Enysoraya

Pkbm homeschooling the best...

Selengkapnya
Navigasi Web

TROPHY UNTUK DUA KAKEK

Trophy Untuk Dua Kakek

Sayup-sayup terdengar suara adzan subuh dari Masjid Al Hikmah dusun Tambak Bayan Sleman Yogyakarta. Suara ayam berkokok hanya satu dua yang terdengar. Maklum sekarang ini rakyat kota sudah tidak hobi memelihara ayam untuk membangunkan dirinya. Karena dijaman modern ini banyak alat canggih untuk membangunkan manusia dari tidur lelapnya. Ada alarm yang bisa dibunyikan kapan saja sesuai dengan kebutuhan. Tapi tidak dengan mbah Narto. Mbah Narto lebih suka dibangunkan oleh suara halus sang istri. Sang istri yang dipanggilnya dengan jeng Ninik itu selalu setia membangun mbah Narto ketika jam menunjukkan pukul 02.30 dini hari. Jeng Ninik selalu bangun lebih awal dari suaminya. Karena diusianya yang memasuki 60 tahun itu ada alarm khusus yang membuatnya terbangun di tengah malam.

Yaa alarm kontak batinnya dengan Sang Kholik hingga membuatnya selalu terbangun ditengah malam untuk bersujud kepada Yang Maha Kuasa. Dengan tangannya yang basah karena air wudhu dibangunkannya sang suami untuk bersama-sama menuju ridho Illahi.

Mbah Narto hanyalah sekian juta dari kakek-kakek yang ada di dunia ini. Rambutnya yang sudah memutih semua adalah wujud nyata dari usianya yang sudah memasuki senja. Mbah Narto dan Jeng Ninik adalah warga asli Yogyakarta. Mereka dilahirkan, dibesarkan, menikah, menggapai impian semua mereka lakukan di tanah kelahiran tercinta mereka Yogyakarta. Mbah Narto yang berprofesi sebagai guru tari sangat mencintai kebudayaan daerahnya. Mbah Narto selalu setia menjaga sanggarnya yang diberi nama “Sanggar Tari Lestari”.

Lestari nama sanggar yang diberikan oleh kakek buyutnya agar sanggar tarinya tetap lestari sehingga kebudayaan daerahnya dapat terjaga. Kakek buyut Mbah Narto sangat mengagumi dan mencintai kebudayaan Jawa khususnya Yogyakarta. Segala jenis tari hampir dikuasai Mbah Narto. Mulai dari tari tradisional hingga tarian modern. Tari Golek Ayun-ayun, tari Beksan Srikandi Suradewati, tari Arjuna Wiwaha, tari Langen Mandra Wanara, tari Angguk, dan tari Golek Menak. Tari diatas tarian yang sudah melekat di tubuh Mbah Narto dan Jeng Ninik istrinya.

Jeng Ninik dan Mbah Narto adalah dua tokoh manusia yang sangat mencintai budayanya. Hidupnya adalah nafas tari yang sudah menyatu dalam jiwanya. Mereka tak terpengaruh oleh budaya baru yang dibawa oleh orang dari luar Yogyakarta. Penampilan Mbah Narto dan Jeng Ninik tetap sederhana. Mbah Narto tetap setia memakai baju surjan, blangkon bila ada acara-acara yang menurut Mbah Narto harus tampil resmi dengan cirri khasnya. Sandal yang sering digunakan juga sandal selop khas keratin yang biasa dipakai oleh orang-orang keraton. Sedangkan Jeng Ninik tetap setia dengan baju sabukwala paditenan. Koleksi pakaian Jeng Ninik yang begitu banyak di almari kunonya. Koleksi busana Jeng Ninik tersusun rapi di almarinya ada nyamping batik, baju katun, ikat pinggang pinggang kamus songkoten dan semuanya menjadi pemandangan yang indah untuk Jeng Ninik. Jeng Ninik adalah mbah putrid yang tak pernah bosan bercerita tentang masa mudanya kepada cucunya dan seorang wanita yang sederhana tapi sangat anggun bila ia telah kenakan koleksi busananya yang mencerminkan wanita Indonesia. Jeng Ninik sering tersenyum cantik saat bercermin di kamarnya. Tentu saja Mbah Narto akan setia untuk menggodanya. Jadilah pasangan yang sudah tua ini bernostalgia mengenang saat mereka muda dulu dan kamar mereka berdua adalah saksi bisu kisah cinta abadi Mbah Narto dan Jeng Ninik.

“Oh sudah dua hari ini aku tak melihat Pak Basuki.” Kata Mbah Narto dalam hati. Pak Basuki adalah teman, sahabat, saudara seiman bagi Mbah Narto. Mereka berdua dipertemukan Allah dirumahnya. Ya mereka berdua jamaah setia masjid Al Hikmah. Setiap sholat lima waktu mereka selalu berada di shof terdepan. Terkadang terdengar suara parau Mbah Narto mengumandangkan adzan. Biasanya yang menjadi imam di masjid Mbah Basuki. Yaa sudah 15 tahun Mbah Basuki menetap di Yogyakarta tepatnya di dusun Tambakbayan Sleman Yogyakarta. Ia bertetangga dengan Mbah Narto. Rumahnya sederhana. Selama tinggal di Yogyakarta Mbah Basuki mengontrak disamping Mbah Narto yang kebetulan rumah itu milik saudara Mbah Narto.

Mbah Basuki berasal dari Madura. Ia merantau ke Yogyakarta bersama dua orang anaknya yang masih sekolah pada waktu dia datang di Yogyakarta. Istrinya sudah lama meninggal. Mbah Basuki orang yang mempunyai tekad yang kuat untuk menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi. Ia memilih Yogyakarta karena Mbah Basuki menilai kota Yogyakarta kota pendidikan yang maju dan biaya hidup tidak terlalu mahal. Meskipun bermodal “gerobak dorong sate” Mbah Basuki ingin menunjukkan pada dunia bahwa dia sanggup mengantar anaknya menjadi sarjana.

Usia Mbah Basuki pun sudah 60 tahun selisih 4 tahun dengan Mbah Narto. Waktu kecil Mbah Basuki pernah mondok. Jadi bacaan Al-Qur’annya pun tartil ditambah dengan suaranya yang merdu membuat dia sering di dapuk untuk menjadi imam di Masjid Al Hikmah. Logat bahasanya Maduranya yang kental membuat Mbah Basuki terkenal dengan julukan “Mbah Basuki ta’ iye”. Para pemuda Masjid Al Hikmah menaruh hormat pada Mbah Basuki ini. Meskipun hanya penjual sate tapi pakaiannya tetap rapid an bersih.

Mbah Basuki pun sama dengan Mbah Narto. Meskipun ia merantau ke Yogyakarta tetapi ia tak pernah lupa dengan asal usulnya. Mbah Basuki sering menyanyikan lagu-lagu Madura. Terkadang ia tampil bila ada acara didesa. Ia bernyanyi keroncong bersama Mbah Narto. Lagu Tanduk Majeng adalah lagu kesukaannya. Kadang terdengar suara music lagu Madura dari rumahnya. Mbah Basuki pun tak pernah malu berbicara dengan logat Maduranya. Semua orang kagum pada Mbah Basuki. Anaknya yang sudah sarjana dan bekerja bahkan yang sulung sekarang sedang kuliah S2. Mbah Basuki merasa bersyukur diterima di lingkungan desa Tambakbayan.

Memang sudah dua hari Mbah Basuki pulang kampong ke Madura. Karena sudah lama tak pulang ke daeraah asalnya. Kemarin anaknya yang bungsu wisuda. Ia ingin berbagi kebahagiaan dengan saudaranya dikampung.

Mbah Narto dan Jeng Ninik adalah orang-orang yang menjadi saudara barunya Mbah Basuki. Sehingga saat pulang dari kampungnya Madura tak lupa Mbah Basuki membawakan oleh-oleh untuk saudara barunya itu. Batik Madura, lojuk, petis Madura ini adalah daftar oleh-oleh untuk saudara barunya itu.

Seperti sore itu tampak Mbah Basuki mendatangi rumah Mbah Narto. Meskipun Mbah Narto termasuk orang terpandang tapi Mbah Narto tidak sombong. Ia mau bertetangga dengan siapapun termasuk Mbah Basuki.

“Assalamu’alaikun.” Suara Mbah Basuki yang khas membangunkan Mbah Narto yang leyeh-leyeh dari istirahatnya. “Waalaikum sallam.” Jawab Mbah Narto dari dalam. Dari suaranya itu saja Mbah Narto sudah tahu kalau itu Mbah Basuki saudara yang sudah dua hari ini tidak muncul di masjid. Mbah Narto pun dengan semangat membukakan pintu. “Subhanallah, Alhamdulillah….saudaraku” kata Mbah Narto dengan senyumnya yang mengembang dan mereka berdua pun berpelukan erat. Begitulah jika bertemu saling berjabat tangan dan berpelukan sebagai saudara seiman. “Monggo…monggo Pak Basuki. Darimana saja? Sudah dua hari ini saya tidak melihat jenengan di masjid.” tanya Mbah Narto penuh penasaran. Dia akan dengan sukarela menolong Mbah Basuki jika Mbah Basuki memerlukan bantuannya. Dengan gaya khasnya Mbah Basuki pun bercerita kalau dia pulang ke kampong halaman untuk mengunjungi saudaranya dan syukuran putra bungsunya yang sudah menjadi sarjana. “Alhamdulillah….Pak bas…saya ikut senang….” kata Mbah Narto setelah mendengarkan cerita Mbah Basuki.

Mbah Narto dan Mbah Basuki pun asyik bercengkerama. Jeng Ninik pun tak lupa membawakan segelas teh hangat dan jajan pasar untuk teman mengobrol Mbah Narto suaminya dan Mbah Basuki. Jeng Ninik pun kembali ke belakang meninggalkan dua orang mbah-mbah untuk mengobrol.

Mbah Narto dan Mbah Basuki asyik mengobrol apa saja. Ada saja yang mereka obrolkan. Terutama Mbah Narto yang sering bertanya masalah agama karena dia memandang Mbah Basuki lebih paham daripada dia. Berbekal ilmu dari mondok Pak Basuki memang lebih paham dari Mbah Narto. Mbah Narto pun mengundang Mbah Basuki untuk menghadiri acara perayaan bersih desa di desa Tambakbayan.

Acara bersih desa di desa Tambakbayan diawali dengan kerjabakti semua warga di desa Tambakbayan. Mereka tampak ambisius dan semangat membersihkan desanya. Malam puncak acara bersih desa biasanya diadakan aneka pertunjukkan yang biasanya menampilkan potensi seni warga desa Tambakbayan. Mbah Narto dengan sanggar tarinya menampilkan tarian-tarian tradisional dan modern. Tepuk tangan penonton pun terdengar ramai. Mereka sangat senang dan bangga dengan budaya mereka. Mbah Narto yang sudah beberapa hari ini latihan nyanyi keroncong bersama Mbah Basuki pun didapuk untuk tampil. Para penonton pun bertepuk tangan saat Mbah Narto dan Mbah Basuki tampil di panggung.

Mbah Narto dan Mbah Basuki pun bernyanyi diiringi group keroncong karangtaruda Tambakbayan. Terdengar lagu-lagu khas Jawa Walangkekek, Capung gunung lah, getuk keluar dari bibir Mbah Narto. Mbah Basuki yang berdiri disampingnya pun manggut-manggut sambil terkadang ikut bernyanyi. Mbah Basuki pun tak lupa menyumbangkan suara emasnya. Lagu Tanduk Majeng, pajjar laggu adalah lagu khas Madura. Para penonton memberilak applaus kepada Mbah Basuki. Mbah Narto dan Mbah Basuki bernyanyi bersama-sama. Mereka bangga dengan lagu daerahnya karena menurut mereka lagu daerah adalah asset bangsa yang harus dilestarikan. Semakin beraneka ragam budaya bangsa semakin kaya dan indahnya bangsa itu.

Di penghujung acara Bapak Kepala Desa yang hadir tak lupa mengucapkan terima kasih kepada warganya dan ternyata Bapak Kepala Desa telah menyiapkan trophy dan bingkisan untuk Mbah Narto dan Mbah Basuki. Kepala desa menilai mereka adalah dua orang contoh yang sanggup menjaga keharmonisan bertetangga bahkan berbudaya. Meskipun Mbah Narto berasal dari Yogyakarta tetapi Mbah Narto bisa bersahabat dengan Mbah Basuki yang berasal dari Madura. Bahkan mereka berdua bersama-sama melestarikan budaya daerahnya saling mengenal satu sama lain dan saling menghormati. Mbah Narto tak segan-segan bernyanyi lagu khas Madura bahkan belajar bahasa Madura dari Mbah Basuki. Begitupun sebaliknya. Mbah Basuki pun sering menyanyikan lagu Jawa dan menyukai gudeg makanan asli Yogyakarta. Mereka berdua tampak terharu menerima penghargaan dari Bapak Kepala Desa.

“Pak Basuki….dan Pak Narto.” begitu nama mereka dipanggil untuk naik dipanggung tak kuasa air mata mereka menetes terharu. “Meskipun berasal dari budaya yang berbeda ternyata kita bisa satu panggung ya Pak Bas…” bisik Mbah Narto lirih ke telinganya Mbah Basuki. Mbah Basuki pun tersenyum dan menjabat erat tangan saudara barunya itu. Disaksikan kepala desa dua trophy kakek ini menjadi simbol penghargaan meskipun berbeda budaya tapi tetap bisa hidup berdampingan dan bersahabat. “Terimakasih Pak Basuki dan Pak Narto semoga generasi muda bisa mencontoh persahabatan bapak-bapak ini demi memajukan bangsa kita khususnya desa Tambakbayan ini.” kata Bapak kepala desa diakhiri pidatonya. Tepuk tangan wargapun membahana. Mbah Narto dan Mbah Basuki tersenyum bangga.

Biografi Penulis

Nama : Eny Soraya, SE

Tempat/Tanggal Lahir : Ngawi, 17 April 1973

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Ir. H. Juanda No. 144 Probolinggo

No. HP : 081231119369

No. KTP : 3574045704730006

Pekerjaan` :Pimpinan PKBM Homeschooling dan bimbel The Best

Trophy Untuk Dua Kakek

Sayup-sayup terdengar suara adzan subuh dari Masjid Al Hikmah dusun Tambak Bayan Sleman Yogyakarta. Suara ayam berkokok hanya satu dua yang terdengar. Maklum sekarang ini rakyat kota sudah tidak hobi memelihara ayam untuk membangunkan dirinya. Karena dijaman modern ini banyak alat canggih untuk membangunkan manusia dari tidur lelapnya. Ada alarm yang bisa dibunyikan kapan saja sesuai dengan kebutuhan. Tapi tidak dengan mbah Narto. Mbah Narto lebih suka dibangunkan oleh suara halus sang istri. Sang istri yang dipanggilnya dengan jeng Ninik itu selalu setia membangun mbah Narto ketika jam menunjukkan pukul 02.30 dini hari. Jeng Ninik selalu bangun lebih awal dari suaminya. Karena diusianya yang memasuki 60 tahun itu ada alarm khusus yang membuatnya terbangun di tengah malam.

Yaa alarm kontak batinnya dengan Sang Kholik hingga membuatnya selalu terbangun ditengah malam untuk bersujud kepada Yang Maha Kuasa. Dengan tangannya yang basah karena air wudhu dibangunkannya sang suami untuk bersama-sama menuju ridho Illahi.

Mbah Narto hanyalah sekian juta dari kakek-kakek yang ada di dunia ini. Rambutnya yang sudah memutih semua adalah wujud nyata dari usianya yang sudah memasuki senja. Mbah Narto dan Jeng Ninik adalah warga asli Yogyakarta. Mereka dilahirkan, dibesarkan, menikah, menggapai impian semua mereka lakukan di tanah kelahiran tercinta mereka Yogyakarta. Mbah Narto yang berprofesi sebagai guru tari sangat mencintai kebudayaan daerahnya. Mbah Narto selalu setia menjaga sanggarnya yang diberi nama “Sanggar Tari Lestari”.

Lestari nama sanggar yang diberikan oleh kakek buyutnya agar sanggar tarinya tetap lestari sehingga kebudayaan daerahnya dapat terjaga. Kakek buyut Mbah Narto sangat mengagumi dan mencintai kebudayaan Jawa khususnya Yogyakarta. Segala jenis tari hampir dikuasai Mbah Narto. Mulai dari tari tradisional hingga tarian modern. Tari Golek Ayun-ayun, tari Beksan Srikandi Suradewati, tari Arjuna Wiwaha, tari Langen Mandra Wanara, tari Angguk, dan tari Golek Menak. Tari diatas tarian yang sudah melekat di tubuh Mbah Narto dan Jeng Ninik istrinya.

Jeng Ninik dan Mbah Narto adalah dua tokoh manusia yang sangat mencintai budayanya. Hidupnya adalah nafas tari yang sudah menyatu dalam jiwanya. Mereka tak terpengaruh oleh budaya baru yang dibawa oleh orang dari luar Yogyakarta. Penampilan Mbah Narto dan Jeng Ninik tetap sederhana. Mbah Narto tetap setia memakai baju surjan, blangkon bila ada acara-acara yang menurut Mbah Narto harus tampil resmi dengan cirri khasnya. Sandal yang sering digunakan juga sandal selop khas keratin yang biasa dipakai oleh orang-orang keraton. Sedangkan Jeng Ninik tetap setia dengan baju sabukwala paditenan. Koleksi pakaian Jeng Ninik yang begitu banyak di almari kunonya. Koleksi busana Jeng Ninik tersusun rapi di almarinya ada nyamping batik, baju katun, ikat pinggang pinggang kamus songkoten dan semuanya menjadi pemandangan yang indah untuk Jeng Ninik. Jeng Ninik adalah mbah putrid yang tak pernah bosan bercerita tentang masa mudanya kepada cucunya dan seorang wanita yang sederhana tapi sangat anggun bila ia telah kenakan koleksi busananya yang mencerminkan wanita Indonesia. Jeng Ninik sering tersenyum cantik saat bercermin di kamarnya. Tentu saja Mbah Narto akan setia untuk menggodanya. Jadilah pasangan yang sudah tua ini bernostalgia mengenang saat mereka muda dulu dan kamar mereka berdua adalah saksi bisu kisah cinta abadi Mbah Narto dan Jeng Ninik.

“Oh sudah dua hari ini aku tak melihat Pak Basuki.” Kata Mbah Narto dalam hati. Pak Basuki adalah teman, sahabat, saudara seiman bagi Mbah Narto. Mereka berdua dipertemukan Allah dirumahnya. Ya mereka berdua jamaah setia masjid Al Hikmah. Setiap sholat lima waktu mereka selalu berada di shof terdepan. Terkadang terdengar suara parau Mbah Narto mengumandangkan adzan. Biasanya yang menjadi imam di masjid Mbah Basuki. Yaa sudah 15 tahun Mbah Basuki menetap di Yogyakarta tepatnya di dusun Tambakbayan Sleman Yogyakarta. Ia bertetangga dengan Mbah Narto. Rumahnya sederhana. Selama tinggal di Yogyakarta Mbah Basuki mengontrak disamping Mbah Narto yang kebetulan rumah itu milik saudara Mbah Narto.

Mbah Basuki berasal dari Madura. Ia merantau ke Yogyakarta bersama dua orang anaknya yang masih sekolah pada waktu dia datang di Yogyakarta. Istrinya sudah lama meninggal. Mbah Basuki orang yang mempunyai tekad yang kuat untuk menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi. Ia memilih Yogyakarta karena Mbah Basuki menilai kota Yogyakarta kota pendidikan yang maju dan biaya hidup tidak terlalu mahal. Meskipun bermodal “gerobak dorong sate” Mbah Basuki ingin menunjukkan pada dunia bahwa dia sanggup mengantar anaknya menjadi sarjana.

Usia Mbah Basuki pun sudah 60 tahun selisih 4 tahun dengan Mbah Narto. Waktu kecil Mbah Basuki pernah mondok. Jadi bacaan Al-Qur’annya pun tartil ditambah dengan suaranya yang merdu membuat dia sering di dapuk untuk menjadi imam di Masjid Al Hikmah. Logat bahasanya Maduranya yang kental membuat Mbah Basuki terkenal dengan julukan “Mbah Basuki ta’ iye”. Para pemuda Masjid Al Hikmah menaruh hormat pada Mbah Basuki ini. Meskipun hanya penjual sate tapi pakaiannya tetap rapid an bersih.

Mbah Basuki pun sama dengan Mbah Narto. Meskipun ia merantau ke Yogyakarta tetapi ia tak pernah lupa dengan asal usulnya. Mbah Basuki sering menyanyikan lagu-lagu Madura. Terkadang ia tampil bila ada acara didesa. Ia bernyanyi keroncong bersama Mbah Narto. Lagu Tanduk Majeng adalah lagu kesukaannya. Kadang terdengar suara music lagu Madura dari rumahnya. Mbah Basuki pun tak pernah malu berbicara dengan logat Maduranya. Semua orang kagum pada Mbah Basuki. Anaknya yang sudah sarjana dan bekerja bahkan yang sulung sekarang sedang kuliah S2. Mbah Basuki merasa bersyukur diterima di lingkungan desa Tambakbayan.

Memang sudah dua hari Mbah Basuki pulang kampong ke Madura. Karena sudah lama tak pulang ke daeraah asalnya. Kemarin anaknya yang bungsu wisuda. Ia ingin berbagi kebahagiaan dengan saudaranya dikampung.

Mbah Narto dan Jeng Ninik adalah orang-orang yang menjadi saudara barunya Mbah Basuki. Sehingga saat pulang dari kampungnya Madura tak lupa Mbah Basuki membawakan oleh-oleh untuk saudara barunya itu. Batik Madura, lojuk, petis Madura ini adalah daftar oleh-oleh untuk saudara barunya itu.

Seperti sore itu tampak Mbah Basuki mendatangi rumah Mbah Narto. Meskipun Mbah Narto termasuk orang terpandang tapi Mbah Narto tidak sombong. Ia mau bertetangga dengan siapapun termasuk Mbah Basuki.

“Assalamu’alaikun.” Suara Mbah Basuki yang khas membangunkan Mbah Narto yang leyeh-leyeh dari istirahatnya. “Waalaikum sallam.” Jawab Mbah Narto dari dalam. Dari suaranya itu saja Mbah Narto sudah tahu kalau itu Mbah Basuki saudara yang sudah dua hari ini tidak muncul di masjid. Mbah Narto pun dengan semangat membukakan pintu. “Subhanallah, Alhamdulillah….saudaraku” kata Mbah Narto dengan senyumnya yang mengembang dan mereka berdua pun berpelukan erat. Begitulah jika bertemu saling berjabat tangan dan berpelukan sebagai saudara seiman. “Monggo…monggo Pak Basuki. Darimana saja? Sudah dua hari ini saya tidak melihat jenengan di masjid.” tanya Mbah Narto penuh penasaran. Dia akan dengan sukarela menolong Mbah Basuki jika Mbah Basuki memerlukan bantuannya. Dengan gaya khasnya Mbah Basuki pun bercerita kalau dia pulang ke kampong halaman untuk mengunjungi saudaranya dan syukuran putra bungsunya yang sudah menjadi sarjana. “Alhamdulillah….Pak bas…saya ikut senang….” kata Mbah Narto setelah mendengarkan cerita Mbah Basuki.

Mbah Narto dan Mbah Basuki pun asyik bercengkerama. Jeng Ninik pun tak lupa membawakan segelas teh hangat dan jajan pasar untuk teman mengobrol Mbah Narto suaminya dan Mbah Basuki. Jeng Ninik pun kembali ke belakang meninggalkan dua orang mbah-mbah untuk mengobrol.

Mbah Narto dan Mbah Basuki asyik mengobrol apa saja. Ada saja yang mereka obrolkan. Terutama Mbah Narto yang sering bertanya masalah agama karena dia memandang Mbah Basuki lebih paham daripada dia. Berbekal ilmu dari mondok Pak Basuki memang lebih paham dari Mbah Narto. Mbah Narto pun mengundang Mbah Basuki untuk menghadiri acara perayaan bersih desa di desa Tambakbayan.

Acara bersih desa di desa Tambakbayan diawali dengan kerjabakti semua warga di desa Tambakbayan. Mereka tampak ambisius dan semangat membersihkan desanya. Malam puncak acara bersih desa biasanya diadakan aneka pertunjukkan yang biasanya menampilkan potensi seni warga desa Tambakbayan. Mbah Narto dengan sanggar tarinya menampilkan tarian-tarian tradisional dan modern. Tepuk tangan penonton pun terdengar ramai. Mereka sangat senang dan bangga dengan budaya mereka. Mbah Narto yang sudah beberapa hari ini latihan nyanyi keroncong bersama Mbah Basuki pun didapuk untuk tampil. Para penonton pun bertepuk tangan saat Mbah Narto dan Mbah Basuki tampil di panggung.

Mbah Narto dan Mbah Basuki pun bernyanyi diiringi group keroncong karangtaruda Tambakbayan. Terdengar lagu-lagu khas Jawa Walangkekek, Capung gunung lah, getuk keluar dari bibir Mbah Narto. Mbah Basuki yang berdiri disampingnya pun manggut-manggut sambil terkadang ikut bernyanyi. Mbah Basuki pun tak lupa menyumbangkan suara emasnya. Lagu Tanduk Majeng, pajjar laggu adalah lagu khas Madura. Para penonton memberilak applaus kepada Mbah Basuki. Mbah Narto dan Mbah Basuki bernyanyi bersama-sama. Mereka bangga dengan lagu daerahnya karena menurut mereka lagu daerah adalah asset bangsa yang harus dilestarikan. Semakin beraneka ragam budaya bangsa semakin kaya dan indahnya bangsa itu.

Di penghujung acara Bapak Kepala Desa yang hadir tak lupa mengucapkan terima kasih kepada warganya dan ternyata Bapak Kepala Desa telah menyiapkan trophy dan bingkisan untuk Mbah Narto dan Mbah Basuki. Kepala desa menilai mereka adalah dua orang contoh yang sanggup menjaga keharmonisan bertetangga bahkan berbudaya. Meskipun Mbah Narto berasal dari Yogyakarta tetapi Mbah Narto bisa bersahabat dengan Mbah Basuki yang berasal dari Madura. Bahkan mereka berdua bersama-sama melestarikan budaya daerahnya saling mengenal satu sama lain dan saling menghormati. Mbah Narto tak segan-segan bernyanyi lagu khas Madura bahkan belajar bahasa Madura dari Mbah Basuki. Begitupun sebaliknya. Mbah Basuki pun sering menyanyikan lagu Jawa dan menyukai gudeg makanan asli Yogyakarta. Mereka berdua tampak terharu menerima penghargaan dari Bapak Kepala Desa.

“Pak Basuki….dan Pak Narto.” begitu nama mereka dipanggil untuk naik dipanggung tak kuasa air mata mereka menetes terharu. “Meskipun berasal dari budaya yang berbeda ternyata kita bisa satu panggung ya Pak Bas…” bisik Mbah Narto lirih ke telinganya Mbah Basuki. Mbah Basuki pun tersenyum dan menjabat erat tangan saudara barunya itu. Disaksikan kepala desa dua trophy kakek ini menjadi simbol penghargaan meskipun berbeda budaya tapi tetap bisa hidup berdampingan dan bersahabat. “Terimakasih Pak Basuki dan Pak Narto semoga generasi muda bisa mencontoh persahabatan bapak-bapak ini demi memajukan bangsa kita khususnya desa Tambakbayan ini.” kata Bapak kepala desa diakhiri pidatonya. Tepuk tangan wargapun membahana. Mbah Narto dan Mbah Basuki tersenyum bangga.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post