daerah.
“Ibu sudah kenal sama . . . mbak?” tanya Rudi kaget karena waktu aku ke rumahnya aku tak memberitahu padanya. “Iya . . ibu tahu ini..mbak Rayong ’kata ibu Rudi tersenyum padaku.”Oh..mbak Rayong….namanya…Rudi tahu nya mbak yang beli kacang goring Rudi bu,dan yang member uang rudi limapuluh ribu”jawab Rudi dengan serius.Yach..uang lima puluhribu bagi anak seusia Rudi cukup banyak apalagi orangtua Rudi yang hidup serba pas pasan.Aku dipersilahkan masuk dan kami pun duduk berhadapan.Kukeluarkan buku pelajaran serentak wajah Rudi berubah.Sepertinya dia sudah mengerti kedtangannku .Mungkin ia berpikir aku disuruh ibunya untuk membujuknya kekbali ke sekolah.
“Tidak Rudi tidak mau kesekolah..kembali..mereka jahat.Mereka bilang Rudi tidak pandai Rudi goblok Rudi bodoh..Rudi tidak pantas duduk di bangku sekolah..”katanya sambil teriak dan menangis.Wajahnya ditutupnya dengan tangannya .Aku yang mendengar tangisan anak seusia Rudi pun jadi ikutan menangis .Kulihat ibunya hanya tertunduk sambil tangannya mengusap kepala anak semata wayangnya .Air matanya pu tak henti berderai. Kuhampiri Rudi…dan aku pun duduk didekatnya.Kubelai rambut bocah yatim itu .Aku pun merasakan kesedihan yang sama bagi disayat sembilu mendengar rintaihan tangisannya.Ya Alloh…Rudi pun hambaMU aku yakin Rudi mempunyai kelebihan yang lain dibalik kekurangannya,bathinku.”Sayang tidak harus ke sekolah untuk jadi pandai….Rudi bisa belajar disini bersama mbak Rayong..”kataku mencoba menasehatinya.”Mbak Rayong ke sini untuk membantu Rudi belajar agar Rudi tidak lupa pelajaran..tidak perlu memakai seragam karena mbak Rayong datangnya tidak selalu pagi”.Kulihat wajah Rudi yang tak mengerti.Alisnya mengerut dan tangisannya pun sudah berhenti.Rudi hanya diam sambil memaainkan plastic kacang gorengnya.Dengan suara lirih Rudi berkata padaku..”Nanti mbak Rayong marah kalau aku tidak bias seperti mereka.”Aku hanya tersenyum. Aku tahu yang dikhawatirkan Rudi kalau aku marah jika ia tidak bisa .Kukatakan dan kuyakinkan padanya kalau aku akan selalu sabar dengannya.
“Mbak..Rayong kita belajarnya disini saja ya”kata Rudi dari teras rumahnya.Aku dan ibunya menghampirinya.”Tapi di teras panas Rudi..”kataku .Mb Rayong khawatir Rudi tidak bisa belajar.”jawabku sambil duduk di bangku kecil yang ada di teras.Rudi pun diam tampaknya dia sedang berpikir.Tiba tiba ia masuk kerumah dan sepuluh menit kemudian dia membawa sebuah payung besar yang biasa digunakan para pedagang kaki lima.Aku dan ibu kaget .”Buat aapa Rudi..”tanyaku tak mengerti. Rudi tak menjawab.Ia hanya membuka payungnya dan” lihat..bu .mbak Rayong..bagus khan “katanya.”Ini payung keteduhan tempat Rudi belajar..hore…hore Rudi sekolah lagi”katanya berputar putar mengelilingi payung besar itu. “Mbak Rayong jadi gurunya ya..Rudi janji mau belajar…dan rajin..Rudi mau jadi orang pintar “kata Rudi sambil terus berlarian.Aku dan Ibu Rudi tertawa senang. Kulirik ibu Rudi. Disudut matanya ada setetes air mata aku berdoa dalam hati itu air mita kebahagiaan. Aku pun mengulang lagi dan menjelaskan apa yang dimaksud dengan cita cita. Kuperhatikan wajah Rudi yang mulai mengerti. ”Oh…itu ya maksudnya cita cita ..kalau gitu Rudi mau jadi..sopir pesawat mau bawa ibu naik haji..ya..bolehkan mbak Rayong?”katanya dengan wajah yang lucu. Aku pun mengannguk tanda setuju. ”Hore..hore Rudi sekolah…Rudi belajar lagi..” katanya sambil terus berputar mengelilingi payung keteduhan kami.
Sejak itu Rudi menjadi muridku.Aku setiap dua hari sekali mengajarnya. Ternyata Rudi anak yang cerdas.Ia cepat bosan bila pelajaran itu diulang lagi.Mengajar Rudi membuatku lebiih kreatif.Karena Rudi tipe anak yang serba ingin tahu.Aku pun mendaftarkannya ke suatu lembaga agar dia ikut ujian kesetaraan.Rudi pun tak malu lagi bila bertemu dengan teman temannya jika dia ditanya sekolah dimana Rudi pun akan menjawab dengan bangga kalau ia sekarang homeschooling.Rudi pun sering mengajak temannya untuk belajar di payung keteduhannya itu.
Di Bawah Payung Keteduhan
Semburat cahaya matahari senja baru saja melintas di atas awan kotaku. Aku sengaja meluangkan waktu soreku menikmati sore di bibir pelabuhan Tanjung Tembaga. Kusapa sore ini dengan sejuta harapan esok hari akan lebih baik dari hari ini. Ah….. andai saja semua tidak berubah secepat ini mungkin Aku tidak terlalu sedih seperti ini. Andi saja orang tuaku mau menyetujui semua rencanaku dengan kekasihku mungkin tak aka nada derita sore seperti ini. Ah …. andai saja. Aku tak mungkin berandai-andai lagi. Hidup yang kujalani nyata….. dan impian belum terjadi. Tak terasa air mataku menetes membasahi pipiku yang sudah terbiasa menjadi tumpahan air mataku. Ingin kuteriakkan namamu tapi aku tahu itu tak akan berarti. Namamu masih terukir indah di hati tapi samar-samar tidak bisa terbaca dengan kasat mataku. “Oh Tuhanku” . . . . rintihku perlahan dalam hati sambil memandang laut lepas di depan mataku.
“Mbak….Mbak…. mau beli kacang….?” Aku menoleh. Kulihat seorang anak kecil usia 10 tahunan dengan barang dagangannya yang diletakkan di baskom kecilnya itu. aku tersenyum….. “berapa harganya dik?” sapaku lembut. “Dua ribu . . . mbak.” Jawabnya. “Oh… iya dech mbak beli sepuluh ribu . . .” kataku sambil terus memperhatikan bocah penjual kacang tadi “hayo dapat berapa?” kataku lagi karena aku lihat dia agak kesulitan menghitung uang sepuluh ribu dibagi “dua ribu”. “adik. . . . kalau kacangnya satu harganya dua ribu jadi kalau beli sepuluh ribu dapat . . . ? kataku . . . . sengaja aku hentikan karena aku ingin si adik penjual kacang itu menghilang.
“Lima . . . “ katanya dengan cepat, takut aku tidak jadi beli. Aku tertawa . . . . “iya . . . masak lama banget menghitungnya dik, kelas berapa?” tanyaku lembut. Si bocah penjual kacang itu menatapku. Kulihat bulir air mata di wajahnya yang teduh. Aku tak kuasa menatapnya. Kuhampiri dan akupun menundukkan badanku dan kuambil tisu untuk mengusap air matanya. “Saya sudah tidak sekolag mbak.” Katanya sambil menerima tisu pemberianku. “Kenapa dik?” kataku terkejut. Bukankah sekarang sekolah gratis dan banyak beasiswa untuk anak-anak tak mampu? “Saya malas sekolah, karena semua temanku mentertawakanku. Kata mereka aku bodoh, lemot dan aku sudahlah mbak, aku benci sekolah.” Jawabnya hampir mau menangis. Tak kuasa air mataku menetes lagi. Tuhanku. . . ternyata masih ada anak yang tak sekolah hanya karena tak bias berpikir cepat seperti anak-anak yang lain, “kataku dalam hati”. “Adik . . . ini uangnya tak usah kembali . . . ambil saja uang kembaliannya, tapi jangan dibuat main PS ya,” kataku sambil memberinya uang lima puluh ribuan.
Melihat uang lima puluh ribuan si bocah penjual kacang sangat senang sekali. Wajahnya langsung ceria. Matanya diusap-usap berkali-kali seperti tak percaya ia memegang uang lima puluh ribuan. “Bener ya . . mbak ini buat saya?” katanya sambil menyalami tangan saya dan menciumnya. “Iya . . dik . . . oh iya siapa namanya?” tanyaku. “Rudi, mbak.” Jawabnya. “Oh iya . . . dik Rudi . . . mbak akan ingat . . . “ kataku sambil tertawa. Rudi pun tertawa. Akupun tak lupa mengabadikan foto Rudi dengan baskom kacangnya. Bukan untuk update status di Facebook.ku tapi untuk kenangan indah sore ini di bibir pelabuhan Tanjung Tembaga.
Sejak kejadian sore di pelabuhan itu aku hamper setiap hari memikirkan Rudi. Penjual kacang itu. Seandainya aku bias lebih tahu banyak tentangnya mungkin aku bias menolong, pikirku. Hampir satu bulan berlalu. Sore hari terkadang aku berharap bisaa bertemu Rudi di pelabuhan Tanjung Tembaga. Kususuri sepanjang dermaga aku tak melihat Rudi. Sampai di pasar ikanpun aku keluar masuk hanya ingin mencari Rudi, si bocah penjual kacang. Entah ada keinginan untuk menolongnya. Hingga suatu sore tanpa sengaja aku dikejutkan lagi dengan suara khasnya . . . “Mbak . . . mau beli kacang?”. Sontak aku kaget dan menoleh ke asal suara. “Subhanallah . . . Rudi . . .” kataku hamper tak percaya setelah selama satu bulan aku melihatnya. Tak disangka bocah penjual kacang itu menyapaku di alun-alun saat kududuk sendiri asyik dengan HP.ku.
“Oh . . . mbak yang di pelabuhan itu ya . . .” katanya dengan mimic lucu. Aku menganggukkan kepala, tanda setuju. Wajahnya kulihat malu-malu. Kali ini Rudi tampak agak bersih. Mungkin sudah mandi, pikirku. “Mbak mau beli kacang sepuluh ribu lagi . . . ?” tanyanya penuh harap. Aku menatapnya sambil mengangguk. Aku sengaja mengeluarkan uang sepuluh ribuan. “Rud . . . boleh gak mbak tahu alamat rumahmu?” tanyaku lembut takut menyinggung perasaan bocah penjual kacang tadi. “Buat apa mbak?” tanyanya. “Pengen tahu saja . . .” kataku lagi. Rudi memberitahuku alamat rumahnya. Ternyata alamatnya tak jauh dari pelabuhan itu. Akupun mencatat alamat rumah di notes buku kecil yang selalu aku bawa. Rudi pun hanya tersenyum saat aku berkata akan ke rumahnya. Aku memang tidak berminat membeli kacang gorengnya. Hanya ingin tahu alamat Rudi saja.
Setelah satu minggu sejak bertemu kembali dengan Rudi di alun-alun aku beranikan diri mendatangi rumahnya. Rumahnya di pojok jalan. Tidak terlalu besar juga tidak terlalu jelek. Rumahnya cukup sehat dengan beberapa ventilasi. Dengan keberanian yang cukup aku pun mengetok pintu rumah Rudi. “Tok . . tok Assalamualaikum” kataku dengan suara agak parau. Maklum aku sudah dua minggu sakit. Jadi suaraku agak berat. Masih tak terdengar suara jawaban dari dalam rumah hingga tetangganya yang baik hati menolongku dengan memanggil nama seorang wanita dari samping rumahnya. Setelah tiga kali teriakan muncullah seorang wanita dengan usia 35 tahun dengan gaya pakaian khasnya penduduk di sini. “Cari siapa mbak?” tanyanya dengan wajah lugu dan dahinya pun mengertut melihat diriku. Maklum aku pun tak mengenalinya. “Bu benar ini rumahnya Rudi?” tanyaku seramah mungkin takut dia tak berkenan padaku. “Betul . . . mbak siapa?” tanyanya balik dengan penuh penasaran.
“Oh iya saya Rayong bu . . .” jawabku masih dengan nada ramah. Kulihat ekspresi wajahnya yang mulai bersahabat tidak kaku lagi. Akupun dipersilahkan memasuki rumahnya.
Di ruang tamu ada meja dan kursi tamu yang sudah agak lama. Tidak punya perabot dalam rumah Rudi. Hanya banyak foto-foto yang terpajang rapi di dinding tembok rumahnya yang warna catnya sudah kusam. Ada foto Rudi, waktu kecil dan ayah dan ibunya. Tampaknya Rudi anak semata wayang. Ibunya pun bercerita tentang keluarganya. Ayah Rudi adalah seorang nelayan yang kapalnya mengalami kecelakaan hingga terbalik. Sampai sekarang jenazah ayahnya tidak ditemukan. Sudah hamper limat tahun tak ada kabar tentang ayahnya. Saat itu Rudi masih duduk di bangku TK. Tinggallah Rudi dan ibunya. Ibunya yang hanya tamatan SD tidak bias berbuat banyak. Ia bekerja serabutan untuk membiayai hidup dirinya dan Rudi. Meskipun ada beberapa saudara dari ayahnya yang peduli terhadap Rudi tetapi sang ibu tidak mau berpangku tangan. Baginya Rudi adalah permata hatinya apapun keadaan Rudi.
Sang ibupun bercerita kalau dari kecil Rudi sangat sulit sekali untuk memahami pelajaran. Sang ibu harus ekstra keras mengajari membaca. Semakin besar sang ibu semakin tidak memahami pelajaran yang ada di sekolah sehingga sang ibu hanya bias pasrah. Rudi tumbuh menjadi anak yang kurang percaya diri ditambah dengan teman-temannya yang selalu mengejeknya membuat Rudi tidak betak di sekolah hingga memutuskan untuk berhenti sekolah. Sang ibu sudah membujuknya tapi Rudi tetap tidak mau ke sekolah. Aku yang mendengar cerita ibu Rudi tak kuasa menahan air mataku. Ibu Rudi meminta tolong padaku untuk membujuk Rudi kembali ke sekolah. Aku pun menyanggupinya. “Insya Allah bu. . . akan saya bantu, agar Rudi mau kembali ke sekolah.” kataku sambil menjabat erat tangan ibunya Rudi. Kulihat air matanya mulai menetes. Ada secerah harapan yang tergambar dalam wajahnya. Aku tak kuasa menahan gejolak perasaanku yang mengharu biru ternyata masih ada orang yang masalahnya lebih rumit dariku, katakuu dalam hati.
Semenjak pertemuan dengan ibunya Rudi, aku berputar mencari cara agar Rudi mau kembali ke sekolah. Memang tidak mudah untuk membuat Rudi kembali ke sekolah apalagi aku belum berpengalaman dalam mengurusi anak. Ya Allah semoga saja hari ini Rudi mau belajar denganku, doaku saat ku starter motorku menuju rumah Rudi.
Hari minggu pagi aku sudah menstater motorku menuju rumah Rudi. Dengan keyakinan dan keikhlasan hatiku untuk menolong Rudi tak kuhiraukan ajakan keluargaku untuk berlibur di Kota Malang. Semoga saja Rudi tak menolak saat aku ajak belajar. Meskipun aku lulusan Sarjana Ekonomi tapi aku tak takut untuk mencoba mengajar Rudi. Kubekali diriku dengan banyak membaca buku literasi dan melihat di internet cara-cara mengajar siswa yang antis meskipun terkadang aku sendiri kurang paham . . . ah yang terpenting aku hadapi saja dulu Rudi. Entah apa yang terjadi nanti aku tak tahu. “Ya Allah tolonglah hambaMu,” doaku sepanjang perjalanan.
Tepat pukul 08.00 aku sudah sampai di rumah Rudi. Kulihat Rudi duduk sambil menghitung uang recehnya di teras depan rumahnya. Ia kaget saat melihatku. Diusap-usap matanya berkali-kali untuk meyakinkan memang benar aku yang datang. “Lupa pada mbak, Rudi?” sapaku ramah. “Assalamualaikum” sapaku. “Waalaikum salam, Mbak . . . mbak yang beli kacangku bukan?” jawabnya sambil tertawa. Aku yang mendengar pun tertawa riang.
“Buk….ibu…..ada tamu,” suara Rudi yang keras membuatku kaget juga. Aku mengira Rudi anaknya lembut tetapi ternyata Rudi anak yang periang. Ibu Rudi pun keluar dengan daster kusutnya dan tangan yang bau amis Ibu Rudi menyalamiku dan menyuruhku masuk. Aku yang sudah terbiasa dengan adat istiadat penduduk di daerah Rudi tak langsung untuk menerima tawaran persaudaraan yang tulus dari penduduk sekitar, meskipun dari logat bicaraku mereka tahu aku bukan putra daerah.
“Ibu sudah kenal sama . . . mbak?” tanya Rudi kaget karena waktu aku ke rumahnya aku tak memberitahu padanya. “Iya . . ibu tahu ini..mbak Rayong ’kata ibu Rudi tersenyum padaku.”Oh..mbak Rayong….namanya…Rudi tahu nya mbak yang beli kacang goring Rudi bu,dan yang member uang rudi limapuluh ribu”jawab Rudi dengan serius.Yach..uang lima puluhribu bagi anak seusia Rudi cukup banyak apalagi orangtua Rudi yang hidup serba pas pasan.Aku dipersilahkan masuk dan kami pun duduk berhadapan.Kukeluarkan buku pelajaran serentak wajah Rudi berubah.Sepertinya dia sudah mengerti kedtangannku .Mungkin ia berpikir aku disuruh ibunya untuk membujuknya kekbali ke sekolah.
“Tidak Rudi tidak mau kesekolah..kembali..mereka jahat.Mereka bilang Rudi tidak pandai Rudi goblok Rudi bodoh..Rudi tidak pantas duduk di bangku sekolah..”katanya sambil teriak dan menangis.Wajahnya ditutupnya dengan tangannya .Aku yang mendengar tangisan anak seusia Rudi pun jadi ikutan menangis .Kulihat ibunya hanya tertunduk sambil tangannya mengusap kepala anak semata wayangnya .Air matanya pu tak henti berderai. Kuhampiri Rudi…dan aku pun duduk didekatnya.Kubelai rambut bocah yatim itu .Aku pun merasakan kesedihan yang sama bagi disayat sembilu mendengar rintaihan tangisannya.Ya Alloh…Rudi pun hambaMU aku yakin Rudi mempunyai kelebihan yang lain dibalik kekurangannya,bathinku.”Sayang tidak harus ke sekolah untuk jadi pandai….Rudi bisa belajar disini bersama mbak Rayong..”kataku mencoba menasehatinya.”Mbak Rayong ke sini untuk membantu Rudi belajar agar Rudi tidak lupa pelajaran..tidak perlu memakai seragam karena mbak Rayong datangnya tidak selalu pagi”.Kulihat wajah Rudi yang tak mengerti.Alisnya mengerut dan tangisannya pun sudah berhenti.Rudi hanya diam sambil memaainkan plastic kacang gorengnya.Dengan suara lirih Rudi berkata padaku..”Nanti mbak Rayong marah kalau aku tidak bias seperti mereka.”Aku hanya tersenyum. Aku tahu yang dikhawatirkan Rudi kalau aku marah jika ia tidak bisa .Kukatakan dan kuyakinkan padanya kalau aku akan selalu sabar dengannya.
“Mbak..Rayong kita belajarnya disini saja ya”kata Rudi dari teras rumahnya.Aku dan ibunya menghampirinya.”Tapi di teras panas Rudi..”kataku .Mb Rayong khawatir Rudi tidak bisa belajar.”jawabku sambil duduk di bangku kecil yang ada di teras.Rudi pun diam tampaknya dia sedang berpikir.Tiba tiba ia masuk kerumah dan sepuluh menit kemudian dia membawa sebuah payung besar yang biasa digunakan para pedagang kaki lima.Aku dan ibu kaget .”Buat aapa Rudi..”tanyaku tak mengerti. Rudi tak menjawab.Ia hanya membuka payungnya dan” lihat..bu .mbak Rayong..bagus khan “katanya.”Ini payung keteduhan tempat Rudi belajar..hore…hore Rudi sekolah lagi”katanya berputar putar mengelilingi payung besar itu. “Mbak Rayong jadi gurunya ya..Rudi janji mau belajar…dan rajin..Rudi mau jadi orang pintar “kata Rudi sambil terus berlarian.Aku dan Ibu Rudi tertawa senang. Kulirik ibu Rudi. Disudut matanya ada setetes air mata aku berdoa dalam hati itu air mita kebahagiaan. Aku pun mengulang lagi dan menjelaskan apa yang dimaksud dengan cita cita. Kuperhatikan wajah Rudi yang mulai mengerti. ”Oh…itu ya maksudnya cita cita ..kalau gitu Rudi mau jadi..sopir pesawat mau bawa ibu naik haji..ya..bolehkan mbak Rayong?”katanya dengan wajah yang lucu. Aku pun mengannguk tanda setuju. ”Hore..hore Rudi sekolah…Rudi belajar lagi..” katanya sambil terus berputar mengelilingi payung keteduhan kami.
Sejak itu Rudi menjadi muridku.Aku setiap dua hari sekali mengajarnya. Ternyata Rudi anak yang cerdas.Ia cepat bosan bila pelajaran itu diulang lagi.Mengajar Rudi membuatku lebiih kreatif.Karena Rudi tipe anak yang serba ingin tahu.Aku pun mendaftarkannya ke suatu lembaga agar dia ikut ujian kesetaraan.Rudi pun tak malu lagi bila bertemu dengan teman temannya jika dia ditanya sekolah dimana Rudi pun akan menjawab dengan bangga kalau ia sekarang homeschooling.Rudi pun sering mengajak temannya untuk belajar di payung keteduhannya itu.V
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Jadi terharu. Siapa kah gerangan relawan yang masih mau mengajari anak yg tak mampu secara cuma2.