PAYUNG PENARI
Payung Penari
“Ah ……….. lucu sekali payung ini,” teriak Mano dari gudang rumah neneknya. Liburan sekolah kali ini dihabiskan Mano untuk menemani sang nenek yang tinggal di desa. Mano ingin menepati janjinya untuk sang almarhum ayahnya yang telah pergi lima bulan yang lalu. Sang ayah yang menderita sakit gagal ginjal memintanya menemani sang nenek yang merupakan ibu dari almarhum ayahnya. Sang ayah berpesan untuk selalu merawat dan menjaga sang nenek karena ayah Mano anak laki-laki dan saudaranya perempuan semua. Bila ingat pesan sang ayah tak kuasa air mata Mano menetes. Ingin rasanya Ia berlari memeluk ayahnya tapi itu semua tak kan pernah terjadi lagi.
“Mano……..Mano,” teriak sang nenek dengan suara paraunya. Maklum usia nenek Mano sudah 65 tahun. “Iya nek…..Mano di gudang atas sambil mengambil payung yang terbuat dari kertas. Payung itu tampak lusuh terlihat dari warnanya yang mulai kusam. Mano turun dengan membawa payung berwarna merah itu. Sang nenek pun terkejut saat Mano membawa payung itu padanya. “Cantik ya nek,” kata Mano sambil berputar dengan payung kertas yang lusuh itu. “Eh..eh cantik,” suara nenek yang disertai batuk-batuk membuat Mano iba padanya. Nenek tampak memandang payung itu. Tiba-tiba air matanya jatuh ke pipinya yang sudah keriput. “Tangannya pun gemetar saat memegang payung kertas itu. “Nek,, nek, apa nenek sakit?” Tanya Mano khawatir dengan kondisi neneknya. Maklum semenjak Mano kehilangan ayahnya, sang nenek adalah tempat Mano untuk melepas rindu bila ia rindu sang ayah. “Tidak Mano, nenek tidak sakit…..hanya nenek sedih kalau lihat payung itu,” jawab nenek sambil duduk di kursi kesayangannya. “Kenapa nek?” balas Mano. “payung itu mengingatkan nenek pada ayahmu. Dulu waktu ayahmu belum lahir nenek adalah penari. Semua tarian daerah manapun nenek pelajari sehingga nenek terkenal sebagai penari. Tangan nenek yang lemah gemulai mengantarkan nenek menjadi diva penari di daerah sini setiap pertunjukan apapun di pendopo selalu memanggil nenek. Tapi nenek paling suka menari tari payung. Karena tarian itu bagi nenek melambangkan kasih sayang seorang ibu pada anaknya,” kata nenek mulai bercerita masa lalunya. Mano melihat mata nenek yang menerawang jauh.
“Saat itu hujan deras, ayahmu sakit keras. Kakekmu belum juga pulang sementara nenek tidak punya uang sama sekali untuk berobat ayahmu. Nenek sudah berusaha meminjam uang pada tetangga tetapi kehidupan mereka juga sama dengan nenek. Untuk makan saja mereka susah apalagi untuk memberi pinjaman. Hingga akhirnya nenek mendatangi rumah Pak Dullah juragan beras yang jahat dan pelit. Tapi demi ayahmu yang sakit nenek mau mengorbankan apa saja. Pak Dullah mau memberikan pinjaman dengan syarat nenek mau menari tari payung. Payung kertas ini menjadi saksi bisu. Nenek menari dengan pikiran yang kacau karena ayah Mano sakit. Pak Dullah memang tak mengenal perasaan. Nenek diharuskan menari hingga tiga tarian.
Tak kuasa air mata mano menetes membayangkan kepedihan nenek dan ayahnya. Payung kertas ini yang membuat nenek bertahan menari demi uang untuk mengobati ayah Mano. Begitulah Mano….mengapa payung itu tetap tersimpan rapi di gudang. Ayahmu biasanya membersihkannya dan merawat agar tidak rusak karena payung kertas ini modal bagi nenek untuk mencari nafkah membantu kakekmu yang sakit-sakitan. “Duh…..nek betapa berartinya payung ini…” kata mano dalam hati.
“Nek….bolehkah Mano membawa pulang payung kertas ini?” tanya Mano perlahan takut nenek tidak setuju. Neneknya memandang Mano. Dari sudut matanya keluarlah air mata. “Boleh Mano bawa pulang,, rawatlah karena payung kertas ini payung kesayangan ayahmu juga. Kalau nenek lihat mata Mano, nenek seperti melihat ayahmu. Mano sangat mirip dengan ayahmu. Nenek tidak bisa memberikan kehidupan yang banyak waktu ayahmu kecil. Ayahmu sangat berbakti pada nenek, tak di biarkan nenek untuk jadi penari lagi, ayahmu sungguh anak yang baik…Mano, nenek jadi rindu ayahmu…” kata nenek dengan menangis. Mano pun turut menangis. Ia jadi teringat almarhum ayahnya.
“Nek…..bolehkah Mano belajar menari payung?” tanya Mano. Mano ingin menari buat ayah dan nenek. Karena payung kertas ini membuat Mano dekat dengan ayah. Apalagi ayah berpesan untuk selalu menyenangkan nenek. Nek…….ajari Mano menari payung. Mano ingin melestarikan tarian daerah nek. Mano ingin keliling dunia dengan menari payung kertas ini. Nek……banyak payung yang cantik di dunia sana tapi hanya ada satu payung yang memberikan arti kehidupan bagi pemiliknya. Yaa……payung kertas ini…..,” nek …..lihatlah…….” Mano bangkit dan berputar-putar dengan payung kertasnya. Karena ada darah seni yang mengalir dalam tubuhnya, gerakan Mano pun luwes dan lemah gemulai. “Hore Mano jadi penari payung,” kata Mano sambil mencium sang nenek. Sang nenek pun tersenyum dan merangkul cucu kesayangannya itu. “Mano akan mengenalkan tari tradisional Indonesia ini ke Luar Negeri Nek, Mano kan cucu nenek yang paling cantik,” kata Mano yang sambil menada rayuan kepada neneknya. Beberapa tahun kemudian, akhirnya nenek Mano meninggal dunia dan Mano pun sukses mengenalkan tarian tradisional tersebut sampai ke Luar Negeri berkat payung kertas milik nenek.
Payung Penari
“Ah ……….. lucu sekali payung ini,” teriak Mano dari gudang rumah neneknya. Liburan sekolah kali ini dihabiskan Mano untuk menemani sang nenek yang tinggal di desa. Mano ingin menepati janjinya untuk sang almarhum ayahnya yang telah pergi lima bulan yang lalu. Sang ayah yang menderita sakit gagal ginjal memintanya menemani sang nenek yang merupakan ibu dari almarhum ayahnya. Sang ayah berpesan untuk selalu merawat dan menjaga sang nenek karena ayah Mano anak laki-laki dan saudaranya perempuan semua. Bila ingat pesan sang ayah tak kuasa air mata Mano menetes. Ingin rasanya Ia berlari memeluk ayahnya tapi itu semua tak kan pernah terjadi lagi.
“Mano……..Mano,” teriak sang nenek dengan suara paraunya. Maklum usia nenek Mano sudah 65 tahun. “Iya nek…..Mano di gudang atas sambil mengambil payung yang terbuat dari kertas. Payung itu tampak lusuh terlihat dari warnanya yang mulai kusam. Mano turun dengan membawa payung berwarna merah itu. Sang nenek pun terkejut saat Mano membawa payung itu padanya. “Cantik ya nek,” kata Mano sambil berputar dengan payung kertas yang lusuh itu. “Eh..eh cantik,” suara nenek yang disertai batuk-batuk membuat Mano iba padanya. Nenek tampak memandang payung itu. Tiba-tiba air matanya jatuh ke pipinya yang sudah keriput. “Tangannya pun gemetar saat memegang payung kertas itu. “Nek,, nek, apa nenek sakit?” Tanya Mano khawatir dengan kondisi neneknya. Maklum semenjak Mano kehilangan ayahnya, sang nenek adalah tempat Mano untuk melepas rindu bila ia rindu sang ayah. “Tidak Mano, nenek tidak sakit…..hanya nenek sedih kalau lihat payung itu,” jawab nenek sambil duduk di kursi kesayangannya. “Kenapa nek?” balas Mano. “payung itu mengingatkan nenek pada ayahmu. Dulu waktu ayahmu belum lahir nenek adalah penari. Semua tarian daerah manapun nenek pelajari sehingga nenek terkenal sebagai penari. Tangan nenek yang lemah gemulai mengantarkan nenek menjadi diva penari di daerah sini setiap pertunjukan apapun di pendopo selalu memanggil nenek. Tapi nenek paling suka menari tari payung. Karena tarian itu bagi nenek melambangkan kasih sayang seorang ibu pada anaknya,” kata nenek mulai bercerita masa lalunya. Mano melihat mata nenek yang menerawang jauh.
“Saat itu hujan deras, ayahmu sakit keras. Kakekmu belum juga pulang sementara nenek tidak punya uang sama sekali untuk berobat ayahmu. Nenek sudah berusaha meminjam uang pada tetangga tetapi kehidupan mereka juga sama dengan nenek. Untuk makan saja mereka susah apalagi untuk memberi pinjaman. Hingga akhirnya nenek mendatangi rumah Pak Dullah juragan beras yang jahat dan pelit. Tapi demi ayahmu yang sakit nenek mau mengorbankan apa saja. Pak Dullah mau memberikan pinjaman dengan syarat nenek mau menari tari payung. Payung kertas ini menjadi saksi bisu. Nenek menari dengan pikiran yang kacau karena ayah Mano sakit. Pak Dullah memang tak mengenal perasaan. Nenek diharuskan menari hingga tiga tarian.
Tak kuasa air mata mano menetes membayangkan kepedihan nenek dan ayahnya. Payung kertas ini yang membuat nenek bertahan menari demi uang untuk mengobati ayah Mano. Begitulah Mano….mengapa payung itu tetap tersimpan rapi di gudang. Ayahmu biasanya membersihkannya dan merawat agar tidak rusak karena payung kertas ini modal bagi nenek untuk mencari nafkah membantu kakekmu yang sakit-sakitan. “Duh…..nek betapa berartinya payung ini…” kata mano dalam hati.
“Nek….bolehkah Mano membawa pulang payung kertas ini?” tanya Mano perlahan takut nenek tidak setuju. Neneknya memandang Mano. Dari sudut matanya keluarlah air mata. “Boleh Mano bawa pulang,, rawatlah karena payung kertas ini payung kesayangan ayahmu juga. Kalau nenek lihat mata Mano, nenek seperti melihat ayahmu. Mano sangat mirip dengan ayahmu. Nenek tidak bisa memberikan kehidupan yang banyak waktu ayahmu kecil. Ayahmu sangat berbakti pada nenek, tak di biarkan nenek untuk jadi penari lagi, ayahmu sungguh anak yang baik…Mano, nenek jadi rindu ayahmu…” kata nenek dengan menangis. Mano pun turut menangis. Ia jadi teringat almarhum ayahnya.
“Nek…..bolehkah Mano belajar menari payung?” tanya Mano. Mano ingin menari buat ayah dan nenek. Karena payung kertas ini membuat Mano dekat dengan ayah. Apalagi ayah berpesan untuk selalu menyenangkan nenek. Nek…….ajari Mano menari payung. Mano ingin melestarikan tarian daerah nek. Mano ingin keliling dunia dengan menari payung kertas ini. Nek……banyak payung yang cantik di dunia sana tapi hanya ada satu payung yang memberikan arti kehidupan bagi pemiliknya. Yaa……payung kertas ini…..,” nek …..lihatlah…….” Mano bangkit dan berputar-putar dengan payung kertasnya. Karena ada darah seni yang mengalir dalam tubuhnya, gerakan Mano pun luwes dan lemah gemulai. “Hore Mano jadi penari payung,” kata Mano sambil mencium sang nenek. Sang nenek pun tersenyum dan merangkul cucu kesayangannya itu. “Mano akan mengenalkan tari tradisional Indonesia ini ke Luar Negeri Nek, Mano kan cucu nenek yang paling cantik,” kata Mano yang sambil menada rayuan kepada neneknya. Beberapa tahun kemudian, akhirnya nenek Mano meninggal dunia dan Mano pun sukses mengenalkan tarian tradisional tersebut sampai ke Luar Negeri berkat payung kertas milik nenek.
Payung Penari
“Ah ……….. lucu sekali payung ini,” teriak Mano dari gudang rumah neneknya. Liburan sekolah kali ini dihabiskan Mano untuk menemani sang nenek yang tinggal di desa. Mano ingin menepati janjinya untuk sang almarhum ayahnya yang telah pergi lima bulan yang lalu. Sang ayah yang menderita sakit gagal ginjal memintanya menemani sang nenek yang merupakan ibu dari almarhum ayahnya. Sang ayah berpesan untuk selalu merawat dan menjaga sang nenek karena ayah Mano anak laki-laki dan saudaranya perempuan semua. Bila ingat pesan sang ayah tak kuasa air mata Mano menetes. Ingin rasanya Ia berlari memeluk ayahnya tapi itu semua tak kan pernah terjadi lagi.
“Mano……..Mano,” teriak sang nenek dengan suara paraunya. Maklum usia nenek Mano sudah 65 tahun. “Iya nek…..Mano di gudang atas sambil mengambil payung yang terbuat dari kertas. Payung itu tampak lusuh terlihat dari warnanya yang mulai kusam. Mano turun dengan membawa payung berwarna merah itu. Sang nenek pun terkejut saat Mano membawa payung itu padanya. “Cantik ya nek,” kata Mano sambil berputar dengan payung kertas yang lusuh itu. “Eh..eh cantik,” suara nenek yang disertai batuk-batuk membuat Mano iba padanya. Nenek tampak memandang payung itu. Tiba-tiba air matanya jatuh ke pipinya yang sudah keriput. “Tangannya pun gemetar saat memegang payung kertas itu. “Nek,, nek, apa nenek sakit?” Tanya Mano khawatir dengan kondisi neneknya. Maklum semenjak Mano kehilangan ayahnya, sang nenek adalah tempat Mano untuk melepas rindu bila ia rindu sang ayah. “Tidak Mano, nenek tidak sakit…..hanya nenek sedih kalau lihat payung itu,” jawab nenek sambil duduk di kursi kesayangannya. “Kenapa nek?” balas Mano. “payung itu mengingatkan nenek pada ayahmu. Dulu waktu ayahmu belum lahir nenek adalah penari. Semua tarian daerah manapun nenek pelajari sehingga nenek terkenal sebagai penari. Tangan nenek yang lemah gemulai mengantarkan nenek menjadi diva penari di daerah sini setiap pertunjukan apapun di pendopo selalu memanggil nenek. Tapi nenek paling suka menari tari payung. Karena tarian itu bagi nenek melambangkan kasih sayang seorang ibu pada anaknya,” kata nenek mulai bercerita masa lalunya. Mano melihat mata nenek yang menerawang jauh.
“Saat itu hujan deras, ayahmu sakit keras. Kakekmu belum juga pulang sementara nenek tidak punya uang sama sekali untuk berobat ayahmu. Nenek sudah berusaha meminjam uang pada tetangga tetapi kehidupan mereka juga sama dengan nenek. Untuk makan saja mereka susah apalagi untuk memberi pinjaman. Hingga akhirnya nenek mendatangi rumah Pak Dullah juragan beras yang jahat dan pelit. Tapi demi ayahmu yang sakit nenek mau mengorbankan apa saja. Pak Dullah mau memberikan pinjaman dengan syarat nenek mau menari tari payung. Payung kertas ini menjadi saksi bisu. Nenek menari dengan pikiran yang kacau karena ayah Mano sakit. Pak Dullah memang tak mengenal perasaan. Nenek diharuskan menari hingga tiga tarian.
Tak kuasa air mata mano menetes membayangkan kepedihan nenek dan ayahnya. Payung kertas ini yang membuat nenek bertahan menari demi uang untuk mengobati ayah Mano. Begitulah Mano….mengapa payung itu tetap tersimpan rapi di gudang. Ayahmu biasanya membersihkannya dan merawat agar tidak rusak karena payung kertas ini modal bagi nenek untuk mencari nafkah membantu kakekmu yang sakit-sakitan. “Duh…..nek betapa berartinya payung ini…” kata mano dalam hati.
“Nek….bolehkah Mano membawa pulang payung kertas ini?” tanya Mano perlahan takut nenek tidak setuju. Neneknya memandang Mano. Dari sudut matanya keluarlah air mata. “Boleh Mano bawa pulang,, rawatlah karena payung kertas ini payung kesayangan ayahmu juga. Kalau nenek lihat mata Mano, nenek seperti melihat ayahmu. Mano sangat mirip dengan ayahmu. Nenek tidak bisa memberikan kehidupan yang banyak waktu ayahmu kecil. Ayahmu sangat berbakti pada nenek, tak di biarkan nenek untuk jadi penari lagi, ayahmu sungguh anak yang baik…Mano, nenek jadi rindu ayahmu…” kata nenek dengan menangis. Mano pun turut menangis. Ia jadi teringat almarhum ayahnya.
“Nek…..bolehkah Mano belajar menari payung?” tanya Mano. Mano ingin menari buat ayah dan nenek. Karena payung kertas ini membuat Mano dekat dengan ayah. Apalagi ayah berpesan untuk selalu menyenangkan nenek. Nek…….ajari Mano menari payung. Mano ingin melestarikan tarian daerah nek. Mano ingin keliling dunia dengan menari payung kertas ini. Nek……banyak payung yang cantik di dunia sana tapi hanya ada satu payung yang memberikan arti kehidupan bagi pemiliknya. Yaa……payung kertas ini…..,” nek …..lihatlah…….” Mano bangkit dan berputar-putar dengan payung kertasnya. Karena ada darah seni yang mengalir dalam tubuhnya, gerakan Mano pun luwes dan lemah gemulai. “Hore Mano jadi penari payung,” kata Mano sambil mencium sang nenek. Sang nenek pun tersenyum dan merangkul cucu kesayangannya itu. “Mano akan mengenalkan tari tradisional Indonesia ini ke Luar Negeri Nek, Mano kan cucu nenek yang paling cantik,” kata Mano yang sambil menada rayuan kepada neneknya. Beberapa tahun kemudian, akhirnya nenek Mano meninggal dunia dan Mano pun sukses mengenalkan tarian tradisional tersebut sampai ke Luar Negeri berkat payung kertas milik nenek.
Payung Penari
“Ah ……….. lucu sekali payung ini,” teriak Mano dari gudang rumah neneknya. Liburan sekolah kali ini dihabiskan Mano untuk menemani sang nenek yang tinggal di desa. Mano ingin menepati janjinya untuk sang almarhum ayahnya yang telah pergi lima bulan yang lalu. Sang ayah yang menderita sakit gagal ginjal memintanya menemani sang nenek yang merupakan ibu dari almarhum ayahnya. Sang ayah berpesan untuk selalu merawat dan menjaga sang nenek karena ayah Mano anak laki-laki dan saudaranya perempuan semua. Bila ingat pesan sang ayah tak kuasa air mata Mano menetes. Ingin rasanya Ia berlari memeluk ayahnya tapi itu semua tak kan pernah terjadi lagi.
“Mano……..Mano,” teriak sang nenek dengan suara paraunya. Maklum usia nenek Mano sudah 65 tahun. “Iya nek…..Mano di gudang atas sambil mengambil payung yang terbuat dari kertas. Payung itu tampak lusuh terlihat dari warnanya yang mulai kusam. Mano turun dengan membawa payung berwarna merah itu. Sang nenek pun terkejut saat Mano membawa payung itu padanya. “Cantik ya nek,” kata Mano sambil berputar dengan payung kertas yang lusuh itu. “Eh..eh cantik,” suara nenek yang disertai batuk-batuk membuat Mano iba padanya. Nenek tampak memandang payung itu. Tiba-tiba air matanya jatuh ke pipinya yang sudah keriput. “Tangannya pun gemetar saat memegang payung kertas itu. “Nek,, nek, apa nenek sakit?” Tanya Mano khawatir dengan kondisi neneknya. Maklum semenjak Mano kehilangan ayahnya, sang nenek adalah tempat Mano untuk melepas rindu bila ia rindu sang ayah. “Tidak Mano, nenek tidak sakit…..hanya nenek sedih kalau lihat payung itu,” jawab nenek sambil duduk di kursi kesayangannya. “Kenapa nek?” balas Mano. “payung itu mengingatkan nenek pada ayahmu. Dulu waktu ayahmu belum lahir nenek adalah penari. Semua tarian daerah manapun nenek pelajari sehingga nenek terkenal sebagai penari. Tangan nenek yang lemah gemulai mengantarkan nenek menjadi diva penari di daerah sini setiap pertunjukan apapun di pendopo selalu memanggil nenek. Tapi nenek paling suka menari tari payung. Karena tarian itu bagi nenek melambangkan kasih sayang seorang ibu pada anaknya,” kata nenek mulai bercerita masa lalunya. Mano melihat mata nenek yang menerawang jauh.
“Saat itu hujan deras, ayahmu sakit keras. Kakekmu belum juga pulang sementara nenek tidak punya uang sama sekali untuk berobat ayahmu. Nenek sudah berusaha meminjam uang pada tetangga tetapi kehidupan mereka juga sama dengan nenek. Untuk makan saja mereka susah apalagi untuk memberi pinjaman. Hingga akhirnya nenek mendatangi rumah Pak Dullah juragan beras yang jahat dan pelit. Tapi demi ayahmu yang sakit nenek mau mengorbankan apa saja. Pak Dullah mau memberikan pinjaman dengan syarat nenek mau menari tari payung. Payung kertas ini menjadi saksi bisu. Nenek menari dengan pikiran yang kacau karena ayah Mano sakit. Pak Dullah memang tak mengenal perasaan. Nenek diharuskan menari hingga tiga tarian.
Tak kuasa air mata mano menetes membayangkan kepedihan nenek dan ayahnya. Payung kertas ini yang membuat nenek bertahan menari demi uang untuk mengobati ayah Mano. Begitulah Mano….mengapa payung itu tetap tersimpan rapi di gudang. Ayahmu biasanya membersihkannya dan merawat agar tidak rusak karena payung kertas ini modal bagi nenek untuk mencari nafkah membantu kakekmu yang sakit-sakitan. “Duh…..nek betapa berartinya payung ini…” kata mano dalam hati.
“Nek….bolehkah Mano membawa pulang payung kertas ini?” tanya Mano perlahan takut nenek tidak setuju. Neneknya memandang Mano. Dari sudut matanya keluarlah air mata. “Boleh Mano bawa pulang,, rawatlah karena payung kertas ini payung kesayangan ayahmu juga. Kalau nenek lihat mata Mano, nenek seperti melihat ayahmu. Mano sangat mirip dengan ayahmu. Nenek tidak bisa memberikan kehidupan yang banyak waktu ayahmu kecil. Ayahmu sangat berbakti pada nenek, tak di biarkan nenek untuk jadi penari lagi, ayahmu sungguh anak yang baik…Mano, nenek jadi rindu ayahmu…” kata nenek dengan menangis. Mano pun turut menangis. Ia jadi teringat almarhum ayahnya.
“Nek…..bolehkah Mano belajar menari payung?” tanya Mano. Mano ingin menari buat ayah dan nenek. Karena payung kertas ini membuat Mano dekat dengan ayah. Apalagi ayah berpesan untuk selalu menyenangkan nenek. Nek…….ajari Mano menari payung. Mano ingin melestarikan tarian daerah nek. Mano ingin keliling dunia dengan menari payung kertas ini. Nek……banyak payung yang cantik di dunia sana tapi hanya ada satu payung yang memberikan arti kehidupan bagi pemiliknya. Yaa……payung kertas ini…..,” nek …..lihatlah…….” Mano bangkit dan berputar-putar dengan payung kertasnya. Karena ada darah seni yang mengalir dalam tubuhnya, gerakan Mano pun luwes dan lemah gemulai. “Hore Mano jadi penari payung,” kata Mano sambil mencium sang nenek. Sang nenek pun tersenyum dan merangkul cucu kesayangannya itu. “Mano akan mengenalkan tari tradisional Indonesia ini ke Luar Negeri Nek, Mano kan cucu nenek yang paling cantik,” kata Mano yang sambil menada rayuan kepada neneknya. Beberapa tahun kemudian, akhirnya nenek Mano meninggal dunia dan Mano pun sukses mengenalkan tarian tradisional tersebut sampai ke Luar Negeri berkat payung kertas milik nenek.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar