RUJAK EROK EROK
Rujak Erok-Erok
“Wow” pedas dan “ehm” petisnya terasa banget”, pujiku pada penjual rujak erok-erok Bik Rodiah langgananku. Baik Rodiah hanya tersennyum senang saat kupuji rujak erok-eroknya. Tangannya dengan terampil mengiris aneka buah untuk rujak erok-eroknya itu.
Bik Rodiah adalah penjual rujak erok-erok langgananku. Perawakannya yang kecil kurus menambah semakin mudah dikenali diantara penjual rujak keliling disekitar rumahku. Banyak penjual rujak keliling yang selalu berseliweran lewat di depan rumahku. Dari rujak erok-erok, rujak cingur rujak manis, rujak serut, rujak gobet pokoknya semua jenis rujak hampir bisa dipastikan lewat depan rumahku. Rumahku yang tidak jauh dari jalan raya memang menjadi sasaran empuk bagi pedagang kaki lima. Karena mayoritas rumah-rumah disekitar rumahku besar dan megah. Mobil-mobilpun terparkir rapi hampir di setiap rumah. Tidak bisa dibayangkan betapa kayanya para tetanggaku termasuk aku dipikiran para pedagang kaki lima.
Dari mulai subuh seluruh aktifitas pedagang kaki lima sudah terlihat di sekitar rumahku. Ada yang berjualan soto keliling, nasi uduk, nasi jagung pokoknya semuanya ada. Para ibu-ibu di sekitar rumahku juga merasa terbantu karena tidak perlu jauh-jauh mencari sarapan pagi. Cukup dengan sekali teriakan para pedagang kaki lima langsung siap dengan dagangan mereka. Tinggal memilih selera dan menu untuk hari ini.
Tapi bagiku hanya satu penjual kaki lima yang membuatku tertarik sejak aku masuk kelas lima sekolah dasar hingga aku duduk di bangku kuliah semester tiga aku sudah berlangganan rujak erok-erok “Bik Rodiah”. Biasanya di hari Minggu aku sudah menunggu “bik Rodiah” dengan rujak erok-eroknya. Bik Rodiah juga sudah hafal betul dengan diriku dan seleraku. Aku yang suka rasa pedas selalu menambah cabe membuat bik Rodiah kadang-kadang geleng-geleng kepala. Seperti pagi ini karena kuliahku libur 1 bulan hampir dipastikan setiap hari aku makan rujak erok-erok bik Rodiah.
“Bik cabenya yang banyak”, kataku pada bik Rodiah saat membuat sambal rujak erok-eroknya. Cukup sederhana sekali sebenarnya rujak erok-erok itu. Kata mamaku sebaiknya aku buat sendiri. Karena sambal rujak erok-erok hanya terbuat dari cabe sedikit garam dan gula diberi petis yang banyak dikasih air sedikit. Mudah sekali membuatnya. Tapi aku sama sekali tak tertarik untuk membuatnya karena menurutku lebih enak rujak erok-erok bik Rodiah. Keluguannya dan ramahnya bik Rodiah yang membuat ku betah berjam-jam menunggu lewatnya bik Rodiah dengan rujak erok-eroknya itu.
“Enggak takut sakit perut ning Aya”, kata bik Rodiah sambil tersenyum. “Cabe mahal ning Aya sekarang...., cabenya dikurangi ya... Satu kilo sekarang seratus ribu. Haduch...pusing bibik mikirnya”, kata bik Rodiah dengan raut wajah sedikit kesal. Aku melihatnya jadi tertawa. “Kok tertawa sich ning Aya, seneng ya kalau bibik Rodiah bangkrut” kata bik Rodiah lagi. “Hahahaha kalau cabe mahal kok gak tanam sendiri bik?” jawabku asal saja. Aku memang paling suka menggoda bik Rodiah karena bik Rodiah tak pernah marah kalau aku goda dengan banyolanku. Mamaku dan kakakku pun kadang ikut-ikutan makan rujak erok-erok bik Rodiah dan mengobrol dengan penjual rujak erok-erok yang baik hati itu.
Bagaimana tidak penampilan bik Rodiah yang kecil dan bersepeda saat jual rujak erok-erok ini bisa dibilang lain dari yang lain. Tidak seperti pada umumnya bik Rodiah dalam menjajakan rujak erok-eroknya dengan pakaian muslim yang rapi dan memakai celana panjang. Pernah aku melihat bik Rodiah dengan penampilannya yang cukup bersih berjualan rujak erok-erok di sekitar rumahku. Dengan suaranya yang keras meleking pasti penduduk di sekitar rumahku itu tahu bahasa itu suara khas Bik Rodiah.
Usianya yang sudah memasuki 40 tahun memang sudah tidak muda lagi. Dari dulu aku tahu mempunyai 3 orang anak. Anaknya yang pertama usianya hampir sama denganku. Karena kata bik Rodiah dia menikah muda karena di daerahnya usia 15 tahun rata-rata sudah menikah jadi bisa dibilang bik Rodiah menikah muda. Nakanya yang kedua SMP kelas 7 dan yang bungsu SD kelas 4. Sementara itu suami bik Rodiah berprofesi sebagai tukang becak. Jadi untuk membantu perekonomian keluarganya bik Rodiah berjualan rujak erok-erok.
“Bik.... Enggak capek jualan rujak?” tanyaku sambil mengamati wajah bik Rodiah. Ada goresan tua di wajahnya. Mungkin terlalu keras dalam kehidupan ini hingga bik Rodiah tak sempat merawat wajahnya. Dibandingkan mamaku bik Rodiah masih dibawah umur mamaku. Mamaku yang memasuki usia 50 tahun tetapi masih seperti ibu-ibu usia 30 tahun. Kadang-kadang temanku tidak percaya kalau itu mamaku. Mereka mengira kakakku. Mamaku memang rajin ke salon dan spa untuk perawatan wajah dan tubuhnya. Kata mamaku kita harus menjaga tubuh kita agar suami tidak berpaling ke wanita lain. Tapi bagi bik Rodiah pergi ke salon hanya memboroskan uang. Karena untuk makan saja mereka susah apalagi kalau salon. “Oh Tuhanku mengapa mamaku ini tidak beramal saja daripada uang dihabiskan untuk salon?” pikirku dalam hati.
“Ya capek juga sich ning Aya.... Tapi bik Rodiah hanya bisa jualan rujak. Maklum bibik dulu cuma sekolah sampai SD saja”. “Sewa tempat bik untuk warung rujak erok-erok”, kataku sambil terus makan rujak erok-erok yang cukup pedas itu. Sementara bibik Rodiah membuat 5 bungkus rujak erok-erok pesanan mamaku. Karena ada teman mama yang lagi kepingin makan rujak erok-erok bik Rodiah.
“Kok diam, bik.... Kalau punya warung khan bik Rodiah gak capek. Bik Rodiah juga bisa jual minuman es”, kataku panjang lebar. Dengan senyumnya yang khas bik Rodiah menjawab pertanyaanku “Uang dari mana ning Aya, mahal untuk sewa warung. Biaya beli buku-buku anak-anak saja bibik udach dibantu. Apalagi sekarang suami bibik lagi sakit gak bisa narik becak. Jadi hanya bibik yang kerja”. “Lho sakit apa bik, suaminya?” kataku terkejut. Selama ini aku melihat Bibik Rodiah wanita yang tergar. Aku selama menjadi pelanggan setia bik Rodiah tidak pernah bik Rodiah mengeluh. Semua kehidupan ini dijalaninya dengan banyak bersyukur, kata bik Rodiah padaku. Beda banget dengan sifat mamaku. Uang belanja kurang sedikit saja mamaku sudah teriak-teriak seperti kehilangan uang satu truck. Mestinya mamaku juga harus belajar dari Bik Rodiah banyak bersyukur. “Memang kalau kita sering besyukur hidup menjadi tentram ya bik?” kataku suatu hari saat aku beli rujak erok-eroknya. Aku ingat waktu aku masih duduk di SMP kelas 7. Dan kehidupan keluargaku juga sangat jauh dari kehidupan bik Rodiah.
Di keningnya ada kerutan-kerutan. “Sakit apa bik, suaminya?” tanyaku. “Biasa ning Aya....batuk”. “Sudah dibawa ke dokter?” tanyaku lagi. “Ke puskesmas ning Aya.... Sudah diberi obat sama bu dokter”, jawab Bik Rodiah dengan logat Maduranya yang kental. “Oh pakai BPJS ya bik....”. “Bukan ning Aya. Pakai foto copy surat dari kelurahan kalau saya tidak mampu... Apa ya namanya bibik lupa ning...”, kata bik Rodiah mencoba mengingat-ingat. “Kartu Indonesia sehat, ya bik”, kataku lagi. Aku maklum bik Rodiah yang hanya tamatan Sekolah Dasar pasti sulit untuk diajak mengingat. “Eh iya ning Aya....betul...” bik Rodiah tertawa. “Sekarang udach baikan khan bik Rodiah?” tanyaku menanyakan keadaan suami bik Rodiah. “Alhamdulillah sudah ning... Cuma masih harus istirahat, kata bu dokter. Makanya bibik jualannya sekarang sampai sore”, jawab Bik Rodiah sambil terus mengulek sambel rujak erok-eroknya. Maklum teman mamaku memang rada cerewet. Ada yang pesan cabe 2 ada yang lima ada yang gak pakai cabe. Tapi semua pesanan teman mamaku dibuat semua bik Rodiah. Aku melihat tangan bik Rodiah yang kecil tapi cekatan jika sudah mengiris buah untuk rujak erok-eroknya.
“Ini ning Aya rujak erok-erok mamanya ning Aya”, kata bik Rodiah sambil menyerahkan rujak itu kepadaku. “Ma...rujaknya sudah”, kataku sambil teriak memanggil mamaku. Aku yang terlahir sebagai anak bungsu memang masih kolokan dan manja. Bik Rodiah hanya tertawa. “Ning Aya gak berubah ya... Dari dulu waktu ning Aya masih SD sampai sekarang udah kuliah.....” kata bik Rodiah tersenyum. “Apanya yang gak berubah bik?” tanyaku penasaran. “Kolokannya ya bik”, jawab mamaku tiba-tiba dari arah belakangku. Ternyata mamaku sedari tadi mendengar percakapanku dengan bik Rodiah. Bibik Rodiah tertawa sambil mengangguk-angguk tanda setuju dengan pernyataan mamaku. Aku hanya cemberut. “Ntar aku gak beli lagi lho....bik”, kataku pura-pura mengancam bik Rodiah. “Aduch ning Aya.....ampun... Kalau ning Aya gak beli siapa yang beli rujak bik Rodiah,....” jawab bik Rodiah dengan muka memelas. “Hahaha....makanya bik jangan.....” belum sempat aku berbicara mamaku udah menarik tanganku. Karena mama tahu aku paling hobi menggoda orang terutama bik Rodiah. “Sudah bik....jangan didengarkan omongannya aya. Memang selalu begitu dari dul, ya kan bik?” kata mamaku lagi. “Iya buk saya hafal betuk watak ning Aya”. Oh ya berapa semua bik”, kata mamaku sambil mengeluarkan uang seratus ribuan. “Semua 40 ribu rupiah buk.... Biasa ning Aya dua porsi”, kata bik Rodiah mencoba menghitung jumlah total harga rujak erok-eroknya. “Bik kembaliannya diambil saja. Suami bik Rodiah sakit khan. Tadi saya sempat mendengar obrolan bibik sama Aya” kata mamaku. Aku kaget juga...tumben mama beramal walau dengan uang kembalian rujak erok-erok. Alhamdulillah mudah-mudahan mama juga terbuka hatinya untuk menambah uang sakuku..” doaku dalam hati. “Makasih buk...makasih banyak...kelangkong....” jawab bik Rodiah dengan logat Maduranya yang kental. Dari raut wajahnya tergambar rasa bahagia yang tidak bisa dilukiskan. Padahal mungkin bagi mamaku uang Rp. 60.000 itu tidak ada artinya apa-apa. Harga sandal jepit mama saja Rp. 150.000. Ukuran besar tidaknya nilai uang itu memang tergantung dari orangnya yang memakai uang tersebut. Bagi Bik Rodiah mungkin uang itu bisa dibelikan beras 8 kg bisa dibuat makan satu minggu. Sungguh berbeda sekali kehidupan bik Rodiah dan mamaku. Bagai langit dan bumi, gumamku dalam hati.
Selama libur kuliah bisa dipastikan hari-hariku diwarnai dengan aneka menu rujak. Aku pernah mencoba menu rujak lain dari bibik rujak yang lewat di depan rumahku. Tapi tak satupun yang cocok di lidahku. Rujak erok-erok bik Rodiah yang menurutku sangat enak dan cocok di lidahku. Bik Rodiah yang lugu, pembersih karena tidak jorok dan gaya bicaranya yang sopan meski dengan logat Maduranya yang kental membuatku tak bisa pindah ke lain rujak.
Mamaku hanya bisa geleng-geleng kepala kalau aku sering buang air besar alias diare karena terlalu pedas makan rujak erok-eroknya. Tapi aku tak pernah kapok. Bagiku rujak erok-erok tanpa cabe bagai hidup tanpa tujuan. Aduch aku sentimen sekali kalau udach diledek oleh kakakku. Bahkan kakakku pernah membelikan bik Rodiah cabe 1 kg karena kasihan dengan bik Rodiah harus mengeluarkan cabe extra karena aku doyan banget sama pedas. “Biar bik Rodiah gak bangkrut”, kata kakakku saat aku protes kenapa bik Rodiah diberi cabe secara cuma-cuma. Padahal khan cabe mahal. Mendingan tuh cabe ditukar sama rujak erok-eroknya bik Rodiah. Jadi aku khan bisa makan rujak erok-erok sepuasnya.“Uh sebel banget”, kataku dalam hati. “Kog semua orang peduli sama bik Rodiah ya? gumamku dalam hati. Padahal aku khan pelanggan tetapnya. Kok gak simpati pada nasib bik Rodiah sich?” kataku dalam hati juga.
Setelah libur semester habis aku kembali ke bangku kuliah. Aku kembali ke kota, dimana aku belajar menjadi seorang mahasiswi. Kutinggalkan sementara rujak erok-erok bik Rodiah. “Bik Rodiah...jangan lupa bulan depan kesini...aku pulang lagi”, kataku pada bik Rodiah. “Oh ya bik, ini buat anak-anak bibik, buat beli buku”, kataku sambil menyerahkan amplop warna putih. Sengaja aku menabung untuk bisa membantu keluarga bik Rodiah terutama anak-anaknya yang masih sekolah. Meski tidak besar tapi aku rasa cukup untuk membeli peralatan sekolah anak-anak bik Rodiah. “Ning Aya makasih banyak. Bibik banyak dibantu” kata bik Rodiah dengan suara sedikit parau. Aku tersenyum. Kujabat tangan bik Rodiah dan kubantu bik Rodiah membereskan peralatannya rujak erok-eroknya. Cobek, ulek-ulek, pisau semua dimasukkan ke dalam kotak yang diikatkan pada sepeda. Dengan mata yang hampir menangis bik Rodiah pun pamit. “Hati-hati ya ning Aya....kalau udah kembali ke sekolah”, pesan bik Rodiah padaku. Aku hanya mengangguk tanda setuju. Mungkin menurut bik Rodiah semua yang berbau pendidikan itu sekolah. Meskipun sekarang tempatku belajar namanya kampus tapi bagi Bik Rodiah kampus dan sekolah itu sama saja.
Bulan depan yang kujanjikan pulang ternyata aku tak bisa menepati janjiku. Karena banyak tugas kuliah terpaksa aku pulang saat liburan akhir semester. Kekasihku juga tidak mau kalau aku sering pulang. Katanya kangen bila aku jauh darinya. Aduch bikin aku mabuk kepayang dan melupakan rujak erok-erok bik Rodiah. Hanya rayuan kekasihku yang bisa membuat ku lupa segalanya termasuk untuk pulang bertemu dengan rujak erok-eroknya bik Rodiah. Aduch aku semakin tidak tahan bila membayangkan pedasnya rujak erok-erok bik Rodiah. Sampai-sampai di kereta saat aku tertidur aku bermimpi makan rujak erok-erok dengan level 20 bersama kekasihku,air liurku pun mengalir dan dengan mesra kekasihku membersihkannya dengan tysu. Aduch mah romantis banget. “Mbak-mbak turun mana?” kata penumpang disampingku. Alamak aku tertidur di kereta dan air liurku menetes. Malu banget aku. “Uh gara-gara rujak erok-erok bik Rodiah”, sangatku kesal.
Saat aku tiba dikotaku aku sungguh terkejut. Di sudut jalan tempat tinggalku ada warung kecil dengan cat warna hijau dan merah. Warung itu bertuliskan “Warung Rujak Bik Rodiah”. Wow keren sekali. Tanpa pikir panjang aku minta supir pribadi yang menjemputku untuk berhenti di “Warung Rujak Bik Rodiah”.
Rasanya aku tak percaya. “Bik Rodiah..... sekarang jualan disini?” kataku senang saat aku dekat Bik Rodiah dan anak-anaknya. “Oh ning Aya....sudah datang, kapan datangnya?” kok bibik gak diberi tahu?” kata bik Rodiah sambil memelukku. Akupun terpana dengan sikap bik Rodiah yang sungguh baik hati dan tangguh itu. Yaa dengan tangannya bik Rodiah mandiri untuk mencari sesuap nasi. Aku terharu sekali karena ideku agar bik Rodiah punya warung terealisasi. “Alhamdulillah”, gumamku. “Tapi bik Rodiah katanya tidak punya modal untuk buka warung terus siapa yang memodali ini semua bik?” kataku tanpa ingin menusuk perasaan bik Rodiah. Dengan mata berkaca-kaca bik Rodiah bercerita kalau mamaku yang memodali warungnya. Karena mamaku prihatin atas nasib bik Rodiah sejak suaminya sakit.
Deg jantungku hampir berhenti. Tak kuduga mamaku yang hobinya ke salon dan spa ternyata peduli juga pada nasib seorang bik Rodiah. Ternyata selama ini mamaku mendengar percakapanku dengan bik Rodiah. Dan mamaku mewujudkan impian bik Rodiah punya warung sendiri.
“Yaa Allah...ternyata mamaku hatinya lembut juga”, kataku dalam hati. Akupun langsung ingin cepat-cepat pulang. Dengan dua bungkus rujak erok-erok gratis dari bik Rodiah aku ingin segera bertemu mamaku. Aku ingin berterima kasih pada mamaku yang telah membuatkan warung untuk bik Rodiah.
“Terima kasih yaa Tuhanku. Engkau berikan aku mama yang berhati mulia. Semoga saja mama juga berbaik hati juga menaikkan uang saku kuliahku 10x lipat. Amin... doaku sepanjang jalan menuju pulang
Rujak Erok-Erok
“Wow” pedas dan “ehm” petisnya terasa banget”, pujiku pada penjual rujak erok-erok Bik Rodiah langgananku. Baik Rodiah hanya tersennyum senang saat kupuji rujak erok-eroknya. Tangannya dengan terampil mengiris aneka buah untuk rujak erok-eroknya itu.
Bik Rodiah adalah penjual rujak erok-erok langgananku. Perawakannya yang kecil kurus menambah semakin mudah dikenali diantara penjual rujak keliling disekitar rumahku. Banyak penjual rujak keliling yang selalu berseliweran lewat di depan rumahku. Dari rujak erok-erok, rujak cingur rujak manis, rujak serut, rujak gobet pokoknya semua jenis rujak hampir bisa dipastikan lewat depan rumahku. Rumahku yang tidak jauh dari jalan raya memang menjadi sasaran empuk bagi pedagang kaki lima. Karena mayoritas rumah-rumah disekitar rumahku besar dan megah. Mobil-mobilpun terparkir rapi hampir di setiap rumah. Tidak bisa dibayangkan betapa kayanya para tetanggaku termasuk aku dipikiran para pedagang kaki lima.
Dari mulai subuh seluruh aktifitas pedagang kaki lima sudah terlihat di sekitar rumahku. Ada yang berjualan soto keliling, nasi uduk, nasi jagung pokoknya semuanya ada. Para ibu-ibu di sekitar rumahku juga merasa terbantu karena tidak perlu jauh-jauh mencari sarapan pagi. Cukup dengan sekali teriakan para pedagang kaki lima langsung siap dengan dagangan mereka. Tinggal memilih selera dan menu untuk hari ini.
Tapi bagiku hanya satu penjual kaki lima yang membuatku tertarik sejak aku masuk kelas lima sekolah dasar hingga aku duduk di bangku kuliah semester tiga aku sudah berlangganan rujak erok-erok “Bik Rodiah”. Biasanya di hari Minggu aku sudah menunggu “bik Rodiah” dengan rujak erok-eroknya. Bik Rodiah juga sudah hafal betul dengan diriku dan seleraku. Aku yang suka rasa pedas selalu menambah cabe membuat bik Rodiah kadang-kadang geleng-geleng kepala. Seperti pagi ini karena kuliahku libur 1 bulan hampir dipastikan setiap hari aku makan rujak erok-erok bik Rodiah.
“Bik cabenya yang banyak”, kataku pada bik Rodiah saat membuat sambal rujak erok-eroknya. Cukup sederhana sekali sebenarnya rujak erok-erok itu. Kata mamaku sebaiknya aku buat sendiri. Karena sambal rujak erok-erok hanya terbuat dari cabe sedikit garam dan gula diberi petis yang banyak dikasih air sedikit. Mudah sekali membuatnya. Tapi aku sama sekali tak tertarik untuk membuatnya karena menurutku lebih enak rujak erok-erok bik Rodiah. Keluguannya dan ramahnya bik Rodiah yang membuat ku betah berjam-jam menunggu lewatnya bik Rodiah dengan rujak erok-eroknya itu.
“Enggak takut sakit perut ning Aya”, kata bik Rodiah sambil tersenyum. “Cabe mahal ning Aya sekarang...., cabenya dikurangi ya... Satu kilo sekarang seratus ribu. Haduch...pusing bibik mikirnya”, kata bik Rodiah dengan raut wajah sedikit kesal. Aku melihatnya jadi tertawa. “Kok tertawa sich ning Aya, seneng ya kalau bibik Rodiah bangkrut” kata bik Rodiah lagi. “Hahahaha kalau cabe mahal kok gak tanam sendiri bik?” jawabku asal saja. Aku memang paling suka menggoda bik Rodiah karena bik Rodiah tak pernah marah kalau aku goda dengan banyolanku. Mamaku dan kakakku pun kadang ikut-ikutan makan rujak erok-erok bik Rodiah dan mengobrol dengan penjual rujak erok-erok yang baik hati itu.
Bagaimana tidak penampilan bik Rodiah yang kecil dan bersepeda saat jual rujak erok-erok ini bisa dibilang lain dari yang lain. Tidak seperti pada umumnya bik Rodiah dalam menjajakan rujak erok-eroknya dengan pakaian muslim yang rapi dan memakai celana panjang. Pernah aku melihat bik Rodiah dengan penampilannya yang cukup bersih berjualan rujak erok-erok di sekitar rumahku. Dengan suaranya yang keras meleking pasti penduduk di sekitar rumahku itu tahu bahasa itu suara khas Bik Rodiah.
Usianya yang sudah memasuki 40 tahun memang sudah tidak muda lagi. Dari dulu aku tahu mempunyai 3 orang anak. Anaknya yang pertama usianya hampir sama denganku. Karena kata bik Rodiah dia menikah muda karena di daerahnya usia 15 tahun rata-rata sudah menikah jadi bisa dibilang bik Rodiah menikah muda. Nakanya yang kedua SMP kelas 7 dan yang bungsu SD kelas 4. Sementara itu suami bik Rodiah berprofesi sebagai tukang becak. Jadi untuk membantu perekonomian keluarganya bik Rodiah berjualan rujak erok-erok.
“Bik.... Enggak capek jualan rujak?” tanyaku sambil mengamati wajah bik Rodiah. Ada goresan tua di wajahnya. Mungkin terlalu keras dalam kehidupan ini hingga bik Rodiah tak sempat merawat wajahnya. Dibandingkan mamaku bik Rodiah masih dibawah umur mamaku. Mamaku yang memasuki usia 50 tahun tetapi masih seperti ibu-ibu usia 30 tahun. Kadang-kadang temanku tidak percaya kalau itu mamaku. Mereka mengira kakakku. Mamaku memang rajin ke salon dan spa untuk perawatan wajah dan tubuhnya. Kata mamaku kita harus menjaga tubuh kita agar suami tidak berpaling ke wanita lain. Tapi bagi bik Rodiah pergi ke salon hanya memboroskan uang. Karena untuk makan saja mereka susah apalagi kalau salon. “Oh Tuhanku mengapa mamaku ini tidak beramal saja daripada uang dihabiskan untuk salon?” pikirku dalam hati.
“Ya capek juga sich ning Aya.... Tapi bik Rodiah hanya bisa jualan rujak. Maklum bibik dulu cuma sekolah sampai SD saja”. “Sewa tempat bik untuk warung rujak erok-erok”, kataku sambil terus makan rujak erok-erok yang cukup pedas itu. Sementara bibik Rodiah membuat 5 bungkus rujak erok-erok pesanan mamaku. Karena ada teman mama yang lagi kepingin makan rujak erok-erok bik Rodiah.
“Kok diam, bik.... Kalau punya warung khan bik Rodiah gak capek. Bik Rodiah juga bisa jual minuman es”, kataku panjang lebar. Dengan senyumnya yang khas bik Rodiah menjawab pertanyaanku “Uang dari mana ning Aya, mahal untuk sewa warung. Biaya beli buku-buku anak-anak saja bibik udach dibantu. Apalagi sekarang suami bibik lagi sakit gak bisa narik becak. Jadi hanya bibik yang kerja”. “Lho sakit apa bik, suaminya?” kataku terkejut. Selama ini aku melihat Bibik Rodiah wanita yang tergar. Aku selama menjadi pelanggan setia bik Rodiah tidak pernah bik Rodiah mengeluh. Semua kehidupan ini dijalaninya dengan banyak bersyukur, kata bik Rodiah padaku. Beda banget dengan sifat mamaku. Uang belanja kurang sedikit saja mamaku sudah teriak-teriak seperti kehilangan uang satu truck. Mestinya mamaku juga harus belajar dari Bik Rodiah banyak bersyukur. “Memang kalau kita sering besyukur hidup menjadi tentram ya bik?” kataku suatu hari saat aku beli rujak erok-eroknya. Aku ingat waktu aku masih duduk di SMP kelas 7. Dan kehidupan keluargaku juga sangat jauh dari kehidupan bik Rodiah.
Di keningnya ada kerutan-kerutan. “Sakit apa bik, suaminya?” tanyaku. “Biasa ning Aya....batuk”. “Sudah dibawa ke dokter?” tanyaku lagi. “Ke puskesmas ning Aya.... Sudah diberi obat sama bu dokter”, jawab Bik Rodiah dengan logat Maduranya yang kental. “Oh pakai BPJS ya bik....”. “Bukan ning Aya. Pakai foto copy surat dari kelurahan kalau saya tidak mampu... Apa ya namanya bibik lupa ning...”, kata bik Rodiah mencoba mengingat-ingat. “Kartu Indonesia sehat, ya bik”, kataku lagi. Aku maklum bik Rodiah yang hanya tamatan Sekolah Dasar pasti sulit untuk diajak mengingat. “Eh iya ning Aya....betul...” bik Rodiah tertawa. “Sekarang udach baikan khan bik Rodiah?” tanyaku menanyakan keadaan suami bik Rodiah. “Alhamdulillah sudah ning... Cuma masih harus istirahat, kata bu dokter. Makanya bibik jualannya sekarang sampai sore”, jawab Bik Rodiah sambil terus mengulek sambel rujak erok-eroknya. Maklum teman mamaku memang rada cerewet. Ada yang pesan cabe 2 ada yang lima ada yang gak pakai cabe. Tapi semua pesanan teman mamaku dibuat semua bik Rodiah. Aku melihat tangan bik Rodiah yang kecil tapi cekatan jika sudah mengiris buah untuk rujak erok-eroknya.
“Ini ning Aya rujak erok-erok mamanya ning Aya”, kata bik Rodiah sambil menyerahkan rujak itu kepadaku. “Ma...rujaknya sudah”, kataku sambil teriak memanggil mamaku. Aku yang terlahir sebagai anak bungsu memang masih kolokan dan manja. Bik Rodiah hanya tertawa. “Ning Aya gak berubah ya... Dari dulu waktu ning Aya masih SD sampai sekarang udah kuliah.....” kata bik Rodiah tersenyum. “Apanya yang gak berubah bik?” tanyaku penasaran. “Kolokannya ya bik”, jawab mamaku tiba-tiba dari arah belakangku. Ternyata mamaku sedari tadi mendengar percakapanku dengan bik Rodiah. Bibik Rodiah tertawa sambil mengangguk-angguk tanda setuju dengan pernyataan mamaku. Aku hanya cemberut. “Ntar aku gak beli lagi lho....bik”, kataku pura-pura mengancam bik Rodiah. “Aduch ning Aya.....ampun... Kalau ning Aya gak beli siapa yang beli rujak bik Rodiah,....” jawab bik Rodiah dengan muka memelas. “Hahaha....makanya bik jangan.....” belum sempat aku berbicara mamaku udah menarik tanganku. Karena mama tahu aku paling hobi menggoda orang terutama bik Rodiah. “Sudah bik....jangan didengarkan omongannya aya. Memang selalu begitu dari dul, ya kan bik?” kata mamaku lagi. “Iya buk saya hafal betuk watak ning Aya”. Oh ya berapa semua bik”, kata mamaku sambil mengeluarkan uang seratus ribuan. “Semua 40 ribu rupiah buk.... Biasa ning Aya dua porsi”, kata bik Rodiah mencoba menghitung jumlah total harga rujak erok-eroknya. “Bik kembaliannya diambil saja. Suami bik Rodiah sakit khan. Tadi saya sempat mendengar obrolan bibik sama Aya” kata mamaku. Aku kaget juga...tumben mama beramal walau dengan uang kembalian rujak erok-erok. Alhamdulillah mudah-mudahan mama juga terbuka hatinya untuk menambah uang sakuku..” doaku dalam hati. “Makasih buk...makasih banyak...kelangkong....” jawab bik Rodiah dengan logat Maduranya yang kental. Dari raut wajahnya tergambar rasa bahagia yang tidak bisa dilukiskan. Padahal mungkin bagi mamaku uang Rp. 60.000 itu tidak ada artinya apa-apa. Harga sandal jepit mama saja Rp. 150.000. Ukuran besar tidaknya nilai uang itu memang tergantung dari orangnya yang memakai uang tersebut. Bagi Bik Rodiah mungkin uang itu bisa dibelikan beras 8 kg bisa dibuat makan satu minggu. Sungguh berbeda sekali kehidupan bik Rodiah dan mamaku. Bagai langit dan bumi, gumamku dalam hati.
Selama libur kuliah bisa dipastikan hari-hariku diwarnai dengan aneka menu rujak. Aku pernah mencoba menu rujak lain dari bibik rujak yang lewat di depan rumahku. Tapi tak satupun yang cocok di lidahku. Rujak erok-erok bik Rodiah yang menurutku sangat enak dan cocok di lidahku. Bik Rodiah yang lugu, pembersih karena tidak jorok dan gaya bicaranya yang sopan meski dengan logat Maduranya yang kental membuatku tak bisa pindah ke lain rujak.
Mamaku hanya bisa geleng-geleng kepala kalau aku sering buang air besar alias diare karena terlalu pedas makan rujak erok-eroknya. Tapi aku tak pernah kapok. Bagiku rujak erok-erok tanpa cabe bagai hidup tanpa tujuan. Aduch aku sentimen sekali kalau udach diledek oleh kakakku. Bahkan kakakku pernah membelikan bik Rodiah cabe 1 kg karena kasihan dengan bik Rodiah harus mengeluarkan cabe extra karena aku doyan banget sama pedas. “Biar bik Rodiah gak bangkrut”, kata kakakku saat aku protes kenapa bik Rodiah diberi cabe secara cuma-cuma. Padahal khan cabe mahal. Mendingan tuh cabe ditukar sama rujak erok-eroknya bik Rodiah. Jadi aku khan bisa makan rujak erok-erok sepuasnya.“Uh sebel banget”, kataku dalam hati. “Kog semua orang peduli sama bik Rodiah ya? gumamku dalam hati. Padahal aku khan pelanggan tetapnya. Kok gak simpati pada nasib bik Rodiah sich?” kataku dalam hati juga.
Setelah libur semester habis aku kembali ke bangku kuliah. Aku kembali ke kota, dimana aku belajar menjadi seorang mahasiswi. Kutinggalkan sementara rujak erok-erok bik Rodiah. “Bik Rodiah...jangan lupa bulan depan kesini...aku pulang lagi”, kataku pada bik Rodiah. “Oh ya bik, ini buat anak-anak bibik, buat beli buku”, kataku sambil menyerahkan amplop warna putih. Sengaja aku menabung untuk bisa membantu keluarga bik Rodiah terutama anak-anaknya yang masih sekolah. Meski tidak besar tapi aku rasa cukup untuk membeli peralatan sekolah anak-anak bik Rodiah. “Ning Aya makasih banyak. Bibik banyak dibantu” kata bik Rodiah dengan suara sedikit parau. Aku tersenyum. Kujabat tangan bik Rodiah dan kubantu bik Rodiah membereskan peralatannya rujak erok-eroknya. Cobek, ulek-ulek, pisau semua dimasukkan ke dalam kotak yang diikatkan pada sepeda. Dengan mata yang hampir menangis bik Rodiah pun pamit. “Hati-hati ya ning Aya....kalau udah kembali ke sekolah”, pesan bik Rodiah padaku. Aku hanya mengangguk tanda setuju. Mungkin menurut bik Rodiah semua yang berbau pendidikan itu sekolah. Meskipun sekarang tempatku belajar namanya kampus tapi bagi Bik Rodiah kampus dan sekolah itu sama saja.
Bulan depan yang kujanjikan pulang ternyata aku tak bisa menepati janjiku. Karena banyak tugas kuliah terpaksa aku pulang saat liburan akhir semester. Kekasihku juga tidak mau kalau aku sering pulang. Katanya kangen bila aku jauh darinya. Aduch bikin aku mabuk kepayang dan melupakan rujak erok-erok bik Rodiah. Hanya rayuan kekasihku yang bisa membuat ku lupa segalanya termasuk untuk pulang bertemu dengan rujak erok-eroknya bik Rodiah. Aduch aku semakin tidak tahan bila membayangkan pedasnya rujak erok-erok bik Rodiah. Sampai-sampai di kereta saat aku tertidur aku bermimpi makan rujak erok-erok dengan level 20 bersama kekasihku,air liurku pun mengalir dan dengan mesra kekasihku membersihkannya dengan tysu. Aduch mah romantis banget. “Mbak-mbak turun mana?” kata penumpang disampingku. Alamak aku tertidur di kereta dan air liurku menetes. Malu banget aku. “Uh gara-gara rujak erok-erok bik Rodiah”, sangatku kesal.
Saat aku tiba dikotaku aku sungguh terkejut. Di sudut jalan tempat tinggalku ada warung kecil dengan cat warna hijau dan merah. Warung itu bertuliskan “Warung Rujak Bik Rodiah”. Wow keren sekali. Tanpa pikir panjang aku minta supir pribadi yang menjemputku untuk berhenti di “Warung Rujak Bik Rodiah”.
Rasanya aku tak percaya. “Bik Rodiah..... sekarang jualan disini?” kataku senang saat aku dekat Bik Rodiah dan anak-anaknya. “Oh ning Aya....sudah datang, kapan datangnya?” kok bibik gak diberi tahu?” kata bik Rodiah sambil memelukku. Akupun terpana dengan sikap bik Rodiah yang sungguh baik hati dan tangguh itu. Yaa dengan tangannya bik Rodiah mandiri untuk mencari sesuap nasi. Aku terharu sekali karena ideku agar bik Rodiah punya warung terealisasi. “Alhamdulillah”, gumamku. “Tapi bik Rodiah katanya tidak punya modal untuk buka warung terus siapa yang memodali ini semua bik?” kataku tanpa ingin menusuk perasaan bik Rodiah. Dengan mata berkaca-kaca bik Rodiah bercerita kalau mamaku yang memodali warungnya. Karena mamaku prihatin atas nasib bik Rodiah sejak suaminya sakit.
Deg jantungku hampir berhenti. Tak kuduga mamaku yang hobinya ke salon dan spa ternyata peduli juga pada nasib seorang bik Rodiah. Ternyata selama ini mamaku mendengar percakapanku dengan bik Rodiah. Dan mamaku mewujudkan impian bik Rodiah punya warung sendiri.
“Yaa Allah...ternyata mamaku hatinya lembut juga”, kataku dalam hati. Akupun langsung ingin cepat-cepat pulang. Dengan dua bungkus rujak erok-erok gratis dari bik Rodiah aku ingin segera bertemu mamaku. Aku ingin berterima kasih pada mamaku yang telah membuatkan warung untuk bik Rodiah.
“Terima kasih yaa Tuhanku. Engkau berikan aku mama yang berhati mulia. Semoga saja mama juga berbaik hati juga menaikkan uang saku kuliahku 10x lipat. Amin... doaku sepanjang jalan menuju pulang.
Data Diri
Nama : Eny Soraya, SE
Tempat/Tanggal Lahir : Ngawi, 17 April 1973
Alamat : Jl. Juanda 144 Probolinggo
Telp : 081231119369
Aktifitas : Pimpinan di Lembaga Homeschooling dan Bimbel The Best
No. Rekening BRI : 0073-01-015089-53-5 atas nama Eny Soraya, SE.
Rujak Erok-Erok
“Wow” pedas dan “ehm” petisnya terasa banget”, pujiku pada penjual rujak erok-erok Bik Rodiah langgananku. Baik Rodiah hanya tersennyum senang saat kupuji rujak erok-eroknya. Tangannya dengan terampil mengiris aneka buah untuk rujak erok-eroknya itu.
Bik Rodiah adalah penjual rujak erok-erok langgananku. Perawakannya yang kecil kurus menambah semakin mudah dikenali diantara penjual rujak keliling disekitar rumahku. Banyak penjual rujak keliling yang selalu berseliweran lewat di depan rumahku. Dari rujak erok-erok, rujak cingur rujak manis, rujak serut, rujak gobet pokoknya semua jenis rujak hampir bisa dipastikan lewat depan rumahku. Rumahku yang tidak jauh dari jalan raya memang menjadi sasaran empuk bagi pedagang kaki lima. Karena mayoritas rumah-rumah disekitar rumahku besar dan megah. Mobil-mobilpun terparkir rapi hampir di setiap rumah. Tidak bisa dibayangkan betapa kayanya para tetanggaku termasuk aku dipikiran para pedagang kaki lima.
Dari mulai subuh seluruh aktifitas pedagang kaki lima sudah terlihat di sekitar rumahku. Ada yang berjualan soto keliling, nasi uduk, nasi jagung pokoknya semuanya ada. Para ibu-ibu di sekitar rumahku juga merasa terbantu karena tidak perlu jauh-jauh mencari sarapan pagi. Cukup dengan sekali teriakan para pedagang kaki lima langsung siap dengan dagangan mereka. Tinggal memilih selera dan menu untuk hari ini.
Tapi bagiku hanya satu penjual kaki lima yang membuatku tertarik sejak aku masuk kelas lima sekolah dasar hingga aku duduk di bangku kuliah semester tiga aku sudah berlangganan rujak erok-erok “Bik Rodiah”. Biasanya di hari Minggu aku sudah menunggu “bik Rodiah” dengan rujak erok-eroknya. Bik Rodiah juga sudah hafal betul dengan diriku dan seleraku. Aku yang suka rasa pedas selalu menambah cabe membuat bik Rodiah kadang-kadang geleng-geleng kepala. Seperti pagi ini karena kuliahku libur 1 bulan hampir dipastikan setiap hari aku makan rujak erok-erok bik Rodiah.
“Bik cabenya yang banyak”, kataku pada bik Rodiah saat membuat sambal rujak erok-eroknya. Cukup sederhana sekali sebenarnya rujak erok-erok itu. Kata mamaku sebaiknya aku buat sendiri. Karena sambal rujak erok-erok hanya terbuat dari cabe sedikit garam dan gula diberi petis yang banyak dikasih air sedikit. Mudah sekali membuatnya. Tapi aku sama sekali tak tertarik untuk membuatnya karena menurutku lebih enak rujak erok-erok bik Rodiah. Keluguannya dan ramahnya bik Rodiah yang membuat ku betah berjam-jam menunggu lewatnya bik Rodiah dengan rujak erok-eroknya itu.
“Enggak takut sakit perut ning Aya”, kata bik Rodiah sambil tersenyum. “Cabe mahal ning Aya sekarang...., cabenya dikurangi ya... Satu kilo sekarang seratus ribu. Haduch...pusing bibik mikirnya”, kata bik Rodiah dengan raut wajah sedikit kesal. Aku melihatnya jadi tertawa. “Kok tertawa sich ning Aya, seneng ya kalau bibik Rodiah bangkrut” kata bik Rodiah lagi. “Hahahaha kalau cabe mahal kok gak tanam sendiri bik?” jawabku asal saja. Aku memang paling suka menggoda bik Rodiah karena bik Rodiah tak pernah marah kalau aku goda dengan banyolanku. Mamaku dan kakakku pun kadang ikut-ikutan makan rujak erok-erok bik Rodiah dan mengobrol dengan penjual rujak erok-erok yang baik hati itu.
Bagaimana tidak penampilan bik Rodiah yang kecil dan bersepeda saat jual rujak erok-erok ini bisa dibilang lain dari yang lain. Tidak seperti pada umumnya bik Rodiah dalam menjajakan rujak erok-eroknya dengan pakaian muslim yang rapi dan memakai celana panjang. Pernah aku melihat bik Rodiah dengan penampilannya yang cukup bersih berjualan rujak erok-erok di sekitar rumahku. Dengan suaranya yang keras meleking pasti penduduk di sekitar rumahku itu tahu bahasa itu suara khas Bik Rodiah.
Usianya yang sudah memasuki 40 tahun memang sudah tidak muda lagi. Dari dulu aku tahu mempunyai 3 orang anak. Anaknya yang pertama usianya hampir sama denganku. Karena kata bik Rodiah dia menikah muda karena di daerahnya usia 15 tahun rata-rata sudah menikah jadi bisa dibilang bik Rodiah menikah muda. Nakanya yang kedua SMP kelas 7 dan yang bungsu SD kelas 4. Sementara itu suami bik Rodiah berprofesi sebagai tukang becak. Jadi untuk membantu perekonomian keluarganya bik Rodiah berjualan rujak erok-erok.
“Bik.... Enggak capek jualan rujak?” tanyaku sambil mengamati wajah bik Rodiah. Ada goresan tua di wajahnya. Mungkin terlalu keras dalam kehidupan ini hingga bik Rodiah tak sempat merawat wajahnya. Dibandingkan mamaku bik Rodiah masih dibawah umur mamaku. Mamaku yang memasuki usia 50 tahun tetapi masih seperti ibu-ibu usia 30 tahun. Kadang-kadang temanku tidak percaya kalau itu mamaku. Mereka mengira kakakku. Mamaku memang rajin ke salon dan spa untuk perawatan wajah dan tubuhnya. Kata mamaku kita harus menjaga tubuh kita agar suami tidak berpaling ke wanita lain. Tapi bagi bik Rodiah pergi ke salon hanya memboroskan uang. Karena untuk makan saja mereka susah apalagi kalau salon. “Oh Tuhanku mengapa mamaku ini tidak beramal saja daripada uang dihabiskan untuk salon?” pikirku dalam hati.
“Ya capek juga sich ning Aya.... Tapi bik Rodiah hanya bisa jualan rujak. Maklum bibik dulu cuma sekolah sampai SD saja”. “Sewa tempat bik untuk warung rujak erok-erok”, kataku sambil terus makan rujak erok-erok yang cukup pedas itu. Sementara bibik Rodiah membuat 5 bungkus rujak erok-erok pesanan mamaku. Karena ada teman mama yang lagi kepingin makan rujak erok-erok bik Rodiah.
“Kok diam, bik.... Kalau punya warung khan bik Rodiah gak capek. Bik Rodiah juga bisa jual minuman es”, kataku panjang lebar. Dengan senyumnya yang khas bik Rodiah menjawab pertanyaanku “Uang dari mana ning Aya, mahal untuk sewa warung. Biaya beli buku-buku anak-anak saja bibik udach dibantu. Apalagi sekarang suami bibik lagi sakit gak bisa narik becak. Jadi hanya bibik yang kerja”. “Lho sakit apa bik, suaminya?” kataku terkejut. Selama ini aku melihat Bibik Rodiah wanita yang tergar. Aku selama menjadi pelanggan setia bik Rodiah tidak pernah bik Rodiah mengeluh. Semua kehidupan ini dijalaninya dengan banyak bersyukur, kata bik Rodiah padaku. Beda banget dengan sifat mamaku. Uang belanja kurang sedikit saja mamaku sudah teriak-teriak seperti kehilangan uang satu truck. Mestinya mamaku juga harus belajar dari Bik Rodiah banyak bersyukur. “Memang kalau kita sering besyukur hidup menjadi tentram ya bik?” kataku suatu hari saat aku beli rujak erok-eroknya. Aku ingat waktu aku masih duduk di SMP kelas 7. Dan kehidupan keluargaku juga sangat jauh dari kehidupan bik Rodiah.
Di keningnya ada kerutan-kerutan. “Sakit apa bik, suaminya?” tanyaku. “Biasa ning Aya....batuk”. “Sudah dibawa ke dokter?” tanyaku lagi. “Ke puskesmas ning Aya.... Sudah diberi obat sama bu dokter”, jawab Bik Rodiah dengan logat Maduranya yang kental. “Oh pakai BPJS ya bik....”. “Bukan ning Aya. Pakai foto copy surat dari kelurahan kalau saya tidak mampu... Apa ya namanya bibik lupa ning...”, kata bik Rodiah mencoba mengingat-ingat. “Kartu Indonesia sehat, ya bik”, kataku lagi. Aku maklum bik Rodiah yang hanya tamatan Sekolah Dasar pasti sulit untuk diajak mengingat. “Eh iya ning Aya....betul...” bik Rodiah tertawa. “Sekarang udach baikan khan bik Rodiah?” tanyaku menanyakan keadaan suami bik Rodiah. “Alhamdulillah sudah ning... Cuma masih harus istirahat, kata bu dokter. Makanya bibik jualannya sekarang sampai sore”, jawab Bik Rodiah sambil terus mengulek sambel rujak erok-eroknya. Maklum teman mamaku memang rada cerewet. Ada yang pesan cabe 2 ada yang lima ada yang gak pakai cabe. Tapi semua pesanan teman mamaku dibuat semua bik Rodiah. Aku melihat tangan bik Rodiah yang kecil tapi cekatan jika sudah mengiris buah untuk rujak erok-eroknya.
“Ini ning Aya rujak erok-erok mamanya ning Aya”, kata bik Rodiah sambil menyerahkan rujak itu kepadaku. “Ma...rujaknya sudah”, kataku sambil teriak memanggil mamaku. Aku yang terlahir sebagai anak bungsu memang masih kolokan dan manja. Bik Rodiah hanya tertawa. “Ning Aya gak berubah ya... Dari dulu waktu ning Aya masih SD sampai sekarang udah kuliah.....” kata bik Rodiah tersenyum. “Apanya yang gak berubah bik?” tanyaku penasaran. “Kolokannya ya bik”, jawab mamaku tiba-tiba dari arah belakangku. Ternyata mamaku sedari tadi mendengar percakapanku dengan bik Rodiah. Bibik Rodiah tertawa sambil mengangguk-angguk tanda setuju dengan pernyataan mamaku. Aku hanya cemberut. “Ntar aku gak beli lagi lho....bik”, kataku pura-pura mengancam bik Rodiah. “Aduch ning Aya.....ampun... Kalau ning Aya gak beli siapa yang beli rujak bik Rodiah,....” jawab bik Rodiah dengan muka memelas. “Hahaha....makanya bik jangan.....” belum sempat aku berbicara mamaku udah menarik tanganku. Karena mama tahu aku paling hobi menggoda orang terutama bik Rodiah. “Sudah bik....jangan didengarkan omongannya aya. Memang selalu begitu dari dul, ya kan bik?” kata mamaku lagi. “Iya buk saya hafal betuk watak ning Aya”. Oh ya berapa semua bik”, kata mamaku sambil mengeluarkan uang seratus ribuan. “Semua 40 ribu rupiah buk.... Biasa ning Aya dua porsi”, kata bik Rodiah mencoba menghitung jumlah total harga rujak erok-eroknya. “Bik kembaliannya diambil saja. Suami bik Rodiah sakit khan. Tadi saya sempat mendengar obrolan bibik sama Aya” kata mamaku. Aku kaget juga...tumben mama beramal walau dengan uang kembalian rujak erok-erok. Alhamdulillah mudah-mudahan mama juga terbuka hatinya untuk menambah uang sakuku..” doaku dalam hati. “Makasih buk...makasih banyak...kelangkong....” jawab bik Rodiah dengan logat Maduranya yang kental. Dari raut wajahnya tergambar rasa bahagia yang tidak bisa dilukiskan. Padahal mungkin bagi mamaku uang Rp. 60.000 itu tidak ada artinya apa-apa. Harga sandal jepit mama saja Rp. 150.000. Ukuran besar tidaknya nilai uang itu memang tergantung dari orangnya yang memakai uang tersebut. Bagi Bik Rodiah mungkin uang itu bisa dibelikan beras 8 kg bisa dibuat makan satu minggu. Sungguh berbeda sekali kehidupan bik Rodiah dan mamaku. Bagai langit dan bumi, gumamku dalam hati.
Selama libur kuliah bisa dipastikan hari-hariku diwarnai dengan aneka menu rujak. Aku pernah mencoba menu rujak lain dari bibik rujak yang lewat di depan rumahku. Tapi tak satupun yang cocok di lidahku. Rujak erok-erok bik Rodiah yang menurutku sangat enak dan cocok di lidahku. Bik Rodiah yang lugu, pembersih karena tidak jorok dan gaya bicaranya yang sopan meski dengan logat Maduranya yang kental membuatku tak bisa pindah ke lain rujak.
Mamaku hanya bisa geleng-geleng kepala kalau aku sering buang air besar alias diare karena terlalu pedas makan rujak erok-eroknya. Tapi aku tak pernah kapok. Bagiku rujak erok-erok tanpa cabe bagai hidup tanpa tujuan. Aduch aku sentimen sekali kalau udach diledek oleh kakakku. Bahkan kakakku pernah membelikan bik Rodiah cabe 1 kg karena kasihan dengan bik Rodiah harus mengeluarkan cabe extra karena aku doyan banget sama pedas. “Biar bik Rodiah gak bangkrut”, kata kakakku saat aku protes kenapa bik Rodiah diberi cabe secara cuma-cuma. Padahal khan cabe mahal. Mendingan tuh cabe ditukar sama rujak erok-eroknya bik Rodiah. Jadi aku khan bisa makan rujak erok-erok sepuasnya.“Uh sebel banget”, kataku dalam hati. “Kog semua orang peduli sama bik Rodiah ya? gumamku dalam hati. Padahal aku khan pelanggan tetapnya. Kok gak simpati pada nasib bik Rodiah sich?” kataku dalam hati juga.
Setelah libur semester habis aku kembali ke bangku kuliah. Aku kembali ke kota, dimana aku belajar menjadi seorang mahasiswi. Kutinggalkan sementara rujak erok-erok bik Rodiah. “Bik Rodiah...jangan lupa bulan depan kesini...aku pulang lagi”, kataku pada bik Rodiah. “Oh ya bik, ini buat anak-anak bibik, buat beli buku”, kataku sambil menyerahkan amplop warna putih. Sengaja aku menabung untuk bisa membantu keluarga bik Rodiah terutama anak-anaknya yang masih sekolah. Meski tidak besar tapi aku rasa cukup untuk membeli peralatan sekolah anak-anak bik Rodiah. “Ning Aya makasih banyak. Bibik banyak dibantu” kata bik Rodiah dengan suara sedikit parau. Aku tersenyum. Kujabat tangan bik Rodiah dan kubantu bik Rodiah membereskan peralatannya rujak erok-eroknya. Cobek, ulek-ulek, pisau semua dimasukkan ke dalam kotak yang diikatkan pada sepeda. Dengan mata yang hampir menangis bik Rodiah pun pamit. “Hati-hati ya ning Aya....kalau udah kembali ke sekolah”, pesan bik Rodiah padaku. Aku hanya mengangguk tanda setuju. Mungkin menurut bik Rodiah semua yang berbau pendidikan itu sekolah. Meskipun sekarang tempatku belajar namanya kampus tapi bagi Bik Rodiah kampus dan sekolah itu sama saja.
Bulan depan yang kujanjikan pulang ternyata aku tak bisa menepati janjiku. Karena banyak tugas kuliah terpaksa aku pulang saat liburan akhir semester. Kekasihku juga tidak mau kalau aku sering pulang. Katanya kangen bila aku jauh darinya. Aduch bikin aku mabuk kepayang dan melupakan rujak erok-erok bik Rodiah. Hanya rayuan kekasihku yang bisa membuat ku lupa segalanya termasuk untuk pulang bertemu dengan rujak erok-eroknya bik Rodiah. Aduch aku semakin tidak tahan bila membayangkan pedasnya rujak erok-erok bik Rodiah. Sampai-sampai di kereta saat aku tertidur aku bermimpi makan rujak erok-erok dengan level 20 bersama kekasihku,air liurku pun mengalir dan dengan mesra kekasihku membersihkannya dengan tysu. Aduch mah romantis banget. “Mbak-mbak turun mana?” kata penumpang disampingku. Alamak aku tertidur di kereta dan air liurku menetes. Malu banget aku. “Uh gara-gara rujak erok-erok bik Rodiah”, sangatku kesal.
Saat aku tiba dikotaku aku sungguh terkejut. Di sudut jalan tempat tinggalku ada warung kecil dengan cat warna hijau dan merah. Warung itu bertuliskan “Warung Rujak Bik Rodiah”. Wow keren sekali. Tanpa pikir panjang aku minta supir pribadi yang menjemputku untuk berhenti di “Warung Rujak Bik Rodiah”.
Rasanya aku tak percaya. “Bik Rodiah..... sekarang jualan disini?” kataku senang saat aku dekat Bik Rodiah dan anak-anaknya. “Oh ning Aya....sudah datang, kapan datangnya?” kok bibik gak diberi tahu?” kata bik Rodiah sambil memelukku. Akupun terpana dengan sikap bik Rodiah yang sungguh baik hati dan tangguh itu. Yaa dengan tangannya bik Rodiah mandiri untuk mencari sesuap nasi. Aku terharu sekali karena ideku agar bik Rodiah punya warung terealisasi. “Alhamdulillah”, gumamku. “Tapi bik Rodiah katanya tidak punya modal untuk buka warung terus siapa yang memodali ini semua bik?” kataku tanpa ingin menusuk perasaan bik Rodiah. Dengan mata berkaca-kaca bik Rodiah bercerita kalau mamaku yang memodali warungnya. Karena mamaku prihatin atas nasib bik Rodiah sejak suaminya sakit.
Deg jantungku hampir berhenti. Tak kuduga mamaku yang hobinya ke salon dan spa ternyata peduli juga pada nasib seorang bik Rodiah. Ternyata selama ini mamaku mendengar percakapanku dengan bik Rodiah. Dan mamaku mewujudkan impian bik Rodiah punya warung sendiri.
“Yaa Allah...ternyata mamaku hatinya lembut juga”, kataku dalam hati. Akupun langsung ingin cepat-cepat pulang. Dengan dua bungkus rujak erok-erok gratis dari bik Rodiah aku ingin segera bertemu mamaku. Aku ingin berterima kasih pada mamaku yang telah membuatkan warung untuk bik Rodiah.
“Terima kasih yaa Tuhanku. Engkau berikan aku mama yang berhati mulia. Semoga saja mama juga berbaik hati juga menaikkan uang saku kuliahku 10x lipat. Amin... doaku sepanjang jalan menuju pulang.
Data Diri
Nama : Eny Soraya, SE
Tempat/Tanggal Lahir : Ngawi, 17 April 1973
Alamat : Jl. Juanda 144 Probolinggo
Telp : 081231119369
Aktifitas : Pimpinan di Lembaga Homeschooling dan Bimbel The Best
No. Rekening BRI : 0073-01-015089-53-5 atas nama Eny Soraya, SE.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar