Ervina Yuni Sinaga

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Kuli Panggul

Berawal dari kunjunganku ke sebuah Kota Pelajar, Jogjakarta, disanalah aku bertemu dengan "kuli panggul". Selain dikenal sebagai kota pelajar, Jogja juga dikenal sebagia daerah tujuan wisata yang paling banyak diminati.

Salah satu tujuan wisata di Jogja adalah Pasar Beringharjo. Selain letaknya yang strategis, dekat dengan Malioboro, harga-harga barang disana lebih terjangkau dan menawarkan banyak pilihan sesuai kebutuhan.

Kesan pertama yang kudapatkan saat mengunjungi pasar tradisional ini adalah lokasinya yang sangat padat dan sempit. Ditengah keramaian, banyak ditemukan para perempuan-perempuan yang menawarkan jasanya. Mereka adalah Kuli Panggul. Usia mereka bisa dikatakan rata-rata diatas 50 tahun. Semunya sudah berumur cukup tua.

"Nak, mau dibawakan ga barangnya", kira-kira begitulah maksud perkataan si mbok yang mencoba menghampiri kami. Dalam satu kelompok, tak seorangpun diantara kami yang paham bahasa jawa. Kami hanya mencoba menebak -nebak saja. Sesekali kami meminta bantuan penerjemah dari pedangang toko sebelah.

"Tidak mbok, makasi. Kami masih kuat. Barang-barang kami pun tidak banyak", kata salah satu temanku. Yang lainnya menyambung "iya mbok, kami masih kuat. Maaf ya mbok, yang lain aja".

Si Mbok, kuli panggul, diam saja namun tetap berdiri dan berjalan mengikuti kami. "Tuh lihat, kita diikuti terus", kata temanku. Karena kasihan, aku memberikan uang ke si Mbok dengan tanpa memberikan barang bawaan kepadanya.

Kagetnya, si mbok menolak uang pemberian tersebut. Wah...salut buat si mbok. Tidak mau menerima uang dengan begitu saja. Seolah-olah memaksa, si mbok mencoba lagi untuk meraih barang bawaan kami.

Kami membujuk si mbok untuk menerima uang dengan berkata, "Mbok, ambillah uang ini".

Tetap saja dia tidak mau. Dan si mbok pun berlalu pergi.

Bukannya kami tidak mau memberikan barang itu kepada si mbok tetapi kami tidak tega. Sungguh tidak tega. Wajahnya yang penuh keriput, usianya yang sudah tua membuat kami membayangkan nenek kandung kami masing-masing.

Pelajaran buat kami semuanya, serendah-rendahnya pekerjaan tetapi harga diri masih terjaga dengan baik. Pantang menerima upah tanpa bekerja. Umur boleh tua tetapi semangat bekerja masih berkobar. Ntah itu karena tuntutan hidup atas kesulitan ekonomi, namun yang kami tau si mbok tetap kuat tegar dan pantang menyerah pada kondisi.

Tua renta hanyalah badan namun semangat hidup tetap berapi-api.

Jika sekarang ini kita masih mempunyai kedua orangtua yang sudah tua renta, jangan biarkan mereka tetap bekerja untuk berjuang hidup. Biarkan mereka untuk menikmati hidup di masa tuanya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post