Mengurai Makna Pantun Nasehat Minang Kepada Anak (part 2) # Tantangan Menulis hari ke-12
“Mambangkik batang tarandam” istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan sesuatu hal atau keadaan yang telah lama hilang / tidak muncul kemudian kembali lagi ada atau membudaya kembali. Ungkapan ini sekarang menjadi sesuatu yang sangat penulis dambakan muncul dalam kehidupan masyarakat Minang sekarang, suatu tatanan kehidupan masyarakat Minang Modern yang tetap mempertahankan nilai-nilai budaya Masyarakat Minang tempo dulu.
Lamo hiduik banyak di raso
Jauah bajalan banyak di liek
Jikok iman kurang di dado
Disiko umat mangko ka sasek
Artinya: lama hidup banyak yang dirasakan,
Jauh berjalan tentu banyak yang dilihat,
Kalau iman kurang didada
Disinilah makanya umat (masyarakat) menjadi sesat
Ungkapan-ungkapan dalam pantun Minang tempo dulu mengisyaratkan akan kekhawatiran terhadap pola tingkah laku seseorang karena kurangnya iman seseorang dalam menyikapi perubahan zaman, pada akhirnya akan menyebabkan bergesernya nilai-nilai moral dalam masyarakat. Ungkapan pantun ini sering digunakan sebagai nasehat kepada anak /generasi muda agar tetap teguh dalam keimanannya dalam menyikapi apapun bentuk perubahan zaman yang dilalui kelak, agar jangan sampai berada dalam golongan umat yang sesat.
Ratak limau dek binalu,
Tumbuah sarumpun di tapi tabek,
Kok abih raso jo malu,
Bak kayu tangga pangabek,
Artinya: retak jeruk karena benalu,
Tumbuh serumpun di tepi kolam,
Kalau habis rasa dan malu,
Bagaikan kayu lepas ikatan.
Dalam ungkapan ini terkandung makna nasehat agar kita selalu memelihara rasa dan perasaan malu, rasa dan perasaan malu adalah suatu hal yang membedakan manusia dengan hewan. Allah sendiri meninggikan derajat manusia dari makhluk lainnya karena kelebihan-kelebihan yang dianugrahkan kepada manusia. Manusia adalah makhluk sempurna yang diberi akal, dan diberi rasa iman di dadanya masing-masing, sehingga dengan akalnya itulah ia akan memelihara iman yang dimilikinya.
Kalaulah rasa (perasaan kemanusiaan) seseorang dan rasa malu sudah hilang ibarat kayu yang lepas dari ikatan berserakan, goyang dan susah / repot untuk membawanya. Hal ini menggambarkan seseorang yang sudah tidak bisa lagi dijadikan panutan dan contoh tauladan.
Anak urang kampuang ilalang,
Nak lalu ka kampuang baso,
Malu jo sopan kalaulah hilang
Abihlah raso jo pareso.
Artinya: anak orang kampung ilalang,
Ingin lewat ke kampung baso,
Malu dan sopan kalau sudah hilang,
Habislah rasa dan periksa.
Ungkapan nasehat ini sering digunakan orang tua kita dulu untuk mengingatkan kita agar selalu memelihara perasaan malu dan nilai-nilai kesopanan, jangan sampai menyebabkan kita habis rasa/perasaan terhadap sesama dan kurang introspeksi terhadap tingkah laku kita sendiri. Pareso dalam bahasa Minang menurut penulis bisa disetarakan dengan kata-kata introspeksi, menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) berarti peninjauan atau koreksi terhadap (perbuatan, sikap, kelemahan, kesalahan, dan sebagainya)diri sendiri. Kesimpulannya jika rasa malu dan kesopanan sudah hilang maka sesorang tidak akan lagi bisa memiliki rasa(perasaan) kepada sesama serta tidak akan mampu untuk mengintrospeksi dirinya lagi.
Dari uraian tersebut sepatutnya kita bangga dengan ketinggian budaya Rang Minang dalam berbahasa, begitu banyak ungkapan-ungkapan yang memiliki makna mendalam dan memiliki jangkauan luas terhadap tuntunan prilaku dalam hidup bermasyarakat yang harus diwariskan kepada generasi muda
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar