Metamorfosis

Setiapkali mendengar anakku membuat konten YouTube nya, serasa tidak percaya, dia menjadi remaja yang pintar sekali berbicara di depan kamera. Setiap kalimatnya runtut menjelaskan cara pemakaian benda yang dia buat untuk konten YouTube nya. Meskipun baru kelas satu SMK dia sudah mahir mengedit Vidio sampai applikasi Corel draw.

Jadi teringat saat dia mulai masuk sekolah dasar. Bu guru di sekolah nya meminta untuk memindahkan anakku ke sekolah luar biasa atau ke sekolah inklusi. Kaget, bingung, sedih, campur aduk rasa hati ini. Aku meminta kejelasan dari Bu guru. Kenapa anak saya harus masuk SDLB. Menurut beliau anak saya tidak dapat mengikuti pelajaran. Tidak bisa duduk, tulisannya besar besar. Bahkan pernah membuat Bu guru keseniannya menangis, jelas Bu guru. Tanpa basa basi aku dan ayahnya menuju sekolah inklusi di kotaku. Hanya ada dua sekolah. Saat aku bertemu kepala sekolah di sana, perlu surat keterangan dari psikiater dan hasil psikotes untuk bisa sekolah di sekolah inklusi, jelas bapak kepala sekolah. Tanpa membuang waktu aku pun membawa anakku ke psikiater. Dari serentetan tes, anakku normal,bisa diikutkan di SD reguler. Memang anakku harus menggunakan kacamata karena minus satu silinder seperempat di usianya yang masih muda.

Sekarang melihatnya tumbuh dewasa, bahkan menjadi sosok berbeda dengan teman temannya merupakan hal luar biasa yang harus aku syukuri. Dia begitu fokus dengan channel YouTube nya, seringkali diminta untuk mengedit Vidio teman temannya. Nilai-nilainya di sekolahpun tidak mengecewakan. Bahkan nilai Matematikanya tertinggi di kelasnya. Terimakasih ya Allah dia, yang dianggap punya kekurangan ternyata memiliki banyak kelebihan. Butuh waktu untuk bermetamorfosis. Dan setiap anak berbeda beda.