TIGA SANTRI
CITA-CITA TIGA SANTRI
“Hore..... hore aku lulus bunda” terdiakan itu terdengar helas ditelingaku, membuyarkan konsentrasiku mengajar di bimbel milikku. Ku lihat tiga anak laki-laki yang salah satunya anakku sendiri Faiz. Pagi ini Faiz dan dua temannya yang biasa belajar di bimbelku “The Best” membawa kabar gembira. Yaa anak-anakku sudah menamatkan sekolah dasar mereka. Faizz, Ibnu dan Adhien adalah tiga sahabat yang selalu mengisi hari-hari mereka dengan belajar tambahan di tempatku. Bagiku ketiga anak-anak ini seperti mutiara-mutiara yang akan berkilai di masa yang akan datang. Ibnu dan Adhien adalah dua sosok anak yang selalu menemani hari-hari belajar Faiz anakku. Sudah satu tahun sejak mereka kelas 6 mereka rajin belajar denganku. Aku sndiei sengaja mendirikan bimbingan belajar dan homeschooling “The Best” karena putra bangsakuselalu mengajak dua sahabatnya untuk belajar bersama.
“Bunda..... kemana aku harus bersekolah setelah ini ya bunda?” kata adhien dengan wajah lugunya. Anak-anak terbiasa memanggilku bunda akupun menganggap mereka seperti anakku sendiri. akupun bersama tiga jagoanku Faiz, Ibnu dan Adhien. Mereka membawa sejuta pertanyaan yang ingin mereka tanyakan padaku. Ku pandangi wajah mereka ada segaris rasa ketidaktahuan tentang sekolah yang akan mereka tuju. Akupun kemudian memberikan wacana tentang sekolah lanjutan pertama. “ Bunda apa Faiz akan ke pondok? Tanya Ibnu dengan wajah serius. Aku tersenyum mendengar pertanyaan Ibnu. Ku lirik Faiz, ku lihat dia hanya tertawa saja mndengar pertanyaan Ibnu. Aku pun mengambil sikap bijaksana. Dengan suara yang lembut kutanyakan pada mereka, “ apa kalian siap untuk ke pondok? “ kataku kepada tiga jagoanku. Ku lihat mimik merek yang belum pasti. “ Coba aku tanyakan ke mamaku dulu ya... bun, nanti kalau mama setuju kita daftar di pondok ini bun” kata adhien menunjukkan salah sau majalah yang dikeluarkan oleh sebuah pesantren.” Aku pun membaca majalah itu agar tahu tentang pesantren, karena aku sendiri kurang paham tentang pesantren.
Sudah dua minggu ini Adhien dan Ibnu tidak ke bimbelku. “Bunda mungkin Ibnu dan Adhien mendaftar ke pesantren yang kemarin itu, kata anakku Faiz di suatu pagi. “Faiz mau ke pesantren juga”? tanyaku, karena sejak SD putraku aku masukkan disekolah yang berbasis agama. Aku berharap dengan menyekolahkan anakku di sekolah yang berbasis agama kelak anakku menjadi anak yang sholeh berakhlak mulia dan menurut serta hrmat pada orang tua.
“Hallo..... bunda Faiz? “ tiba-tiba suara dari hp ku membuyarkan lamunanku. “Oh.... bunda Adhien.......ada apa bunda? “ kataku. “ Bagaimana bunda apa Faiz jadi mondok juga? Adhien sama Ibnu mau mondok di Pesantren “ Hidayah”, soalnya sayang sekali kalau hafalan mereka sampai hilang kalau mereka sekolah di SMP umum. “ kata mama Adhien panjang lebar. Aku hanya manggut-manggut. Apa harus mondok ke pesantren hanya untuk menghafal ayat-ayat Al-qur’an, kataku dalam hati. “ Bagaimana bunda...... Faiz ikut mondok juga ya? Soalnya mereka sering bertiga kalau belajar di tempat bunda..... jadi biar ukhuwahnya tetap langgeng.........” ceramah mama Adhuen dari hpnya. Aku hanya diam......” InsyaAllah bunda Adhien, nanti saya tanyakan dulu sama ayahnya Faiz, kemarin memang ingin mondok mudah-mudahan bisa. “ Balasku kepada mama Adhien.
Malamnya pun aku berdiskusi dengan suamiku. Aku paprkan minus dan positifnya sekolah di SMP umum dan positifnya bila sekolah di pesantren. Suamiku hanya manggut-manggut. Dia pun tertarik mempelajari majalah yang memuat informasi pesantren “Hidayah” ini. Sambil menatapku dan berkata “ siapkah anak kita Faiz belajar di pesantren? Bukankah selama ini dia dekat denganmu Bunda....mampukah Faiz hidup mandiri di pondok? Akupun hanya diam tiba-tiba.
“Bunda...........ayah, Faiz siap belajar di pesantren. Faiz mau belajar mandiri. Faiz mau tahfidz yah. Mau menjadi imam di Masjidil Haram. “katanya riang sekali. “Subhanallah.......” kataku sambil mataku berkaca-kaca. Aku tak mengira cita-cita anakku Faiz ingin menjadi imam di Masjidil Haram. Ya Allah...... terima kasih atas karunia-Mu, dalam batinku sambil menangis. Aku berfikir cita-cita anakku kebanyakan anak-anak seusinya. Ingin mejadi dokter, pilot, pegusaha...... tapi ternyata putraku hanya ingin menjadi imam di Masjidil Haram. Aku merasa tersanjung dengan cita-cita anakku.” Tapi jangan lupa ya bunda uang sakunya juga banyak ya........” kata anakku Faiz sambil berlari menuju kamarnya. “ Ehm aku hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum.......” kalau masalah uang saku Faiz memang tidak pernah lupa ya bunda. “ kata suamiku sambil tertawa juga.
Tibalah pada hari yang disepakati kami mengantar putra kami ke pesantren “Hidayah” yang ada di kota Malang. Dinginnya kota Malang membuat kami yakin Malang sangat cocok untuk pendidikan anak-anak kami. Orang tua Adhien dan Ibnu juga antusias seperti diriku. Mereka tak segan-segan memberi nasihat bila anak-anak sudah belajar di pondok. Sepertinya bunda Adhien seudah berpengalaman belajar dunia pesantren. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Aku pikir benar juga anak-anak harus diberitahukan tata tertib selama belajr di pesantren. Selama ini mereka selalu bebas bermain, tapi kalau sudah di pesantren tentu sangat berbeda dengan mereka di pondok.
Pondok pesantren hidayah Malang memang sebuah pesantren baru dan sistem pendidikannya modern. Itu terlihat dari bangunannya yang masih beru yang terdiri dari beberapa gedung. Ada gedung aula tempat dimana orang tua dan para santri berkumpul untuk waktu kunjungan, ada masjid, gedung asaram santri dan gedung khusus untuk para ustadz. Juga gedung kelas untuk tempat santri belajar. Sistem pendidikan yang modern yakni perpaduan antara pendidikan Islam dan pendidikan kurikulum pemerintah menjadikan pesantren hidayah Malang menjadi tempat sekolah anak-anak kami. Didukung dengan para ustad-ustadnya yang ramah dan suasanya yang asri, kami yakin anak-anak ini kerasan menimba ilmu di pesantren ini.
Setelah selesai menguras ini dan itu maka tibalah saatnya anak-anak untuk tinggal di pondok. “ Bunda......... sering datang ke mari ya...... kata anakku Faiz dengan mata mulai berkaca-kaca. Sebenarnya aku tak tega juga meninggalkan sendiri. Anakku Faiz sangata dekat denganku. Hari-harinya selalu menemaniku. Antara sayang dan kasihan aku harus berani melepaskan Faiz untuk belajar demi tercapainya cita-cita anakku menjadi imam di Masjidil Haram. Aku harus rela membiarkan putraku berjuang mengejar cita-citanya.
Sementara sudah aku melepaskan anakku untuk belajar di pesantren. Satu minggu bagaikan ribuan tahun bagiku. Ingin rasanya aku putar jarum jam agar tepat satu bulan hingga aku dapat menjenguk putraku, karena penasaran ingin tahu persaan orang tua lainnya aku telepon mamanya Ibnu. “Tut ..... tut .... tut .....” oh sebel bangat kenapa tidak di angkat ya ? kataku dalam hati saat menelpon bundanya Ibnu. “Hallo bunda ..... ?” kata suara dari seberang sana. “ oh ya bunda Ibnu mau tanya bagaimana kabarnya Ibnu? kerasan tidak ya bu? “ kataku sambil memainkan penaku. Kegaitan pagi hingga sore aku harus berada di kantorku. Apalagi sekarang putriku yang suluung sudah kuliah di Malang dan putra bungsuku Faiz di pondok jadi aku menghabiskan waktuku dengan berbagi ilmu dengan anak didikku. “ oh ya bunda....... insyaAllah Ibnu kerasa di pondoK. “Faiz juga kerasan di pondok alhamdulillah. InsyaAllah minggu depan kita mau menengok faiz apa bunda Ibnu juga mau menengok Ibnu ? tanyaku pada bunda Ibnu. “InsyaAllah bunda” jawab mama Ibnu.
Tibalah hari yang ditentukan aku dan suamiku tiba di pondok “HidayaH Malang”. Dimana putra bungsuku Faiz dan dua sahabatnya Ibnu dan Adhien menimba ilmu. Kami bertemu di ruang aula yang memang tempat untuk berkunjung. “Bunda...... bunda “ kata anakku berlari memelukku. Mungkin satu bulan waktu yang lama bagi anakku. Maklum saja putraku ini sangat dekat denganku. Adhien dan Ibnu datang menghampiriku mereka menjabat tangan dan mencium tanganku dan suamiku. Kamipun duduk bersama sambil menunggu orang tuan Adhien dan Ibnu datang.
“Bagaimana kalian kerasan belajar di sini ?” tanyaku pada ketiga anak-anak calon pemimpin bangsa ini.
“Kerasan bunda........ tapi ya ......... makanannya bunda......... kurang banyak jawab adhien, tawa khas anak-anak. Kami semua tertawa mendengarnya.
“Bunda kami sekarang sudah hafal 50 ayat surat Al-Baqarah. Kata pak ustadz kami harus tahfidz 3 jus minimal. Wah bunda ternyata menghafal Al-Qur’an itu harus benar-benar tidak boleh banyak bercanda...... katanya ustadz,” kata Faiz anakku sambil makan oleh-oleh kami.
“Iya bunda Faiz.......... cita-cita Faiz khan mau menjadi imam di Masjidil Haram katanya” jawab Adhien.
Kulirika anakku Faiz dan hanya tersenyum” amin.......” jawabnya.
“Kalau Adhien dan Ibnu apa cita-citamu, nak? “ kataku pada dua sahabat anakku itu. Kulihat keduanya berfikir, kemudian dengan suara mantapnya Adhien berkata “ kalau aku bunda Adhien ingin menjadi pemimpin bangsa ini.”
“hoh............. jadi presiden makhsudmu dhien?” kata Ibnu tak percaya. “iya.......... presiden tidak apa-apa khan bunda......... Adhien bercita-cita menjadi presdien.” Jawab Adhien sambil menoleh ke arahku. Aku hanya tersenyum lalu ku tarik nafas panjang-panjang.” Boleh saja Adhien bercita-cita mejadi presiden. Tidak adan yang melarangmu untuk menjadi apapun, asalkan Adhien bersungguh-sungguh melaksanakannya. Mejadi presiden pertama Indonesia yang tahfidz Al-Qur’an,” kataku memberi nasihat.
“Iya............ bunda............ nanti adhien mau membuat program untuk anak Indonesia agar tahfidz Al-Qur’an semua.......... hehehe” kata Adhien sambl tertawa riang.
“Oka pak presiden.......... aku doakan sukses” kata Faiz anakku.
“Kalau Ibnu apa cita-citamu nak ? tanyaku pada Ibnu.” Ibnu hanya diam ....................
“Ibnu......... Ibnu ditanya bunda cita-citamu? kata Adhien pada Ibnu.
“Cita-citaku ....... bunda hanya ingin menjadi guru......agar aku bisa mengajarkan ilmuku ini pada yang lain.” Kata Ibnu dengan suara pelan.
“Guru ........ menjadi guru........... makhsudmu Ibnu” kata Faiz dan Adhien hampir bersamaan. Kok jadi guru tidak ada yang lebih keren ya ??? kata Adhien.”
“Memang kenapa kalau menjadi guru........... bunda Faiz khan guru kita juga meskipun tidak memakai seragam, ya bun jawab Ibnu membela diri. Aku pun tersenyum mendengar celoteh anak-anak itu.
“ Ibnu jadi guru............ juga bagus. Justru dari gurulah akan terlahir pemimpin bangsa seperti Adhien dan imam di Masjidil Haram sepert Faiz. Karena tanpa guru kalian tidak akan dapat menjadi yang terbaik untuk meraih cita-cita kalian. Ibnu jadilah guru yang tahfidz Al-Qur’an juga karena akan membawa dampak yang baik bagi murid-muridnya” kataku pada tiga santriku ini.
“Oh...........begitu bunda.......menjadi guru juga bagus khan bun? tanya Adhien padaku.
“apapun cita-cita kalian semua bagus. Asalkan harus dikejar sungguh-sungguh dan kalian harus belajar dengan sungguh-sungguh di pesantren ini. Karena baiaya untuk sekolah di pesantren ini juga tidak sedikit. Jadi kalian harus belajar sungguh-sungguh terutama hafalannya. Apapun cita-cita kalian tapi kalian beda dengan yang lain. “ Bedanya apapun? “ tanya Faiz. “ Bedanya kalian pemimpin-pemimpin bangsa yang tahfidz Al-Qur’an. Karena dengan tahfidz Al-Qur’an diharapkan bisa membuat khlak dan budi pekerti kaliann menjadi bagus.” Kataku panjang lebar. Mungkin profesiku sebagai guru bimbel dan homeschooling menjadi membuat dekat dengan anak-anak.
Ketiga santriku mengobrol dengan asyiknya sambil menikmati oleh-oleh dari kami. kulihat santri yang lain, ada yang menangis tanda tak kerasan minta ikut pulang, ada yang dengan bangga menunjukkan kepandaiannya, terutama pada orang tua yang ingin melihat sampai dimana hafalan anak-anaknya. Kami sebagaia orang tua sangat bangga dnegan kemajuan anak-anak kami. bagi kami menyekolahkan mereka di pondok pesantren bukan mengikuti trend bergaya sok orang kaya. Tapi kami menyekolahkan ke pesantren demi generasi bangsa ini. Sebagai orang tua kami berharap banyak pada sebuah pendidikan di pesantren.
Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Pukul 13.00 siang keluarga Ibnu dan Adhien datang. “Assalamualaikum bunda Faiz...............” sapa bunda Inu dan bunda Adhien. Kamipun saling berjabat tangan dan berbasa-basi menanyakan kabar kami masing-masing. Bunda Ibnu dan bunda Adhien datang dengan berbagai oleh-oleh khas kota kami probolinggo. Ada manggga, anggur, keripik dan banyak lagi. Maklum para santri memang diajarkan untuk saling berbagi. Jadi mereka membagi oleh-oleh dari keluarga mereka kepada teman-temannya.
“Bunda......... ini teman kami satu kamar yang keriting ini Zaki bunda terus yang satunya lagi Fian dan Afif. Mereka datang jauh-jauh bunda dari Maluku dan Makassar.” kata Faiz memperkenalkan teman-temannya.
“oh ya...... nak...... bagaimana kalian senang sekolah disini khan? Kataku pada ketiga teman Faiz yang dari luar Jawa itu. Mereka saling berpandangan satu sama lain dan serentak mereka menjawab “ iya ..... tante kami senang sekolah disini. Alhamdulillah sekarag kami rajin sholat dan mengaji.” Kata Zaki si anak Maluku. Perawakannya yang fungsi dan warna kulit yang gelap plus keriting rambutnya membuat dia sangat istimewa.
“Iya bunda mereka juga belajar bahasa Jawa............. heheh dari kita-kita.” Tawa Adhien terkekeh-kekeh.
“Iya tante............ tapi Adhien juga tidak begitu bahasa Jawa, bisanya bahasa Madura.......” kata Fian menimpali. Semua yang mendengar tertawa. Anak-anak santri yang lain ikut dengan kami bergabung sambil menikmati oleh-oleh khas yang kami bawa. Maklum para orang tua dari santri yang rumahnya diluar pulau memang jarang menjenguk, karena jarak pesantren sangat jauh dari kampung mereka. Tetapi jauhnya tempat tinggal mereka tidak membuat mereka kesepian, karena disini kami sebagai orang tua menyayangi mereka semua. Apalagi para pengurus pesantren, mereka sangat familiar dan baik pada anak-anak santri. Semua kebutuhan dan kenyamanan anak-anak santri sangat diperhatikan sekali. Apalagi jika ada santri yang sakit mereka akan cepat menanganinya. Jika keadaan tidak memungkinkan mereka akan memanggil orang tua mereka sendiri.
“Bunda........... untuk meraih cita-cita kami apa memang harus belajar di pesantren. “tiba-tiba pertanyaan itu di keluarkan Ibnu teman Faiz yang memang paling pendiam di banding Faiz dan Adhien.” Kami sebagai orang tua saling berpandangan. Bagiku sebagai guru lesnya Ibnu semasa di SD dulu merasa kaget juga. Bunda dan Ayah Ibnu juga kulihat sedikit kaget dengan pertanyaan anaknya itu kupandangi Ibnu dan ku ajak duduk denganku......”Ibnu...... untuk mengejar cita-cita seseorang memang tidak harus belajar di sebuah pesantren. Tetapi untuk menjadikan seseorang itu mencapai cita-citanya dan menjadi manusia yang berguna dan berakhlak mulia pesantren adalah pilihan yang tepat untuk itu. Nak, “kataku menjawab pertanyaan keraguan Ibnu. Orang tua Ibnu dan Adhien pun membenarkan dengan memberi nasehat pada para santri. Kebetulan ayah Ibnu adalah seseorang yang bekerja di Departemen Agama. “Adik-adik para santri kalian adalah calon pemimpin bangsa, kalian adalah santri yang pertama yang akan memimpin bangsa karena dengan akhlak kalian yang baik dan pemimpin yang tahfidz Al-Qur’an......” kata ayah Ibnu kepada teman-teman santri Faiz, Ibnu dan Adhien.
“amin....... amin...... amin” kata mereka serentak. Kami pun senang mendengarnya. Tak terasa waktu yang tepat berlalu. Jarum jam pun menunjukkan pukul 17.00 WIB. Waktu yang menunjukkan batas untuk kunjungan. Kulihat para santri membersihkan aula untuk pertemuan kami tadi. “ Bunda bulan depan kesini lagi yaa....... bawa oleh-oleh yang banyak.” kata Faiz padaku sambil memelukku.
“ya sayang bunda akan bawa oleh-oleh yang banyak sekali tapi bunda minta hadiah juga sama Faiz”
“Hadiah........... bunda dari Faiz? kata anakku tak mengerti
“yaa hadiahnya Faiz bulan depan sudah hafal 100 ayat surat Al-Baqarah.” kataku sambil membelai rambut anakku.
“InsyaAllah ya bunda” jawab Faiz sambil mencium pipiku. Sekarang tidak ada lagi air mata. Anakku sudah paham akan pentingnya sekolah di pesantren. Jadi anakku tidak cengeng lagi.
“Ayo pak presiden Adhien....... kita pimpin santri.” kelakar anakku Faiz pada temannya Adhien yag bercita-cita menjadi presiden itu.
“Hahaha iya pak imam Faiz”
“Pak ustad Ibnu monggo ke kelas kita mengajar bahasa canda Adhien pada Ibnu dan Faiz.”
Semua teman-temannya pada tertawa mendengar celoteh Adhien yang terkenal suka banyol. Kamipun tertawa gembira.
Dalam perjalanan pulang akupun berdoa agar anakku dan teman-temannya berhasil meraih cita-citanya. Amin............
Pengirim : Eny Soraya,SE
Alamat : Jl. Juanda No. 144 Probolinggo
No. HP : 0812-3111-9369
Email : [email protected]
Pengirim : Eny Soraya,SE
Alamat : Jl. Juanda No. 144 Probolinggo
No. HP : 0812-3111-9369
Email : [email protected]
Kepada yth:
Panitia Pelaksana Lomba Cerpen
Gebyar Hari Santri 2016-09-16
d/a Subag Tata Usaha/ TU
Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pesantren
Kementrian Agama Republik Indonesia
Lantai 6
Jl. Lapangan Banteng Barat No. 3- 4
Jakarta Pusat 10710
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar