Erza Surya

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Bola-bola Gelang

Bola-bola Gelang

Mak di hari minggu pagi, mengolah kacang goreng untuk sambal yang dicampur dengan ikan teri kering, serta biji petai. Semuanya itu di goreng.

Imah paling senang kalau mak sudah membuat sambal tersebut. Selera makannya bakal bertambah-tambah. Apalagi kalau sayurnya itu daun singkong muda rebus ditambah setangkai seledri. Tentu saja tak lupa dengan sambalado tomat, direbus pula.

Rupanya, mak di dapur memang mengolah sambal yang diharapkan Imah. Selain menu itu, mak juga membuat kalio ayam yang dicampur dengan kentang. Oh..., benar-benar tak tahan perut lapar Imah dengan menu yang mak buat.

Dari dapur, mak berteriak, "Mah, kau tolong mak ke sini sebentar. Ini waktunya Mak putar mesin cuci biar kain kotor bersih pula. Dari pada tambah lama kerjaan."

Imah datang dengan rambut dikuncir, kaos oblong, celana dengan ukuran panjang di bawah lutut, dan tak lupa sandal bermotif kelincinya.

Mak pun sibuk di kamar mandi menyelesaikan cucian. Sedangkan Imah mengaduk-aduk santan untuk sambal kalio dengan ogah-ogahan. Soalnya, membuat sambak kalio itu sangat lama. Apalagi harus terus diaduk agar santannya tidak pecah, kata emak. Selain itu, santan yang mengendap pada bagian bawah akan hangus.

Imah paling tak tahan kalau disuruh mengaduk-aduk santan untuk kalio dan rendang. Ia sering ngedumel sendiri. Atau sering lupa mengaduk santan, sehingga bau gosong tercium, maka emak akan berteriak kencang memarahinya.

Contohnya saja sekarang. Dari kamar mandi mak sudah mulai berteriak, "Oii, Mah. Kau apakan santan itu? Jangan kau biarkan hangus, nanti kau tak Mak bagi kalionya." Emak mengancam dengan teriakan khas beliau.

"Diaduk nih, Mak. Pegal berdiri dan mengaduk. Mak gantianlah, biar Imah yang bekerja dengan mesin cuci." Imah membalas teriakan emaknya tak kalah keras.

"Kau kalau sudah selesai kerja Mak, baru mau menggantikan. Jadi perempuan jangan malas, nanti tak laku-laku sama laki-laki." Mak mulai merepet lagi dengan omongannya.

"Tapi ini lama kali, Mak." Imah mulai lagi memelas.

"Ah, Kau memang banyak alasan. Sana, Kau cabut rumput depan rumah. Habis itu, mandi dan makan." Mak mendorong Imah agar segera beranjak.

"Yah, Maaakkk." Imah lagi-lagi ngomel akibat suruhan mak, apalagi matahari sudah mulai naik dan terik, meski baru jam setengah delapan.

"Jangan ngomel Kau, sana pergi!" Usir mak sekali lagi.

Sehabis membersihkan rumput dan mandi, Imah segera menuju meja makan. Di sana mak sudah duduk manis menunggunya. Sejak bapak tiada, Imah hanya tinggal berdua dengan mak karena kakak laki-lakinya, yang dipanggil Uda Naro merantau ke pulau Jawa bersama istrinya.

Imah mengambil nasi yang disodorkan mak, dan menyendok masing-masing sambal. Belum lagi sambal dicoba, air ludah Imah sudah serasa mau menetes. Terpaksalah ia telan lagi.

"Lho, bola-bola gelang Imah nggak ada satu, Mak. Apa Mak melihatnya?" Tiba-tiba pandangan Imah tertuju gelang di tangan kanannya saat menyendok sambal. Gelangnya itu mempunyai bola-bola yang tergantung di rantainya sebanyak tujuh biji. Sekarang tinggal enam.

"Kaulah yang tau, masa Kau tanya Mak." Mak menjawab dengan cuek sambil menyuap nasinya.

"Tapikan, Mak. Siapa tau Mak melihatnya di lantai, di kasur, atau di dapur."

"Eh, Mah. Kalau makan itu, makan saja dulu, jangan ini itu yang dipikir dan bicarakan. Susah-susah Mak masak enak demi selera Kau, tapi gara-gara ini, nanti Kau tak selera lagi." Petuah Mak sekali lagi benar.

Setelah menuruti kata mak, Imah makan dengan lahap. Tak terasa dua piring ia habiskan. Sedangkan mak, masih tinggal dua suap lagi. Maka Mak pun berkonsentrasi menyelesaikan dua suapan terakhir itu.

"Pueh! Apaan ini?" Mak meludahkan suapan terakhirnya ke tangan.

"Ihh, Mak. Jijik!" Imah menutup mulutnya.

Mak malah sibuk meneliti suapan yang di keluarkan."Mah, inikah bola-bola gelang, Kau? "

"Ha! Masa sih, Mak?" Imah melotot tak percaya.

"Ini, Kau lihat. Kalau bukan apa namanya. Kau ini tak becus mengaduk sambal, sampai-sampai bola-bola gelangmu tersangkut dan jatuh ke kuali tak Kau sadar." Mak ngomel lagi, beliau melanjutkan, "bagaimana tadi kalau tertelan sama Mak?"

"Yah, Mak. Maaf deh. Imah hanya bosan mengaduk-aduk selama itu." Imah mengaku salah dan minta maaf.

"Sekarang, Kau angkat piring kotor ini dan cuci sekalian. Jangan ada bantahan lagi." Mata mak sudah mulai melotot ke Imah. Sehingga ia tak jadi ngomel karena suruhan mak.

Ah, mak menang lagi.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ahc....si emak,Harusss menang selalu

17 Mar
Balas

Mantap ja, turunkan ilmunya ya ja!

21 Mar
Balas

Mantap buk....

17 Mar
Balas



search

New Post