Ervina Yuni Sinaga

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Kumpulan Cerita Tentang Pengasuh Anak-anakku

Part 4 - Si Nenek

Sejak kepergian Bou Carlos, pencarian pengganti pengasuh anak terus kami lakukan. Mencari tidak hanya disekitar rumah, tetangga, teman sekantor maupun kerabat dekat namun kami juga mencari pengganti dengan meminta bantuan orangtua dikampung. Saat itu aku sedang mengandung anak ketiga. Ketepatan saat usia kandungan lima bulan, kami sekeluarga pulang kampung untuk memenuhi kewajiban adat yakni pesta adat adik ipar. Dalam kesempatan tersebut, sebelum dan sesudah pesta selesai, kami mendatangi keluarga satu per satu. Bertanya dan meminta pertolongan untuk mencarikan pengasuh anak.

Seperti biasa jika berkumpul dengan keluarga besar, semua hal bisa menjadi bahan pembicaran termasuk tentang pencarianku untuk pengasuh pengganti. Ditengah asik mengobrol dengan anggota keluarga dikampung, seorang nenek, yang sudah lama ikut bekerja dengan ibuku menyambung pembicaraan dengan berkata “ biar aku saja yang ikut ke Batam. Biar aku saja yang menjaga anak-anak disana”. Sejenak ibuku terdiam sambil memandangiku. Untuk mengalihkan pembicaraan, akupun tertawa sambil mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin. Bagaimana mungkin si nenek akan ikut berangkat dengan kami sementara ibuku sangat membutuhkannya bekerja dirumah.

Delapan tahun lamanya si nenek sudah bekerj dirumah. Nenek sudah dianggap seperti saudara kandung. Ibuku tidak jarang memberikan uang tambahan untuk si nenek. Memberikan bekal lauk pauk untuk dibawa pulang kerumah nenek. Disaat lebaran, ibu juga memberikan bonus lebaran. Kepercayaan penuh sudah diberikan ibuku kepada nenek untuk mengurus rumah. Si nenek terkadang mengurus ayah dan ibuku yang sedang sakit. Tidak ada jarak diantara si nenek dan keluarga kami. Benar-benar sudah dianggap seperti saudara kandung. Disaat bepergian liburan keluarga, si nenek juga diikutsertakan. Saat anaknya sakit, ibuku selalu membantunya.

Entah mengapa, dihari kedua sebelum kepulangan kami ke Batam, ibuku memanggilku masuk kekamarnya dan bertanya apakah aku bersedia membawa si nenek ikut ke Batam. Jujur saja aku tidak terlalu berharap. Tipis kemungkinan ibuku akan mengijinkan si nenek ikut ke Batam. Tetapi pertanyaan ibuku membuatku sungguh kaget. Ternyata ibuku kasihan melihat kondisiku yang sedang hamil dan harus mengurus dua anak balita sendiri. Pengasuh pengganti yang tidak kunjung dapat membuat ibuku turut cemas. Dan memutuskan untuk mengijinkanku membawa si nenek. Setelah berunding dengan suami, akhirnya kami sama-sama sepakat akan membawa si nenek.

Sebenarnya ibuku ragu dengan keputusan si nenek yang tiba-tiba mau untuk ikut ke Batam. Jika si nenek ikut pergi maka suami dan anaknya akan ditinggalkan dalam waktu yang sangat lama dan belum tentu bisa berjumpa keluarga dalam waktu yang dekat. Sebelum memesan tiket, ibuku mempertemukan si nenek dengan suaminya. Diruang keluarga kami duduk bersama berdiskusi tentang keputusan si nenek. Panjang lebar ibuku menjelaskan maksud dan tujuan kepergian si nenek kepada suaminya. Singkat cerita suami nenek setuju dengan syarat yang sudah ditentukan. Syaratnya adalah bahwa kami harus membayarkan gaji tiga bulan penuh didepannya. Dengan alasan agar si nenek meninggalkan uang belanja untuk suami dan anaknya yang masih duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama. Tanpa berpikir panjang, ibuku menyanggupinya demi kami. “Ma, kami tidak punya cukup uang”, kataku pada ibuku. Namun ibuku meyakinkanku bahwa itu tidak akan jadi masalah. Ibuku mendahulukan uang yang menjadi persyaratan tersebut. Tiketpun segera dipesan.

Saat kepulangan kami kembali ke batam, ibu ikut mengantarkan kami ke bandara. Sepanjang jalan ibuku selalu menasehati si nenek agar bisa bekerja dengan baik meskipun tidak lagi bersama ibuku. Dan si nenek hanya menjawab “Iya, tenang saja, kita kan sudah menjadi saudara. Mereka akan kuanggap seperti anakku sendiri”.

Setelah menerima syarat dari pihak si nenek, kami pun turut membuat persyaratan yang harus dipenuhi si nenek. Syarat dari kami adalah bahwa si nenek tidak boleh pulang sebelum bekerja selama satu tahun. Jika ingin pulang sebelum 1 tahun, maka ongkos pulang dan pergi harus ditanggung sendiri. Namun Satu pesan penting dari ibuku bahwa si nenek tidak boleh pulang setidaknya hingga aku pulih dari luka melahirkan. Saat itu 3 bulan kedepan akan masuk pada masa bulan Ramadhan. Dengan yakin, kedua belah pihak menerima persyaratan masing-masing.

Setelah perjalanan hampir setengah hari, akhirnya kami sampai di kota Batam. Setibanya dirumah, segala pakain yang dibawa langung dikemas dan dirapikan masuk kedalam lemari pakaian. Tidak banyak pakaian yang dibawa oleh si nenek. Dan akupun tidak pernah mencurigai hal ini sebelumnya. Beberapa hari setelah berada di Batam, aku mengajak si nenek untuk belanja beberapa pakaian ganti untuk dipakai sehari-hari. Alat-alat keperluan untuk sholat seperti sejadah dan mukenah juga ikut aku belikan. Rasa senang terlihat di wajah si nenek dengan harapan nenek akan betah tinggal bekerja dirumah.

Setiap harinya si nenek bangun pagi untuk sholat subuh. Setelah sholat si nenek akan lanjut mengerjakan pekerjaan rumah mulai dari masak hingga bersih-bersih. Si nenek sangat pintar memasak. Dia akan marah jika dikulkas tidak ada apa-apa. Anak pertama dan keduaku sangat cepat kompak dengan si nenek. Si nenek sangat telaten dalam mengurus anak-anakku khususnya dalam hal memberikan makan. Dengan adanya si nenek, anak-anak makannya menjadi lebih teratur. Semua pakaian dicuci bersih dan disetrika rapi. Tak ada satupun pekerjaan si nenek yang membuatku kecewa. Dan tanpa memperikan pelatihan, si nenek dengan sendiri mampu mengerjakan pekerjaan yang ada dirumah. Sesekali si nenek marah jika aku menyapu rumah, katanya “ kalau kamu pegang sapu, untuk apa nenek disini”. Semenjak nenek dirumah, aku memang merasakan ketenangan dan istirahat yang cukup. Saat pulang bekerja, si nenek selalu memintaku untuk istirahat.

Setelah menjalani bulan kedua, aku melihat ada perubahan pada si nenek. Si nenek sering mengurung diri dikamar. Biasanya si nenek sholat waktunya tidak akan selama itu. Si nenek mulai lambat dalam bekerja. Makan selalu belakangan dan sering harus diingatkan. Saat ditanya ada apa, nenek selalu jawab bahwa dia baik-baik saja. Pernah aku menemukan si nenek keluar dari kamarnya dengan mata sembab dan pipi yang basah. Disaat jam santai, kami mengobrol bersama. Aku mencoba mencari informasi tentang kondisi keluarga si nenek. Ternyata si nenek sedang berada dalam beban yang sangat berat. Uang gaji yang dibayarkan 3 bulan didepan ternyata dipakai untuk melunasi hutangnya ke pegadaian. Anak perempuannya yang bekerja di Malaysia terpaksa harus pulang karena sesuatu alasan yang si nenek masih rahasiakan. Disatu sisi, anaknya yang masih sekolah terus menanyakan kapan kepulangan ibunya. Dan yang paling mengkhawatirkan adalah kabar bahwa suaminya sudah mulai selingkuh.

Satu minggu sebelum memasuki bulan ramadhan, kami dikejutkan dengan kehadiran seorang pria separuh baya. Waktu itu tepatnya hari sabtu kami kedatangan seorang tamu yang tidak dikenal. Sore hari sebelum kedatangan pria tersebut si nenek masih mengerjakan perkerkaannya dengan baik tanpa ada masalah sedikitpun. Beberapa menit saat aku sibuk menyapu rumah, anakku memanggil si nenek. Dan si nenek ternyata tidak ada dirumah. “kemana nenek, ma?”, tanya anakku yang sulung. Sadar bahwa nenek tidak ada dirumah, kami mencoba memanggil dan menelepon. Ternyata si nenek sudah dibonceng pria yang tidak kami kenal. Berhenti didepan rumah, lalu mempersilahkannya masuk. Kami mempertanyakan tentang pria tersebut. Dengan santai si nenek menjawab bahwa dia adalah keponakannya.

Kaget sungguh luar biasa saat itu karena selama ini si nenek tidak pernah cerita bahwa nenek mempunyai saudara di Batam. Kagetnya lagi, pria tersebut meminta membawa pulang si nenek dengan menunjukkan tiket pulang ditangan. Sebagai orang asing yang baru berkunjung pertama kalinya kerumah, kami menilai si pria itu kurang sopan. Kami menolak memberi ijin si nenek pulang. Si nenek pura-pura tidak mengetahui apapun tentang rencana kepulangannya. Si nenek minta pulang dengan alasan suaminya sedang sakit berat. Dengan banyak harapan, aku berusaha membujuk nenek untuk bertahan sampai aku selesai melahirkan. Hanya menunggu beberapa hari saja dari perkiraan dokter. Namun si nenek menolak. Sempat antar pria tersebut dan suami beradu mulut, mereka sama-sama berdiri dengan posisi tangan dikepal. Aku yang sedang hamil tua ikut berdiri memegang suami, berusaha memisahkan mereka agar tidak terjadi perkelahian. Si nenek menangis histeris dan memohon maaf tidak bisa memenuhi syarat yang sudah disepakati.

Hari itu juga si nenek memutuskan untuk pergi meninggalkan anak-anakku dan aku yang sedang hamil tua. Tawaran kami untuk mengantarkannya ke pelabuhan pun ditolaknya. Ternyata si nenek sudah merencanakan kepulangannya ke kampung. Semua pakaiannya sudah dikemas sebelum kedatangan pria itu. Dengan hati yang masih panas dan emosi, kami menarik HP yang selama ini dipakai si nenek. Jauh-jauh sebelumnya si nenek sudah memperkirakan 3 bulan masa kerjanya sesuai dengan uang yang dipakainya untuk 3 bulan gaji. Nenek yang dulu kami kenal ternyata tidak seperti dulu lagi. Si nenek sudah mengingkari janjinya. Nenek sudah mengecewakan kami dan ibuku khususnya. Dibalik kekecewaan kami pada si nenek, kami masih menunggu kabar bahwa si nenek sampai dikampung halaman dengan sehat walafiat.

Bersambung.....

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post