Ervina Yuni Sinaga

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Kumpulan Cerita Tentang Pengasuh Anak-anakku

Part 2

Tidak heran jika lauk pauk yang kumasak tadi pagi tidak habis, maka akan menjadi rejeki bagi Bu Ester. Dengan senang dia akan membawa pulang semua lauk yang ada dimeja. “Boleh saya bawa lauknya, kak?”, pintanya. “ya, bawa saja kalau mau”, jawabku. Sesekali sepulang sekolah anak-anaknya berdatangan kerumah menyusul ibunya yang sedang bekerja. Saat anak-anakku sedang makan, tidak jarang aku meminta anak-anakku untuk berbagi makanan. Sering juga aku sengaja meminta Bu Ester untuk mengambilkan makanan untuk anak-anaknya agar makan bersama dengan anak-anakku. Perasaanku sedih dan tidak tega jika membiarkan anak-anak Bu Ester memandangi anakku saat menyantap makanan dan jajanan mereka.

Dipagi hari terkadang anak-anak Bu Ester pergi kesekolah lewat dari depan rumahku. “Nak, sini”. “Ini uang jajan untuk disekolah”, kataku pada anak-anak tersebut yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Dengan malu-malu, dia menerima uang jajan sambil berkata “ terima kasih, bu”. Begitulah setiap harinya jika kebetulan anak tersebut lewat dari depan rumah kami. Suamiku terkadang juga melakukan hal yang sama denganku.

Baju baju bekas yang masih layak pakai juga tidak luput dari perhitungan. Membongkar lemari pakaian dan memilih pakaian yang akan kuberikan pada keluarga Bu Ester, merupakan hal yang paling disenangi oleh mereka. Berlomba lomba mereka akan memilih mana yang sesuai dengan ukuran badan masing masing. Tidak jarang mereka berdebat kecil karena saling berebutan pakaian yang sama. Meskipun hanya pakaian bekas, mereka senangnya luar biasa. Hingga sampailah saat perayaan hari besar Natal, aku memutuskan untuk membelikan anak anak bu Ester baju baru untuk dipakai Natal. Kami juga mengunjungi mereka, minum dan makan bersama dirumah mereka. Sungguh penuh dengan suka cita.

Setelah terhenti dari beberapa bulan, “Si Ibu Ompong” kembali mengajukan pinjaman uang dengan alas an untuk biaya berobat anak. Dan lagi, aku memberikannya tanpa berpikir panjang. Kurang lebih satu setengah tahun lamanya, “Si Ibu Ompong” selalu melakukan hal yang sama. Meminjam uang dengan alasan kebutuhan mendesak dan masih banyak lagi berbagai cerita sedihnya yang digunakan sebagai alat untuk membujukku.

Hmmmm.. perlahan lahan aku sadar bahwa Bu Ester sudah memanfaatkanku. Kerja terlambat datang mulai terakumulasi. Saat Bu Ester terlambat datang, akupun harus menunggunya sampai datang dan akhirnya aku terlambat berangkat kerja. Sering ijin pulang lebih awal. Sering minta gaji dibayarkan diawal, dan lain lain. “Kak, besok saya ijin tidak masuk kerja. Saya ada urusan”, pesannya kepadaku lewat sms.

Lelah hati dan pikiran mulai timbul dan memuncak saat aku meminta dia hadir disaat anakku sakit dan akupun sakit. Kuberharap saat itu dia akan datang meskipun itu adalah hari libur bagi dia. Kedekatanku dengannya dan kearena sudah menganggapnya sebagai keluarga, hal itu yang membuatku berani untuk memintanya datang. Namun kenyataannya, dia menolak secara tegas. Hari demi hari, kerajinannya sudah mulai menurun. Anak-anak juga mulai tidak betah, seolah olah anak-anakku mempunyai firasat tentang si Ibu Ompong. Tak berapa lama kemudian disaat libur, aku mendapatkan kabar bahwa dia sedang berada diluar kota. Karena libur sekolah masih lama, aku membiarkannya tanpa memastikan kapan akan kembali. Menjelang 3 hari sebelum kembali bekerja, aku mencoba menghubungi Bu Ester.

“Hallo bu, apa kabar?. Sekarang lagi dimana? Mengapa tidak pernah lewat depan rumah lagi?”, tanyaku padanya. “Iya kak, mohon maaf aku sudah bekerja diluar kota. Aku ada masalah dengan suamiku”, jawabnya padaku. Sesaat dada terasa sesak saat mengetahui bahwa diam-diam Bu Ester sudah pergi meninggalkan anak-anakku tanpa pemberitahuan. “Siapa yang akan menjaga anak-anakku sementara dalam waktu 3 hari lagi harus kembali bekerja seperti biasa”, bisikku dalam hati. Dengan cepat aku dan suamiku, mencari pengasuh pengganti. Namun tidak semudah yang dipikirkan, pencarian selama 3 hari belum mendapatkan hasil apapun.

“Mama, Ibu Ompong kami dimana?’, tanya anakku. “Siapa yang jagakan anaknya dan adik bayi, Ma?”, tambahnya. Sedih hampir meneteskan air mata, tapi tetap berusaha tegar didepan anak-anakku. “Iya nak, sabar aja. Nanti juga pasti dapat kok”, jawabku mencoba meyakinkan anakku. Sambil menunggu mendapatkan penggantinya, untuk sementara kami menitipkan anak-anak pada kakak Ipar. Selama menitipkan anak, aku harus lebih ekstra lagi baik dalam hal pekerjaan dirumah maupun antar jemput anak. Sabar sampai mendapatkan pengasuh pengganti.

Aku menelepon Bu Ester untuk terakhir kalinya. Tapi Kali ini aku tidak memintanya untuk kembali, melainkan memastikan bahwa dia akan melunasi segala hutang hutangnya. Kecewa sangat mendalam membuatku lupa bahwa dia pernah kuanggap sebagai saudara. Pergi merantau dengan meninggalkan hutang dan tagihan-tagihan warung yang sudah lama menunggak. Herannya, namaku dijual untuk itu semua.

Bersambung...

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post